Hidayatun Nurdiana - Jurusan Ilmu Hukum UIN Walisongo Semarang.
Dari sekian banyaknya pembahasan mengenai berbagai macam masalah dan opini mengenai hal-hal yang lebih mengacu pada politik, negara, hukum, dan pembahasan menarik lainnya, saya memilih untuk mengasingkan diri dari pembahasan dengan topik yang cukup berat tersebut. Sebaliknya, topik pembahasan kali ini, bisa dikatakan cukup ringan, setidaknya lebih ringan daripada pembahasan mengenai politik dan hukum yang sedang terjadi di Indonesia.
Sekarang ini, pada zaman yang disebut-sebut sebagai zaman milenial, zamannya generasi yang disebut anak zaman now. Kaum Milenial adalah generasi muda yang terlahir antara tahun 1980-2000. Dimana pada saat itu, dunia modern dan teknologi canggih mulai dikenalkan kepada publik atau masyarakat luas. Industri hiburan pun mulai terpengaruh dengan internet dan perangkat seluler.
Anak-anak, remaja, bahkan dewasa semuanya telah dibekali dengan canggihnya teknologi informasi dan komunikasi. Semua kalangan, bahkan anak-anak yang masih berusia 5 tahun, dapat mengakses web internet atau youtube sendiri tanpa harus melibatkan pengajaran orang tuanya.Â
Berkat kecanggihan teknologi inilah, anak-anak new generation ini dapat mengakses atau menjelajahi dunia tanpa harus menggunakan tiket pesawat, kereta maupun transportasi lainnya. Cukup dengan menekan tombol search, semua sudah tersedia informasi secara detail mengenai negara-negara, dan hal lainnya yang ingin mereka ketahui lebih banyak.
Selain itu, generasi muda juga lebih terbuka mindset nya daripada golongan tua yang masih terpengaruh dengan hal yang bersifat tradisional, kolot, mampu mengekspresikan perasaan, pribadi yang fleksibel dan optimis, serta menerima inovasi atau perubahan baru yang tengah terjadi.
Mereka mengidentifikasikan diri sebagai liberal dan lebih mendukung keprogresifan negeri dengan mengatasnamakan kemajuan yang modern dan kekinian. Menerima segala macam hal baru akibat masuknya berbagai kebudayaan dan juga kebiasaan dunia internasional yang berdampak besar bagi kepribadian dan moral mereka tanpa harus melalui proses filter terlebih dahulu. Akibatnya, generasi muda zaman now menjadi moral less dan menjadi pribadi yang males, serba less.
Oleh karena itu, keseimbangan vertical dan horizontal, sangatlah penting untuk membantu membentuk generasi muda atau new generasi yang berkelas, yang berkualitas. Tidak hanya sebatas prestasi, namun juga ber etikat, manner, dan bermoral yang baik.
Keseimbangan vertical atau bisa juga disebut sebagai hablun min Allah, maksudnya adalah hubungan kita dengan Allah SWT. Islam sendiri mengenal 3 tangga bagi orang muslim, yaitu: iman, islam, dan ihsan. Iman dengan mengakui rukun iman, kemudian menjadi islam yang merujuk pada rukun islam, dan dengan takwa ia menjadi ihsan.Â
Karakteristik utama seorang muslim pada masa Rasulullah SAW adalah semakin kuat iman dan takwanya kepada Allah, maka akan semakin baik hubungan dengan sesamanya juga. Karena salah satu ciri orang yang bertakwa yaitu bisa mengendalikan amarah dan mudah untuk memaafkan kesalahan orang lain. Â
Hal ini membuktikan bahwa dengan menerapkan keseimbangan vertical dalam hidup kita, dapat sekaligus menciptakan keseimbangan horizontal bagi semua makhluk. Keseimbangan horizontal merupakan hubungan kita terhadap sesama manusia.Â
Manusia merupakan makhluk sosial, saling bergantung satu sama lain. Saat butuh bantuan, maka akan meminta tolong kepada yang lain, dan mendapatkan bantuan dari orang lain pula. Maka, kita tidak boleh bertindak seenaknya dengan orang lain, menyakitinya, bahkan bersikap tak acuh pada orang lain. Karena suatu saat kita akan membutuhkan bantuan orang lain, membutuhkan keahlian, jasa orang lain. Jika kita bersikap tidak menghargai sesama, saat dalam masa sulit kita akan sendirian, tak ada yang membantu.
Sama halnya dengan generasi muda zaman milenial ini, kebanyakan dari mereka berpikir terlalu, sehingga terkadang tidak memikirkan apakah hal tersebut sudah sesuai moral dan norma yang ada dalam masyarakat kita. Seperti contohnya pemikiran yang lebih condong pada barat, terlalu liberal. Apakah hal tersebut cocok dengan moral setempat, moral agama? Jawabannya tidak.Â
Tidak semua pandangan barat bisa diserap kemudian diterapkan di wilayahnya, terkadang hal tersebut dianggap tidak bermoral oleh masyarakat sekitar, bahkan bisa jadi hal tersebut melanggar perintah dan aturan yang telah ada, baik aturan negara maupun agama.
Seperti pada kebanyakan remaja yang terlalu liberal, mereka mengatakan bahwa seseorang yang berpacaran boleh saling berciuman, melakukan kontak fisik yang melebihi batas aturan, bahkan ada pula yang sampai tinggal satu rumah. Mungkin, menurut kalian tidak salah. Karena sudah pacaran, berhak melakukan apapun pada pacarnya, apalagi sudah mendapat izin dari pihak lawan jenis.Â
Jika semua berpikir seperti itu, bagaimana negara ini maju. Berpikir kritis, logika boleh, tetapi jangan terlalu mengedepankan keegoisan atau kengeyelan dan keuntungan saat itu saja. Pikirkan juga akibat kedepannya yang bisa terjadi, merugikan atau tidak.
Selain itu, liberalism menganut paham sekuler, dimana agama dikesampingkan. Sedangkan, dalam setiap agama mengajarkan setiap umatnya untuk selalu bermoral, bernorma, dan bertakwa agar kelak umatnya tidak berjalan pada jalan yang salah. Agama sebagai petunjuk, al-Quran dan hadist sebagai pedoman.Â
Dalam kedua pedoman tersebut diajarkan untuk menghargai Allah dan sesama manusia, perilaku Rasulullah SAW yang menghargai, cinta kedamaian juga toleransi terhadap segala perbedaan, tidak mendiskriminasi satu sama lain juga tercantum. Semua ajaran tingkah laku juga terdapat di dalamnya. Apa yang dilarang adalah hal yang baik bagi kita.
Generasi muda atau new generation membutuhkan peran agama dan sosial dalam kehidupannya, keseimbangan antara hubungan vertical dan horizontal. Dengan memegang agama sebagai pilar utama dan sosial sebagai atapnya, maka negara ini akan semakin maju, tidak hanya karena prestasi yang ada, tetapi juga karena kebaikan moral dan keunggulan kualitas manusianya yang bermoral dan berakal.Â
Selain itu, agama juga bisa menjadi tameng bagi para new generation agar terhindar dari segala pikiran yang dapat merusak diri sendiri maupun orang lain, apalagi negaranya. Begitu juga dengan sosial sebagai senjatanya, senjata untuk mengedepankan toleransi dan hati nurani agar saling menghormati dan menghargai satu sama lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H