Mohon tunggu...
Hidayatullah
Hidayatullah Mohon Tunggu... Pengacara - Hidayatullahreform

Praktisi Hukum/Alumni Fakultas Hukum UHO

Selanjutnya

Tutup

Hukum Artikel Utama

Penghapusan Syarat Antigen dan PCR di Tengah Dilema Vaksinasi Covid-19

13 Maret 2022   17:54 Diperbarui: 14 Maret 2022   12:23 1169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Baru-baru ini Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan dalam konferensi pers hasil Ratas PPKM pada Senin, 7 Maret 2022 menyatakan bahwa hasil negatif Antigen/PCR tak lagi menjadi syarat berpergian dalam negeri.

Peraturan terbaru ini merupakan hasil pemantauan kondisi terkini. Rendahnya BOR, tren penurunan kasus Covid-19 dewasa ini, dan menurunnya angka kematian. Sebagai gantinya untuk berpergian masyarakat hanya perlu membuktikan bahwa dirinya telah divaksin.

Meski demikian, tak semua orang menyambut baik keputusan yang akan segera dimuat dalam surat edaran ini.

Dikutip dari Kompasiana yang meminta tanggapan para kompasianer (topik pilihah editor, 8 Maret 2022) bahwa, pada satu sisi, penghapusan kewajiban menyertakan hasil negatif PCR/Antigen akan mendorong pertumbuhan sektor ekonomi, terutama pariwisata. Apalagi Indonesia akan menyambut MotoGP Mandalika di pertengahan Maret ini.

Pada sisi lain, peraturan baru ini membawa kekhawatiran. Pasalnya, tingkat vaksinasi di setiap provinsi tidaklah sama antara satu dengan yang lainnya.

Potensi penyebaran tetap perlu diwaspadai. Selalu ada risiko bila bila virus dibawa dari kota-kota besar dengan tingkat vaksinasi tinggi, ke wilayah lain di Indonesia yang tingkat vaksinasinya lebih rendah.

Mencermati kebijakan baru pemerintah ini, penulis melihat ada yang tidak sinkron antara penghapusan syarat antigen dan PCR dengan kebijakan vaksinasi Covid-19 pada konteks kepentingan kekebalan komunitas atau herd immunity karena tingkat vaksinasi di setiap provinsi tidaklah sama antara satu dengan yang lainnya.

Dari aspek vaksinasi saja masih terdapat pro-kontra di tengah masyarakat. Memang betul bahwa fungsi vaksinasi bukan sebagai obat penyembuh Covid-19, tetapi vaksin adalah antigen yang dapat merangsang pembentukan imunitas (antibodi) sistem imun di dalam tubuh.

Sebenarnya, sistem kekebalan tubuh terhadap suatu penyakit bisa terbentuk secara alami saat seseorang terinfeksi virus atau bakteri penyebabnya.

Hanya saja karena wabah Covid-19 ini memiliki risiko kematian dan daya tular yang tinggi, maka pilihannya adalah bagaimana untuk membentuk kekebalan komunitas atau herd immunity, maka hanyalah proses vaksinasi dan tetap konsisten menerapkan disiplin protokol kesehatan Covid-19.

Sedangkan syarat antigen dan PCR singkatan dari polymerase chain reaction adalah pemeriksaan yg dilakukan untuk mendeteksi infeksi virus corona. Metode pemeriksaan ini paling umum dilakukan semenjak kebijakan PPKM dikeluakan oleh pemerintah.

Dahulu sebelum PPKM yang familiar penerapannya dipublik dikenal metode swab test antigen dan awal-awalnya muncul virus corona yang familiar dipublik adalah istilah Rapid test. Metode dan alat dari masing-masing pemeriksaan itu juga berbeda tetapi fungsinya sama yaitu untuk mendeteksi infeksi virus Covid-19.

Penghapusan syarat antigen dan PCR tentu mengkhawatirkan karena upaya vaksinasi Covid-19 belum merata dan terus menjadi kontroversi ditengah masyarakat. Tentu saja hal ini patut disayangkan karena sejak awal merebak virus ini sampai pada gelombang ketiga varian Covid-19 "Omicron" saat ini, masih terdapat respons publik di media sosial baik di FB, WA, IG, Twitter dan Youtube terjebak dengan narasi provokatif dan beraneka macam konten-konten menyesatkan.

Konten-konten menyesatkan itu berupaya mempengaruhi kesadaran publik agar tidak percaya terhadap kehadiran virus corona ini yang terus bermutasi sampai saat ini.

Narasai provokatif dan konten-konten menyesatkan ikut mempengaruhi nalar banyak orang sehingga berdampak pada mindset sebagaian dari masyarakat untuk tidak mau mengikuti anjuran Pemerintah dalam melakukan vaksinasi Covid-19.

Padahal pemberian vaksin tidak lain sebagai upaya pemerintah menjaga kesehatan masyarakat, dan bertujuan untuk mengurangi transmisi atau penularan Covid-19, menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat Covid-19, mencapai kekebalan kelompok dimasyarakat, dan untuk melindungi masyarakat dari Covid-19 agar tetap produktif secara sosial dan ekonomi.

Upaya pemberian vaksin oleh pemerintah dianggap sebagai salah satu solusi agar masyarakat terhindar dari penularan Covid-19, namun oleh sebagian masyarakat pemberian vaksin tersebut ada yang menerima dan ada yang menolak, bagi masyarakat yang menolak tentu mempunyai alasan tersendiri seperti takut, ragu akan keamanan dan kehalalan dari vaksin yang diberikan.

Vaksinasi Antara Hak dan Kewajiban

Pada dasarnya setiap orang mempunyai hak untuk mendapatkan kesehatan, salah satu hak untuk mendapatkan kesehatan tersebut diatur dalam pasal 4 UU No. 36/2009 tentang Kesehatan. Dalam pasal itu dikatakan "setiap orang berhak atas kesehatan."

Selain masyarakat mempunyai hak atas kesehatan, masyarakat juga mempunyai kewajiban mewujudkan, mempertahankan, dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, selain itu juga berkewajiban untuk menghormati hak orang lain dalam upaya memperoleh lingkungan yang sehat, baik fisik, biologi, maupun sosial. Hal ini berdasarkan Pasal 9 ayat (1) dan Pasal 10 UU No. 36/2009 tentang Kesehatan.

Pada dasarnya masyarakat mempunyai hak atas kesehatan dan juga mempunyai kewajiban mewujudkan, mempertahankan, dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.

Sedangkan pemerintah sendiri bertanggung jawab untuk merencanakan, mengatur, menyelenggarakan, membina, dan mengawasi penyelenggaraan upaya kesehatan yang merata dan terjangkau oleh masyarakat, yang diatur dalam Pasal 14 ayat (1) UU No. 36/2009 tentang Kesehatan.

Selain itu pada Pasal 152 ayat (1) UU No. 36/2009 tentang Kesehatan. Pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat bertanggung jawab melakukan upaya pencegahan, pengendalian, dan pemberantasan penyakit menular serta akibat yang ditimbulkannya.

Dari pasal tersebut jelas pemerintah-lah dan masyarakat bertanggungjawab dalam upaya pencegahan, pengendalian, dan pemberantasan penyakit menular serta akibat yang ditimbulkannya.

Jadi pada prinsipnya vaksinasi bukan sekedar masalah kesehatan pribadi saja, melainkan mencegah penularan dan membentuk perlindungan kekebalan tubuh setiap orang, sebab hidup di tengah masyarakat prinsipnya bukan hanya menyelamatkan diri sendiri tapi juga menyelamatkan orang lain yang membutuhkan perlindungan.

Jadi vaksinasi merupakan kewajiban bagi pemerintah untuk di berikan kepada warganya sebagai hak agar tetap sehat dan aman dari kemungkinan infeksi virus, dan pada dasarnya setiap orang tidak bisa menolak untuk divaksin, karena orang yang menolak divaksi juga wajib menghormati hak asasi orang lain.

Dalam UU No. 39/2009 tentang Hak Asasi Manusia, pada Pasal 69 (1) dikatakan Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain, moral, etika, dan tata tertib kehidupan bermasyarakat, bebangsa, dan bernegara.

Kemudian pada Pasal 69 ayat (2) dikatakan, setiap hak asasi manusia seseorang menimbulkan kewajiban dasar dan tanggung jawab untuk menghormati hak asasi orang lain secara timbal balik serta menjadi tugas Pemerintah untuk menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukannya.

Perpres No. 14/2021 Menjadikan Vaksinasi Covid-19 Bersifat Wajib

Perpres No. 14/2021 tentang Pengadaan Vaksin dan Pelaksanaan Vaksinasi dalam Rangka Penanggulangan Pandemi Covid-19 diterbitkan pada 9 Februari 2021 oleh Presiden Joko Widodo sebagai perubahan dari Perpres No. 99/2020.

Salah satu tujuan Perpres ini terbit untuk maksud agar dapat menekan laju penyebaran Covid-19 dengan adanya kekebalan kelompok di masyarakat (herd immunity).

Dari konstruksi hukum Perpres perubahan tersebut menjadikan vaksin bersifat wajib sebagaimana pasal 13A ayat (2) berbunyi;

"setiap orang yang telah ditetapkan sebagai sasaran penerima Vaksin COVID-l9 berdasarkan pendataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mengikuti Vaksinasi COVID- 1 9."

Jadi bagi setiap orang yang telah masuk dalam kelompok sasaran vaksin menjadi suatu kewajiban, tetapi dalam ayat (3) ada pengecualian bagi yang tidak memenuhi kriteria penerima vaksin.

Karena vaksin adalah suatu kewajiban bagi yang memenuhi kriteria, maka bagi yang menolak dikenai sanksi administrasi, sebagaimana ayat (4), bahwa;

"Setiap orang yang telah ditetapkan sebagai sasaran penerima Vaksin Covid-19 yang tidak mengikuti Vaksinasi Covid-19 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dikenakan sanksi administratif, berupa" :

a). penundaan atau penghentian pemberian jaminan sosial atau bantuan sosial;
b). penundaan atau penghentian layanan administrasi pemerintahan; dan/atau
c). denda.

Terhadap pihak yang berwenang memberikan sanksi administrasi diserahkan ke kementerian, lembaga, pemerintah daerah, atau badan lain sesuai kewenangannya.

Sanksi administrasi diatas bukanlah satu-satunya sanksi dan tidak bersifat alternatif saja. Unsur pemaknaan yang semula delik pelanggaran justru menjadi sanksi bersifat kumulatif dengan delik kejahatan pidana.

Sebagaimana Pasal 13B dengan rumusan dimana seseorang melanggar ketentuan Pasal 23A ayat (2) ketika tidak mengikuti vaksin maka dianggap dengan tuduhan menyebabkan terhalangnya pelaksanaan penanggulangan penyebaran Covid-19 dengan menunjuk UU wabah penyakit menular.

Adapun bunyi pasal 13B, berikut ini;

"Setiap orang yang telah ditetapkan sebagai sasaran penerima Vaksin COVID- 19, yang tidak mengikuti Vaksinasi COVID-19 sebagaimana dimaksud dalam pasal 13A ayat (2) dan menyebabkan terhalangnya pelaksanaan penanggulangan penyebaran COVID- 19, selain dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud dalam pasal 13A ayat (a) dapat dikenakan sanksi sesuai ketentuan undang-undang tentang wabah penyakit menular."

Maksud Pasal 13B menunjuk UU Wabah Penyakit Menular adalah UU No. 4/1984. Ketika UU ini ditunjuk oleh Pepres No. 14/2021 sebagai pendelegasian penerapan sanksi kumulatif, maka lengkap sudah bahwa seseorang yang memenuhi kriteria untuk menerima vaksin dan tidak melakukannya maka dianggap sebagai bentuk "pelanggaran sekaligus kejahatan".

Hal ini dapat dilihat dalam UU No. 4/1984 pada Bab VII Ketentuan Pidana, Pasal 14 ayat (1), (2), dan (3);

Barang siapa dengan sengaja menghalangi pelaksanaan penanggulangan wabah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, diancam dengan pidana penjara selama-lamanya 1 (satu) tahun dan/atau denda setinggi-tingginya Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah).

Barang siapa karena kealpaannya mengakibatkan terhalangnya pelaksanaan penanggulangan wabah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, diancam dengan pidana kurungan selama-lamanya 6 (enam) bulan dan/atau denda setinggi-tingginya Rp 500.000,- (lima ratus ribu rupiah).

Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah kejahatan dan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) adalah pelanggaran.

Kesimpulan

Dari uraian diatas, Perpres No. 14/2021 tentang perubahan atas Perpres No. 99/2020 tentang pengadaan vaksin dan pelaksanaan vaksinasi dalam rangka penanggulangan pandemi Covid-19. Pada Pasal 13 A ayat (2) dikatakan bahwa setiap orang yang telah ditetapkan sebagai sasaran penerima vaksin Covid-19 berdasarkan pendataan Kementerian kesehatan wajib mengikuti vaksinasi Covid-19.

Adapun sanksi bagi masyarakat yang menolak vaksinasi, terdapat pada Pada ayat (4) yaitu dapat dikenakan sanksi administratif berupa penundaan atau penghentian pemberian jaminan atau bantuan sosial, penundaan atau penghentian layanan administrasi pemerintahan dan/atau denda.

Saran

Dengan dihapuskannya syarat antigen dan PCR sebagai syarat perjalanan ditengah proses vaksinasi Covid-19 belum merata dan bahkan masih cenderung prokontra, maka upaya pemerintah terus memperkuat sosialisasi vaksin Covid-19 untuk menghilangkan pengaruh negatif dari narasi provokatif, pengaruh dari konten-konten sesat bahkan pengaruh adanya politisasi kebencian kepada Pemerintah, maka bentuk kampanye vaksinasi Covid-19 dirumuskan lebih bersifat edukatif.

Pendekatan dengan kampanye edukatif akan merubah pola pikir (mindset) mayarakat untuk mau diajak vaksinasi. Karena dengan adanya vaksin Covid-19 yang diberikan secara gratis menunjukkan bahwa inilah program dan kebijakan pemerintah sebagai salah satu ikhtiar dan solusi paling nyata untuk keselamatan hidup bersama dalam mencegah penyebaran wabah Covid-19.

Adapaun terhadap penerapan sanksi administrasi bagi warga yang menolak vaksinasi, maka pemerintah perlu terus melakukan edukasi dan pengayoman, melihat keadaan sosial dan suasana physologi masyarakat.

Kalaupun ada tindakan administrasi, maka definisi hukum penerapannya menghindari pengaturan yang multitafsir atau pengaturan yang bersifat elastis yang bermakna yang luas.

Sedangkan apabila ada pemberian sanksi pidana bagi masyarakat yang menolak vaksinasi adalah ultimum remedium, artinya hukum pidana digunakan sebagai sarana penegakan hukum yang terakhir. Harus terlebih dahulu mengutamakan pemberian edukasi dan pendekatan kemanusiaan kepada masyarakat terkait program vaksinasi Covid-19 dengan melibatkan berbagai pihak.

Demikian, semoga bermanfaat.

Bumi Anoa, 13 Maret 2022

Oleh : Hidayatullah*
Penulis : Praktisi Hukum/Advokat Pada PERADI RBA Kendari

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun