Mohon tunggu...
Hidayatullah
Hidayatullah Mohon Tunggu... Pengacara - Hidayatullahreform

Praktisi Hukum/Alumni Fakultas Hukum UHO

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pembajak Reformasi dan Ilusi Tiga Periode

6 April 2022   11:31 Diperbarui: 6 April 2022   11:38 355
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bacaan 3 menit
oleh : Hidayatullah

Keyakinan Elit Kekuasaan

Gigih cara elit lingkaran kekuasaan membela penundaan Pemilu 2024 dengan keinginan perpanjangan atau tambahan tiga periode masa jabatan Presiden Joko Widodo melalui cara amandemen UUDNRI 1945.

Dalihnya bermacam-macam diantaranya Indonesia butuh stabilitas investasi dan pemulihan ekonomi dampak pandemi Covid-19. Toh juga UUDNRI 1945 saat ini hasil amandemen empat kali tahun 1998-2022 sehingga bukanlah kita suci yang haram untuk mengubah apalagi membahasnya. Itulah dalil sederhannya.

Meski sejarah reformasi 1998 concern dalam reformasi konstituis UUD 1945 adalah pengukuhan Indonesia sebagai negara hukum demokratis, soal kedaulatan berada ditangan rakyat, pembatasan masa jabatan Presiden yang tak terbatas menjadi terbatas hanya untuk dua periode, pemilu dilaksanakan setiap lima tahun sekali oleh suatu lembaga independen dengan tambahan asas selain Luber adalah jurdil, serta penghapusan diskriminasi dengan menjunjung tinggi HAM.

Meski mayoritas rakyat dan segenap pendapat para ahli, pakar hukum, akademisi dan segenap civil society yakni penggiat demokrasi (prodemokrasi) menentang penundaan Pemilu 2024 serta perpanjangan atau tiga periode jabatan presiden karena menabrak konstitusi dan mengkhianati agenda reformasi bangsa.

Meski pula Presiden Jokowi sendiri ditahun 2021 lalu sempat dengan mimik marah dan tegas menentang perpanjangan jabatan tiga periode sebagai upaya cari muka dan menjerumuskan. Namun belakangan pernyataan Presiden melunak bahwa siapapun boleh-boleh saja mewacanakan penundaan dan perpanjangan 'masa jabatan presiden tiga periode'.

Artinya secara tersirat Presiden Jokowi tampak tidak menyalahkan usaha para pembantu dekatnya (menko marives Luhut Binsar Pandjaitan dan Menives/kepala BKPM Bahlil Lahadia) serta elit partai yang ingin menunda Pemilu 2024 dan mengamamdemen UUDNRI 1945 untuk perpanjangan masa jabatanya atau untuk lanjut tiga periode.

Kemudian setelahnya terus saja sampai saat ini diawal ramadan hampir setiap hari bergulir wacana penundaan pemilu, mengkristal pada gagasan tiga periode Presiden.

Manuver Politik Apdesi

Tampak dengan adanya manuver politik 'deklarasi tiga periode' para Kepala Desa yang tergabung dalam Asosiasi Perangkat Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) dalam acara Silatnas Kades yang juga dihadiri oleh Menko Marives Luhut Binsar Panjaitan dan Presiden Joko Widodo pada Selasa (29/03/2022) lalu.

Ditengah kontroversi dan kecaman publik terhadap manuver politik Apdesi ini, patut disayangkan siapa penggerak tindakan gegabah yang mengajarkan para kades untuk bertindak lancang diluar kepatutan jabatan sebagai aparatur negara yang justru melabrak konstitusi negaranya sendiri. Membuat pembohongan dan pembodohan para Kades seolah tampak bodoh dan buta konstitusi dibuatnya.

Para Kades yang terhimpun dalam Apdesi ini telah melanggar UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa yang terang benderang  mengatur bahwa Kepala Desa dan perangkat desa dilarang berpolitik. Sudah tegas dilarang berpolitik ditambah lagi deklarasi tiga periode Jokowi adalah menabrak konstitusi UUDNRI 1945.

"Para Kades ini sudah selayaknya untuk digugat rakyatnya, dan pantas diturunkan dari jabatan Kades atas conflict interest yang disebabkan moral hazard atas kejadian yang menyimpang, dan penyimpangan itu dijadikan sebagai modus untuk melegitimasi kepentingan elit yang melanggar konstitusi".

Resiko berat para kades ini bisa segera terjadi pergolakan masyarakat di desa-desa untuk menggulingkannya. Perang saudara didesa akan tersulut. Ini cara keji dan strategi politik culas yang mengorbankan para kades dan bisa melahirkan perang saudara yang dimulai dari desa.

Artinya rakyat desa pembela konstitusi, reformasi, dan demokrasi akan segera menggaung (resound) untuk gayang kepala desa yang berpolitik praktis dan tindakan makar terhadap konstitusi.

Terbaru dan terironi dari pernyataan mendagri Tito Karnavian ikut memperkuat wacana soal "Jokowi tiga Periode dan bukan kita suci, amandemen UUD Tidak Tabu". Tak sampai disitu, bahkan Mendagri Tito ikut melegitimasi bahwa "Sebut Kades Deklarasi 'Jokowi 3 Periode' Tak Langgar UU", seperi dilansir berita CNN (05/04/2022).

Padahal jelas-jelas tindakan ini adalah ketidakpatutan dan diluar kepantasan para kepala desa yang tergabung dalam Apdesi deklarasi Jokowi tiga Periode yang nyata aspirasi ini sebuah kejahatan konstitusi kenegaraan (hukum ketatanegaraan) yang mengancam stabiltas politik dan kemananan dalam negeri.

Ilusi Elit Kekuasaan

Realita wacana penundaan pemilu yang mengental pada keinginan mengubah konstitusi dengan jalan amandemen UUDNRI 1945 pasal 7 itu adalah sebuah ilusi para pembantu Presiden dan segelintir elit partai untuk pengkultusan Jokowi terus berada dikekuasaan puncak yang tidak terbatas. Artinya mengulang kembali nostalgia era otoriterian orde baru bahwa jabatan Presiden tidak terbatas dua periode saja.

Ilusi-ilusi ini tentu mengubur cita-cita mulia reformasi 98. Ilusi elit politik kekuasaan yang meruntuhkan fundamental reformasi konstitusi hasil konsensus rakyat terbesar dan terberat dalam sejarah perubahan bangsa Indonesia yakni menumbangkan kediktatoran otoriterianisme Soeharto selama 32 tahun demi pencapaian tujuan substansial yakni negara hukum dalam sistem demokrasi yang egaliterian.

Ternyata ilusi kekuasaan itu terbukti benar seperti kutipan buku yang sempat viral "How Democracies Die". Buku yang ditulis oleh ilmuwan politik dari Universitas Harvard, yaitu Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt. Buku ini berisi tentang bagaimana para pemimpin terpilih dapat secara bertahap menumbangkan proses demokrasi untuk meningkatkan kekuasaan mereka.

Rasanya penulis sama dengan suasana kebatinan sebagian besar rakyat dan juga para pakar, praktisi, dan politisi dan kalangan prodemokrasi yang sungguh menyayangkan telah tercabutnya rasa malu dan anti konstitusi yang dipertontonkan oleh mereka kaum terpelajar dan para pejabat pemerintahan.

Ilusi dan halusinasi apa yang membuat kepongahan dan kesombongan kekuasaan elit ini sampai dengan tega mengencingi kecerdasan intelektual bangsa kita akan kepatuhan terhadap kostitusi dan amanat perjuangan reformasi dan penderitaan rakyat?

Pembajak Reformasi Para Penumpang Gelap

Seolah-olah mereka tampak mulia atas nama ekonomi, investasi dan tanpa beban sejarah menempatkan konstitusi bagai barang yang tak punya nilai kesucian yang seolah-olah berada ditelapak kaki mereka.

Lupa? bahwa capaian konstitusi yang saat ini sedang mereka jalankan bersumber dari sumpah/janji jabatan ketika menduduki posisi jabatan negara atau pemerintahan.

Bukankah para elit pejabat negara dan pejabat pemerintahan ini ketika memangku jabatan akan terlegitimate setelah diambil sumpah/janji dengan kewajiban tanpa syarat agar taat, tunduk dan patuh pada konstitusi UUD 1945,  negara dan peraturan per-UU yang berlaku?

Mari kita liat lafaz sumpah/janji, yang diucapkan para menteri/pejabat pemerintahan;

"Demi Allah, saya bersumpah bahwa saya, akan setia kepada UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 serta akan menjalankan segala peraturan perundang-undangan dengan selurus-lurusnya demi darma bakti saya kepada bangsa dan negara"
"Bahwa saya dalam menjalankan tugas tugas dan jabatan akan menjunjung tinggi etika jabatan, bekerja dengan sebaik-baiknya, dengan penuh penuh rasa tanggung jawab."

Bukankah lafaz sumpah/janji yang diucapkan diatas tidak hanya dihadapan manusia tetapi dihadapan Tuhan Yang Maha Esa, disaksikan atas jaminan kitab suci bagi yang muslim ("Alquran") dijunjung diatas kepala, dan yang non muslim berjanji dengan memegang kitab sucinya.

Lalu atas dasar apa mengatakan Konstitusi bukanlah kitab suci kenegaraan dan bukanlah barang haram mengubahnya setiap saat semudah membuat martabak telor? lalu yang saudara-saudara mensucikan waktu diambil sumpah/janji dengan kita suci itu untuk mensucikan apa?

Pada akhirnya kita menyadari bahwa ada penumpang gelap digerbong kereta reformasi ini. Gerbong reformasi dengan tujuan cita-cita mulia demokrasi ini masih diperjalanan, belum mencapai tujuan mulianya diganggu oleh para pembajak (penumpang gelap).

Dalam situasi seperti ini, apakah kita akan memberhentikan gerbong reformasi ditengah perjalanannya? Ataukah kita sama-sama membunuh demokrasi ini dengan sekalian menghancur-leburkan gerbong reformasi ini? 

Atau pilihannya para penumpang gelap dan pembajak ini harus diberesin dan diturunkan ditengah perjalanan, dan kita tinggalkan mereka dan kita lupakan sebagai sejarah buruk di era reformasi bangsa ini?

Mengganti Konstitusi yang Sah Adalah Tindak Pidana Makar

Padahal jangankan mewacanakan, atas dasar niat saja untuk mengganti konstitusi dalam sistem bernegara di Indonesia adalah suatu tindak pidana makar yang diatur dalam Buku Kedua KUHP (Kejahatan) pada Bab I tentang Kejahatan Terhadap Keamanan Negara dalam pasal 104 sampai pasal 129.

Dalam pengertiannya kejahatan terhadap keamanan negara adalah suatu kejahatan yang menyerang kepentingan hukum negara. Sesuai dengan namanya, kejahatan ini mempunyai obyek keamanan negara.

Jadi sesungguhnya bagi siapapun warga negara atau kelompok dan golongan apapun yang ingin merongrong atau ingin mengubah, mengganti ideologi dan sistem berkonstitusi yang sah dengan hanya dilandasi niat saja sudah merupakan kejahatan terhadap keamanan negara.

Perbuatan-perbuatan itu dianggap kejahatan politik yang mengancam, mengganggu dan merusak kepentingan hukum negara. Maka sebagai negara hukum, ketertiban hukum yang harus dilindungi dalam aturan tentang kejahatan terhadap keamanan negara itu adalah keamanan kepala negara, keamanan wilayah negara, keamanan bentuk pemerintahan.

Penutup

Pilihannya kepada kita semua. Tiada seorang pun yang bisa memprediksi masa depan, namun kekuasaan bisa membuat rencana. Dan rakyat harus bagaimana?

Namun, nampaknya para "Mahasiswa" sudah mulai bergerak. Dan memang hanya kepada merekalah gerbong reformasi ini lanjut atau runtuh. Hanya kelompok mahasiswalah yang memiliki moral force sebagai elan vital penggerak perubahan terbebas dari conflict interest, dan tidak punya kepentingan politik, jabatan maupun kekuasaan.

Saat ini "Hanya ada dua pilihan: menjadi apatis atau mengikuti arus. Tapi, aku memilih untuk jadi manusia merdeka," -- Soe Hok Gie.

Selamat berjuang adik-adik mahasiswa. Menolaklah untuk takut.

Panjang Umur Perjuangan. Merdeka......!!


*Penulis; Praktisi Hukum/Ketua Presidium JaDI Sultra

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun