Buntut perang ini tak berakhir begitu saja. Hayam Wuruk dan Gajah Mada yang dianggap sebagai tokoh sentral dalam perang ini begitu dibenci oleh masyarakat Sunda.
Ketegangan itu terus berlanjut dan semakin parah ketika Majapahit dianggap sebagai representasi dari etnis Jawa. Masyarakat Sunda secara tidak langsung mengisolasi diri dari segala macam interaksi atau hubungan dengan masyarakat Jawa.
Hal ini ditujukkan dengan semakin banyaknya larangan atau pamali yang diwariskan dari generasi ke generasi. Meskipun di era modern seperti saat ini larangan tersebut mulai ditinggalkan, tapi beberapa kalangan masih memegang teguh kepercayaan mereka.
Selain munculnya banyak pamali, di kota-kota di daerah bekas wilayah Kerajaan Sunda khususnya Jawa Barat tidak ditemukan jalan yang menggunakan nama Gajah Mada, Hayam Wuruk, ataupun Majapahit. Sama halnya dengan daerah bekas wilayah Kerajaan Majapahit yang juga tidak ditemukan nama jalan Pajajaran ataupun Siliwangi.
Kedua wilayah ini seakan masih melakukan perang dingin. Hingga pada Oktober 2017, Sultan Hamengkubuwono IX mengawali akhir dari perang dingin tersebut dengan meresmikan jalan yang diberi nama Pajajaran dan Siliwangi di Yogyakarta.
Hubungan dingin antara etnis Jawa dan Sunda ini tentu menjadi sorotan di tengah kehidupan Bangsa Indonesia yang beraneka ragam. Meski banyak kalangan yang berhasil mematahkan segala pamali yang tersebar, tapi beberapa pihak masih saja mempertahankan mitos tersebut bagaikan hukum adat yang tidak dapat dilanggar.
Luka lama tujuh abad lalu seakan menjadi bom yang sewaktu-waktu dapat meledak di tengah hubungan dingin yang tak berkesudahan. Banyak momen baik diharapkan, agar di masa depan tidak ada lagi kejadian yang sama di Bumi Pancasila.
(Informasi dirangkum dari berbagai sumber)
—Hiera Ditto
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H