Ditengah kontroversi dan kecaman publik terhadap manuver politik Apdesi ini, patut disayangkan siapa penggerak tindakan gegabah yang mengajarkan para kades untuk bertindak lancang diluar kepatutan jabatan sebagai aparatur negara yang justru melabrak konstitusi negaranya sendiri. Membuat pembohongan dan pembodohan para Kades seolah tampak bodoh dan buta konstitusi dibuatnya.
Para Kades yang terhimpun dalam Apdesi ini telah melanggar UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa yang terang benderang  mengatur bahwa Kepala Desa dan perangkat desa dilarang berpolitik. Sudah tegas dilarang berpolitik ditambah lagi deklarasi tiga periode Jokowi adalah menabrak konstitusi UUDNRI 1945.
"Para Kades ini sudah selayaknya untuk digugat rakyatnya, dan pantas diturunkan dari jabatan Kades atas conflict interest yang disebabkan moral hazard atas kejadian yang menyimpang, dan penyimpangan itu dijadikan sebagai modus untuk melegitimasi kepentingan elit yang melanggar konstitusi".
Resiko berat para kades ini bisa segera terjadi pergolakan masyarakat di desa-desa untuk menggulingkannya. Perang saudara didesa akan tersulut. Ini cara keji dan strategi politik culas yang mengorbankan para kades dan bisa melahirkan perang saudara yang dimulai dari desa.
Artinya rakyat desa pembela konstitusi, reformasi, dan demokrasi akan segera menggaung (resound) untuk gayang kepala desa yang berpolitik praktis dan tindakan makar terhadap konstitusi.
Terbaru dan terironi dari pernyataan mendagri Tito Karnavian ikut memperkuat wacana soal "Jokowi tiga Periode dan bukan kita suci, amandemen UUD Tidak Tabu". Tak sampai disitu, bahkan Mendagri Tito ikut melegitimasi bahwa "Sebut Kades Deklarasi 'Jokowi 3 Periode' Tak Langgar UU", seperi dilansir berita CNN (05/04/2022).
Padahal jelas-jelas tindakan ini adalah ketidakpatutan dan diluar kepantasan para kepala desa yang tergabung dalam Apdesi deklarasi Jokowi tiga Periode yang nyata aspirasi ini sebuah kejahatan konstitusi kenegaraan (hukum ketatanegaraan) yang mengancam stabiltas politik dan kemananan dalam negeri.
Ilusi Elit Kekuasaan
Realita wacana penundaan pemilu yang mengental pada keinginan mengubah konstitusi dengan jalan amandemen UUDNRI 1945 pasal 7 itu adalah sebuah ilusi para pembantu Presiden dan segelintir elit partai untuk pengkultusan Jokowi terus berada dikekuasaan puncak yang tidak terbatas. Artinya mengulang kembali nostalgia era otoriterian orde baru bahwa jabatan Presiden tidak terbatas dua periode saja.
Ilusi-ilusi ini tentu mengubur cita-cita mulia reformasi 98. Ilusi elit politik kekuasaan yang meruntuhkan fundamental reformasi konstitusi hasil konsensus rakyat terbesar dan terberat dalam sejarah perubahan bangsa Indonesia yakni menumbangkan kediktatoran otoriterianisme Soeharto selama 32 tahun demi pencapaian tujuan substansial yakni negara hukum dalam sistem demokrasi yang egaliterian.
Ternyata ilusi kekuasaan itu terbukti benar seperti kutipan buku yang sempat viral "How Democracies Die". Buku yang ditulis oleh ilmuwan politik dari Universitas Harvard, yaitu Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt. Buku ini berisi tentang bagaimana para pemimpin terpilih dapat secara bertahap menumbangkan proses demokrasi untuk meningkatkan kekuasaan mereka.