Sebuah studi yang dilakukan oleh Universitas Harvard baru-baru ini menemukan adanya hubungan nyata antara tingkat polusi udara yang terpapar seseorang dengan kerentanannya terhadap kematian COVID-19.
Menurut penelitian, seseorang yang terpapar polusi udara dalam jangka waktu lama memiliki risiko lebih besar untuk mengidap penyakit COVID-19 daripada rekan-rekannya.
Studi tersebut merupakan penjabaran lebih lanjut tentang premis bahwa orang dengan masalah pernapasan yang sebagian besar terkait dengan polusi udara, lebih rentan terhadap kematian COVID-19.
Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Universitas Harvard, AS, paparan jangka panjang terhadap polusi udara dapat dikategorikan sebagai salah satupre-existing conditionyang dapat meningkatkan risiko kematian akibat infeksi COVID-19.Â
Studi yang sama menemukan korelasi tinggi atas seseorang yang tinggal di daerah dengan polusi udara buruk dengan terjangkitnya penyakit COVID-19, dibandingkan dengan seseorang yang bertetap di daerah polusi udara rendah.Â
Paparan polusi udara dalam jangka panjang meningkatkan risiko untuk mengidap COVID-19 yang paling parah, sehingga terkait langsung dengan tingkat kematian COVID-19.
Apa Kaitan PM 2,5 Dengan Tingkat Kematian COVID-19?
Studi yang mencakup sekitar 3.000 warga AS tersebut menganalisa data yang tersedia hingga awal kuartal kedua tahun 2020. Tujuan dari penelitian adalah untuk mengetahui hubungan antara PM 2,5 dengan angka kematian akibat COVID-19. Secara keseluruhan, kematian akibat COVID-19 disebut sebagai hasil dan jangka waktu tingkat rata-rata PM 2,5 disebut sebagai paparan.
Mengenali PM 2,5
PM di PM 2,5 adalah singkatan dari partikulat di udara yang berukuran mikroskopik. Sedangkan 2,5 menunjukkan diameter partikel tersebut, diukur dalam satuan mikron. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), paparan atas PM 2,5 dapat mengakibatkan kanker, penyakit kardiovaskular, penyakit pernapasan, gangguan otak dan sebagainya. Sejauh mana PM 2,5 berbahaya telah diukur dari hasil studi yang menemukan bahwa paparan terhadap polusi tersebut diperkirakan telah menyebabkan sekitar 4,2 juta kematian dini di seluruh dunia, pada tahun 2016.