Mohon tunggu...
Riska Yuliana Putri
Riska Yuliana Putri Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - MAN 1 Kediri

kadi dipa amaḍaṅi bhumi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

[Perang Bubat] Kemelut Masa Lalu yang Masih Menyisakan Kabut

19 Maret 2023   15:51 Diperbarui: 19 Maret 2023   19:56 447
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Lazada.co.id

Pada tahun 1279 Saka atau 1375 Masehi, sejarah mencatat jejak kelam yang masih tak terhapus hingga saat ini. Lapangan Bubat menjadi saksi bisu perang antara dua kerajaan yang berakhir begitu tragis. Banyak nyawa melayang, darah berceceran, dan sukma terkoyak karena belapati. Perang antara rombongan keluarga Kerajaan Sunda dengan Pasukan Mahapatih Gajah Mada ini kemudian dikenal oleh masyarakat luas sebagai Pasundan-Bubat atau Perang Bubat.

Kronologi bagaimana terjadinya perang ini memiliki beberapa versi. Namun, yang paling terkenal berdasarkan Serat Pararaton, Kidung Sundayana, dan Carita Parahyangan adalah awal mula perang ini terjadi ketika putri dari Pasundan, Dyah Pitaloka Citraresmi, hendak dipersunting oleh penguasa dari Majapahit, Raja Hayam Wuruk. Atas permintaan Raja Hayam Wuruk, pernikahan akan dilaksanakan di Majapahit. 

Raja Linggabuana, ayah dari Dyah Pitaloka, tak keberatan dan membawa rombongan keluarga Kerajaan Sunda ke Majapahit. Akan tetapi, Gajah Mada yang menjadi Patih Amangkubhumi pada saat itu salah menafsirkan pernikahan ini sebagai strategi politik. Ia melihat kesempatan untuk menaklukan Pasundan dan memanfaatkan situasi ini untuk memenuhi ambisinya mewujudkan Sumpah Palapa.

Sesampainya di Majapahit, rombongan keluarga Kerajaan Sunda mendirikan pesanggrahan di Lapangan Bubat. Di sana bukannya mendapatkan sambutan baik dari tuan rumah, rombongan itu justru mendapat reaksi keras dari Gajah Mada mengklaim sepihak kedatangan Dyah Pitaloka sebagai penyerahan upeti tanda takluknya Sunda ke Majapahit. 

Keluarga dan pembesar Kerajaan Sunda tak terima dan memilih mati demi martabat daripada harga diri mereka diinjak-injak. Pecahlah perang antara keluarga Kerajaan Sunda dan tentara Majapahit di bawah pimpinan Gajah Mada di Lapangan Bubat.

Peristiwa tragis itu menyisakan dampak yang masih begitu terasa hingga saat ini. Kematian seluruh rombongan dari Pasundan termasuk Dyah Pitaloka Citraresmi yang melakukan belapati meninggalkan kesedihan mendalam bagi rakyat Sunda. Sejak saat itu, munculah mitos larangan menikah bagi perempuan Sunda dengan laki-laki Jawa. 

Masyarakat Sunda percaya bahwa pernikahan antara orang Sunda dan Jawa akan berlangsung tidak harmonis dan dipenuhi prahara. Bahkan, adik dari Raja Linggabuana yaitu Mangkubhumi Hyang Bunisora Suradipati secara tegas mengeluarkan aturan esti ti luaran atau larangan mengambil istri dari luar, khususnya Majapahit.

Selain munculnya mitos tersebut, hubungan diplomatik antara Sunda dan Majapahit juga terputus. Dua kerajaan ini memiliki ikatan kekerabatan melalui pernikahan Dyah Lembu Tal, ibu pendiri Majapahit, dengan Rakeyan Jayadarma yang berdarah Sunda. 

Rencana pernikahan antara Raja Hayam Wuruk dan Dyah Pitaloka Citraresmi awalnya juga bertujuan untuk mempererat hubungan antara dua kerajaan ini. Namun, karena tindakan ceroboh dari Mahapatih Gajah Mada yang dilakukan tanpa persetujuan Raja Hayam Wuruk malah membuat hubungan Sunda dan Majapahit kian memanas.

Sejak terjadinya perang itu, Raja Hayam Wuruk tak lagi menaruh kepercayaan besar kepada Gajah Mada. Rusaknya hubungan Sunda dan Majapahit menyebabkan Sumpah Palapa yang diikrarkan oleh Gajah Mada tidak dapat terealisasikan seutuhnya. 

Hal inilah yang menyebabkan jabatan Patih Amangkubhumi itu goyah dan berakhir mengasingkan diri di Madarikapura. Sebaliknya, Raja Linggabuana dan pembesar Kerajaan Sunda yang gugur di Perang Bubat dianggap sebagai pahlawan oleh masyarakat Sunda.

Buntut perang ini tak berakhir begitu saja. Hayam Wuruk dan Gajah Mada yang dianggap sebagai tokoh sentral dalam perang ini begitu dibenci oleh masyarakat Sunda. 

Ketegangan itu terus berlanjut dan semakin parah ketika Majapahit dianggap sebagai representasi dari etnis Jawa. Masyarakat Sunda secara tidak langsung mengisolasi diri dari segala macam interaksi atau hubungan dengan masyarakat Jawa. 

Hal ini ditujukkan dengan semakin banyaknya larangan atau pamali yang diwariskan dari generasi ke generasi. Meskipun di era modern seperti saat ini larangan tersebut mulai ditinggalkan, tapi beberapa kalangan masih memegang teguh kepercayaan mereka.

Selain munculnya banyak pamali, di kota-kota di daerah bekas wilayah Kerajaan Sunda khususnya Jawa Barat tidak ditemukan jalan yang menggunakan nama Gajah Mada, Hayam Wuruk, ataupun Majapahit. Sama halnya dengan daerah bekas wilayah Kerajaan Majapahit yang juga tidak ditemukan nama jalan Pajajaran ataupun Siliwangi. 

Kedua wilayah ini seakan masih melakukan perang dingin. Hingga pada Oktober 2017, Sultan Hamengkubuwono IX mengawali akhir dari perang dingin tersebut dengan meresmikan jalan yang diberi nama Pajajaran dan Siliwangi di Yogyakarta.

Hubungan dingin antara etnis Jawa dan Sunda ini tentu menjadi sorotan di tengah kehidupan Bangsa Indonesia yang beraneka ragam. Meski banyak kalangan yang berhasil mematahkan segala pamali yang tersebar, tapi beberapa pihak masih saja mempertahankan mitos tersebut bagaikan hukum adat yang tidak dapat dilanggar.

 Luka lama tujuh abad lalu seakan menjadi bom yang sewaktu-waktu dapat meledak di tengah hubungan dingin yang tak berkesudahan. Banyak momen baik diharapkan, agar di masa depan tidak ada lagi kejadian yang sama di Bumi Pancasila.

(Informasi dirangkum dari berbagai sumber)

—Hiera Ditto

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun