Dan tak lupa tempenya
Mari bung, mari beli, sepincuk hanya setali
Tentu memuaskan hati
Mari beli, sayur semanggi,
Bung... beli....
Latar belakang pengolahan tanaman semanggi sebagai makanan tidak lepas dari keberadaan lahan pertanian di Kota Surabaya pada masa itu. Pada lahan pertanian tersebut terdapat banyak hama dan gulma yang mengganggu pertumbuhan tanaman, salah satu gulma tersebut adalah semanggi. Gulma satu ini tergolong sulit untuk dibasmi sebab akarnya yang tumbuh di sela-sela tanaman dengan ukuran yang lumayan kecil. Untuk menyiasati dampak buruk dari pertumbuhan semanggi tersebut, masyarakat kemudian mencoba mengolah tanaman ini sebagai makanan yang dapat dikonsumsi (Kurniawati & Gunansyah, 2019). Dalam penyajiannya, semanggi dihidangkan dengan tambahan bumbu atau variasi bahan pelengkap lain, seperti menggunakan ubi jalar atau sambal petis, yang umum dikonsumsi masyarakat. Selain itu, tambahan kerupuk puli pada hidangan semanggi juga memberikan ciri khas tersendiri. Sama halnya dengan semanggi yang diolah dari tanaman yang mulanya tidak berguna, kerupuk puli juga dihasilkan dari sisa nasi yang tidak termakan lalu diolah kembali menjadi makanan yang layak untuk dikonsumsi (Kurniawati & Gunansyah, 2019). Proses pengolahan kedua makanan tersebut membuktikan bahwa masyarakat pada saat itu memiliki pemikiran yang kreatif dan adaptif serta peduli akan lingkungan hidup.
Seiring berjalannya waktu, terdapat beberapa perkembangan penyajian pecel semanggi. Dulu, masyarakat umumnya menyantap semanggi dengan tambahan lauk tempe atau dideh (kudapan yang terbuat dari darah ayam) (Kurniawati & Gunansyah, 2019). Namun, sejak tahun 1980 an, tambahan dideh pada hidangan semanggi mulai dihilangkan seiring dengan perkembangan dakwah Islam yang mulai masif di wilayah Surabaya. Dalam Islam dideh termasuk kategori makanan yang tidak halal sehingga lauk tambahan ini kemudian dihindari oleh masyarakat utamanya yang beragama Islam. Selain dideh, penyajian semanggi dengan tambahan tempe juga semakin berkurang. Hal tersebut berkaitan dengan selera masyarakat yang menghendaki penyajian pecel semanggi tanpa menggunakan tempe (Kurniawati & Gunansyah, 2019). Penghilangan beberapa tambahan tersebut pada akhirnya membuat tampilan pecel semanggi yang bisa kita jumpai pada saat ini memiliki sedikit perbedaan dengan tampilan pecel tersebut pada era sebelumnya.
Di Surabaya, terdapat satu kawasan yang secara resmi dinobatkan sebagai Kampung Semanggi. Kampung tersebut terletak di Jalan Kendung, Sememi, Kecamatan Benowo, yang masuk ke wilayah pinggiran kota dan berbatasan dengan Gresik. Dalam satu wilayah ini, terdapat sekitar 50 orang yang berprofesi sebagai penjual semanggi dan 12 orang sebagai pembudidaya atau petani semanggi (Islamia, 2020). Keberadaan kampung ini berkontribusi pada pembentukan identitas kota serta membuka potensi sebagai objek pariwisata kuliner di Surabaya. Pembentukan kampung ini diinisiasi oleh camat Benowo sejak tahun 2016 bersama masyarakat setempat yang mayoritas mencari penghasilan melalui semanggi (Islamia, 2020). Di tahun yang sama, masyarakat Jalan Kendung juga secara kolektif membentuk perkumpulan pedagang semanggi yang diberi nama Paguyuban Semanggi (Islamia, 2020). Melalui paguyuban ini, pemerintah kecamatan berupaya memberikan pendampingan kepada masyarakat agar tetap melestarikan eksistensi semanggi yang telah menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas Kota Surabaya.
Modernisasi membawa dampak yang signifikan pada eksistensi pecel semanggi. Saat ini, makanan ini termasuk kuliner yang tidak mudah ditemui di sembarang tempat karena tergeser oleh junk food yang semakin marak dikonsumsi oleh masyarakat, khususnya anak muda. Proses distribusi makanan ini dari pedagang juga mengalami pergeseran. Dulunya, semanggi dijajakan oleh pedagang yang didominasi oleh perempuan dengan berjalan kaki sambil membawa bakul, kini bertransformasi dengan memanfaatkan sepeda atau motor hingga memiliki stand atau outlet tersendiri (Islamia, 2020). Pergeseran tersebut tentu menjadi hal yang wajar untuk dapat beradaptasi dengan perkembangan zaman. Meskipun begitu, semanggi tetap melekat di memori kolektif masyarakat Surabaya sebagai salah satu kekayaan gastronomi dari daerah ini. Berkat kepopulerannya, semanggi bahkan digunakan sebagai nama untuk moda transportasi dalam kota, yaitu Trans Semanggi, serta ditampilkan dalam pertunjukkan ludruk khas Suroboyoan.
Oleh: Riska Yuliana Putri, Najmia Khairani, Putri Maulidiyah Wardhani
Referensi: