Suku Bajo adalah suku nomaden yang hidup di atas laut dan tersebar di timur Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, hingga Kepulauan Kalimantan Filipina. Di Indonesia mereka tinggal di daerah Jambi, Riau, Nusa Tenggara (Lombok, Flores, Sumba, Sumbawa), Â Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Gorontalo, dan Maluku Utara. Uniknya, meskipun mereka tersebar ke berbagai daerah, bahasa mereka serupa hanya dengan perbedaan logat saja. Orang Bajo sering disebut juga "Orang Laut", "Sama Bajo' atau "Gipsi Laut".
Asal Usul Suku Bajo
Tidak ada yang tahu darimana suku bajo berasal. Selama puluhan tahun para ilmuan bertanya-tanya dari mana mereka berasal. Ada beberapa teori tentang asal-usul Suku Bajo. Menurut Robert Blust, ahli linguistik dari University of Hawai, orang Bajo yang berasal dari Barito mulai melaut pada tahun 800 Masehi, seiring dengan berkembangnya Kerajaan Sriwijaya. Kemudian mereka (orang Bajo) melakukan migrasi dagang ke Filipina dan menetap di sana selama beberapa tahun, sampai akhirnya mereka kembali menjelajah lautan.
Teori lain mengatakan bahwa orang Bajo berasal dari Johor (Malaysia). Dasar teori tersebut adalah adanya cerita legenda tentang putri Johor. Dikatakan dalam legenda tersebut, dahulu orang Bajo dan orang Bugis banyak mendiami wilayah Johor sampai pada akhirnya putri Johor tersebut menghilang. Orang Bajo diperintahkan agar mencari putri tersebut sampai bisa ditemukan dan tak boleh kembali sebelum menemukan sang Putri. Di sinilah perjalan orang Bajo menjelajah lautan dimulai. Namun, karena mereka tidak berhasil menemukan sang putri, orang Bajo tak pernah kembali.
Sayangnya, teori tersebut dasarnya terlalu lemah. Tak ada bukti arkeologi ataupun bahasa yang mengatakan bahwa orang Bajo berasal dari Johor (Malaysia).
Ada juga yang mengatakan bahwa Suku Bajo berasal dari wilayah Sulu, Filipina. Namun semua itu masih taraf hipotesis, belum ada bukti konkret dari mana orang Bajo berasal.
Keistimewaan Suku Bajo
Manusia berkembang karena mereka beadaptasi dengan suatu keadaan. Seperti halnya orang-orang Suku Bajo. Anak-anak Suku Bajo memang dilahirkan untuk menjadi penyelam handal. Anak laki-laki sejak umur dua tahun sudah diceburkan ke laut. Itu adalah pelajaran pertama mereka untuk bertahan hidup di alam. Mereka mampu menyelam sedalam 200 kaki (60 meter) selama kurang lebih 13 menit tanpa bantuan alat penyelam apa pun. Normalnya, manusia tanpa alat bantu menyelam hanya dapat menyelam sedalam 30-40 meter selama 30-90 detik saja. Luar biasa bukan? Kondisi ini karena adanya evolusi atau mutasi DNA yang terjadi pada orang-orang Suku Bajo sehingga paru-paru mereka bekerja secara berbeda dari manusia kebanyakan dan organ limpa mereka lebih besar dari manusia normal.
Dari semua organ yang ada di dalam tubuh manusia, limpa bukankah organ yang istimewa. Secara teknis kita dapat hidup tanpa adanya limpa. Namun, jika memilikinya, organ ini mampu menyokong sistem kekebalan tubuh dan mendaur ulang sel darah merah.
Suatu penelitian menunjukan bahwa beberapa hewan mamalia yang mampu hidup di bawah air seperti anjing laut memiliki limpa yang lebih besar. Kondisi tersebut juga dimiliki oleh orang-orang Suku Bajo.
Jika orang-orang Suku Bajo terus meneruskan tingal di lautan selama beberapa ribu tahun kedepan, mungkin manusia ikan bukan hanya ada di film atau dongeng. Sayangnya, kebanyakan orang Bajo pindah menetap ke daratan. Hal ini dikarenakan sulitnya mencari stok makanan yang tersedia di lautan dan juga karena mereka dianggap sebagai kelompok marjinal oleh sebagian orang. Mereka juga tidak bisa menikmati hak kewarganegaraan mereka, seperti orang-orang yang tinggal di daratan.
Selain dikenal karena kemampuan menyelamnya, Suku Bajo juga dikenal ahli dalam menangkap ikan (daya), cumi-cumi (suntung), gurita (raki) dengan menggunakan ringgi, rua, sarapang, serampang (jala) atau dengan tombak. Mereka juga memiliki bagang dan jaring yang ditambatkan pada perahu, naeng (perahu kecil), guiop yang dilengkapi dengan mesin yang digunakan sebagai kendaraan. Hasil tangkapan yang mereka dapatkan nantinya akan dijual segar atau dikeringkan, diasap, dan diasinkan.
Â
Lain-lain tentang Suku Bajo
- Tempat Tinggal
Masyarakat Suku Bajo terbagai dua, yaitu Bajo daratan yang membangun rumah-rumah di pesisir atau didirikan di atas karang yang telah mati. Yang kedua adalah Bajo laut yang mendirikam rumahnya di atas permukaan air laut.
Dalam proses pembangunan rumah, masyarakat Bajo masih menganut sebuah kepercayaan bahwa ada hari baik untuk mendirikan rumah. Sebelum membangun rumah, mereka mengadakan upacara adat. Masyarakat Bajo juga mengikuti dan memahami kondisi alam yang akan mereka tinggali.
Nama dari rumah adat suku Bajo adalah Babaroh atau rumah panggung. Mereka (masyarakat Bajo) membagi bagian dalam rumah menjadi 3 ruang, yaitu ruang lego-lego sebagai teras ,ruang watangpola sebagai badan rumah,ruang pocci bola sebagai pusat rumah.
Masyarakat Bajo juga percaya bahwa arah barat adalah arah kiblat dan suci sehingga tidak boleh digunakan sebagai arah buang air. Anak tangga juga harus berjumlah ganjil agar tidak menghambat rejeki.
- Kepercayaan
Sebagai suku laut, masyarakat Bajo memiliki kepercayaan asli yang sangat dipengaruhi oleh lingkungan tempat mereka hidup. Mereka percaya kepada penguasa lautan, mereka menyebutnya Mbo Ma Dilao. Sebagian masyarakat Bajo juga ada yang beragama Islam.Â
- Tradisi dan AdatÂ
Suku Bajo memiliki sebuah tarian adat yaitu, Tarian Ngigal. Tarian ini biasa dilakukan saat ada ucara atau upacara tertentu.
Ada salah satu tradisi dari suku Bajo yang sudah turun temurun, yaitu upacara selametan penurunan perahu baru. Ritual ini dinamakan ritual cera leppa. Bagi masyarakat Bajo ritual ini adalah sebuah keharusan. Mereka rela tidak melaut berhari-hari jika belum melaksanakan ritual ini.
Ada beberapa tahapan dalam melaksanakan ritual cera leppa, yaitu:
1. Taksa Diang
Tahap ini adalah untuk menyiapkan bahan dan alat untuk ritual.
2. Panganjamaan
 Tahap ini adalah tahapan utama dalam ritual ini. Menjelang Pelaksanaan ritual. Perahu akan di bawa ke pinggir lautan dan mengumpulkan bahan-bahan yang sudah disiapkan. Setelah semua lengkap, upacara penurunan kapal baru dilaksanakan.
3. Kacapura
Kacapura adalah penutupan bagi upacara ini. Selesai sudah ritual penurunan kapal. Orang-orang bisa pulang dan pemilik kapal bisa membawa kapalnya untuk berlayar.
Â
Â
     Â
Â
                                                                 Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H