"Korban terbesar Coronavirus Disease 2019 ( COVID-19) bukan mereka yang terpapar, tetapi mereka yang lugu, polos, dan apatis sehingga cenderung lebih percaya pada narasi provokatif dan konten-konten hoaks yang menyesatkan"
Kali ini saya tidak mengulas tentang varian baru Covid-19 yang disebut "omicron" ini. Pengetahuan ini sudah banyak tersedia di laman dan situs-situs resmi pemerintah (covid.go.id), maupun World Health Organization (WHO), dan segenap penggiat dan pemerhati kesehatan dunia.
Saya juga bukan ahli kesehatan. Background saya sama sekali tidak bersinggungan dengan urusan medis, hanya saja banyak berteman dan berbagai cerita dengan para dokter, ahli kesehatan, maupun epidemiologi semenjak Covid-19 ini merebak. Bahkan mungkin saya salah satu dari orang di Indonesia diluar unsur pemerintah yang bukan ahli kesehatan (medis) maupun ahli epidemi yang sangat tertarik dengan seluruh peristiwa akibat wabah virus corona yang merebak pertama kali di Wuhan Cina sejak akhir Desember 2019 lalu.
Keseriusan mencari tahu wabah ini karena anak saya salah satu mahasiswa yang menuntut ilmu kedokteran disalah satu universitas di Wuhan Cina yang sempat terisolir selama hampir sebulan dalam asrama kampus mereka di kota Wuhan. Walau pada akhirnya sebulan kemudian pemerintah Indonesia melakukan upaya evakuasi. Itupun setibanya di Indonesia ditransitkan terlebih dahulu di pulau Natuna sebagai penerapan protokol kesehatan dengan menjalani karantina selama 14 hari.
Jadi saya cukup paham bagaimana virus ini sebagai suatu pandemi yang penularannya begitu cepat dari interaksi antar manusia. Saban hari terus saya mencoba mengamati perkembangan dalam maupun luar negeri untuk mencukupkan literasi dalam memahami bagaimana cara virus ini menjadi sebuah epidemi yang telah menyebar ke berbagai benua dan negara termaksud di Indonesia. Bagaimana memahami cara mencegah dan menghindarinya agar tidak terjangkit. Sampai ikut terjun menjadi relawan cegah Covid-19 bersama Pemerintah Kota Kendari di tahun 2020 s.d 2021.
Sampai pada fase prokontra vaksinasi Covid-19, saya secara sukarela bersama rekan-rekan lain yang antusias dalam mengamati setiap saat perkembangan penanganan Covid-19 ini , memberi kesimpulan bahwa fungsi vaksinasi bukan sebagai obat penyembuh Covid-19, tetapi vaksin adalah antigen yang dapat merangsang pembentukan imunitas (antibodi) sistem imun di dalam tubuh.
Sebenarnya, sistem kekebalan tubuh terhadap suatu penyakit bisa terbentuk secara alami saat seseorang terinfeksi virus atau bakteri penyebabnya. Hanya saja karena wabah Covid-19 ini memiliki risiko kematian dan daya tular yang tinggi, maka pilihannya adalah bagaimana untuk membentuk kekebalan komunitas atau herd immunity, maka hanyalah proses vaksinasi dan tetap konsisten menerapkan protokol kesehatan Covid-19.
Tapi sayangnya, dari awal merebak virus ini sampai pada varian yang disebut omicron saat ini, kalau kita telusuri respon sebahagian publik dimedia sosial baik di FB, WA, IG, Twitter dan Youtube begitu banyak narasi provokatif dan beraneka macam konten-konten menyesatkan untuk berupaya mempengaruhi kesadaran publik agar tidak percaya terhadap kehadiran virus corona ini yang terus bermutasi.
Sampai-sampai saking polos dan keluguan itu dibawah keranah lelucon. Mungkin saja lantaran sudah apatis dan bosan atau masih belum yakin betapa virus ini terus bermutasi seoalah-olah mempermainkan tingkat nalar kita.
Baik sekedar lelucon ataupun narasi provokatif, tanpa kita sadari ternyata tergiring oleh konten-konten hoaks yang telah menyesatkan. Konten menyesatkan itu salah satunya menarik entitas elit global sebagai bumbu narasi provokatif sebagai kambing hitam yang menciptakan dan merekayasa penyebaran wabah Covid-19. Pun sampai soal sentimen SARA menjadi narasi bully (bullying) bahwa ini cara Cina menciptakan virus untuk menguasai dunia termaksud Indonesia.
Ada lagi konten menyesatkan dengan narasi yang sedikit analitis bahwa ini akibat perang ekonomi yang sedang terjadi antara Amerika dan Cina (Tiongkok). Masih banyak lagi, saya batasi agar tidak bias kesana-kemari sehingga saya menjadi ikut-ikutan larut dalam narasi provokasi.
Siapa dan Dari Mana Sumber Berita Menyesatkan Itu?
Siapa sebenarnya yang membawa berita menyesatkan tersebut? Bukan dari kalangan dokter, bukan dari kalangan epidemologi, bukan juga dari para ahli kesehatan masyarakat, ilmuwan juga bukan, serta bukan pula dari ahli-ahli fiqih, kiai, ulama, ustadz, pendeta, pemuka agama, dll.
Saya selalu mencari tahu dan terus mempelajari konten sampai narasi-narasi provokasinya. Polanya sederhana, dengan cukup sedikit editing bagian judul pemberitaan lalu di capture dan bahkan ada juga sampai isi konten asli berita bisa disesatkan dengan dibumbui narasi provokasi disetiap status media sosial.
Misal, pola penyebaran melalui twitter tinggal di retweet konten dari akun-akun nonkredibel atau menambah narasi provokasi dengan menambah kutipan tweet, lalu menjadi tersebarlah konten menyesatkan itu. Dari hasil editing itulah terjadi atau pembelokkan informasi sehingga menjadi berita hoaks dan manipulatif.
Konten hoaks dan menyesatkan itu menari-nari diatas nalar dan pikiran mereka yang polos dan lugu tadi karena menemukan sandaran pembenar untuk dua alasan yang pada umumnya untuk menghindar agar tidak divaksin, dan ingin keluar dari situasi new normal yang serba terbatas akibat standar protokol kesehatan Covid-19 yang ketat.
Tetapi coba ditanya dengan nalar medis, dan logika sains maupun hukum fiqih tentang wabah penyakit. Saya jamin kita akan menemukan mata hitam mereka yang polos dan lugu itu berputar mengolah otak dan pasrah.
Tidak ada bantahan, karena memang nalar dan qalbu manusia itu cenderung fitrah yang cenderung pada hal yang baik dan benar. Bahwa sekecil partikel atom pun yang namanya bakteri atau virus tetaplah disebut makhluk hidup. Bahwa yang namanya makhluk hidup hanya dapat diciptakan oleh sang maha pencipta Allah SWT. Pun makhluk hidup menjadi untuk hidup dan berkembang biak karena atas rahmat dan kehendak Allah SWT.
Manusia tidak mungkin dapat menciptakan makhluk hidup. Manusia dari perkembangan peradabannya hanya mampu membuat alat-alat seperti mesin, robot, komputer dan segala macam kecerdasan buatan.
Satu Contoh Konten Kategori Menyesatkan
Agar tidak panjang lebar uraian ini, maka saya angkat satu contoh konten kategori menyesatkan diambil dari sumber Group Telegram terkait dengan Covid-19 varian Omicron yang dilansir dari sumber: https://cekfakta.com/salah , sebagai Kumpulan informasi salah yang sudah diverifikasi. Konten menyesatkan tersebut menyebutkan "Buku Berjudul "Understanding Omicron Variant" oleh Dr Theresa Bishop Terbit Tahun 2020 Sebelum Varian Omicron Ditemukan di Dunia, dengan narasi menyesatkan, sebagai berikut:
See, this is where I loose my trust in this whole virus thing. When a brand new book about the latest "variant" comes out. And the book was copyrighted in 2020. The Omicron was discovered just on a month ago in 2021, but a book was written about it in 2020. A year ago?! Nope, something ain't right.
Buku berjudul "UNDERSTANDING OMICRON VARIANT: All You Need To Know About Omicron Variant, Where It Comes From, Answers To Questions You Have, And Lots More Update To Keep You Well Informed". Copyrights 2020 Dr. Theresa Bishop, All rights Reserve
Tambahan Narasi  provokatif:
Sebuah buku yg membahas variant baru "OMICRON" ditulis pada tahun 2020 lalu oleh : Dr. Theresa Bishop dan tepatnya pada sebulan lalu di tahun 2021 varian baru ini menghebohkan dunia.
Jadi semua ini tidak ada yg kebetulan melainkan sebuah rekayasa perangkap sekelompok manusia yg ingin mengendalikan populasi dunia.
Teruslah buat kalian cari dan gali lah lebih jauh informasi pembanding dalam setiap kejadian agar kita tidak terjerumus dalam lingkaran sekelompok ELITE yg siap menyambut ad-DAJJAL.
Penelusuran Fakta dan Penjelasannya:
Dari postingan tersebut diberikan narasi bahwa sebenarnya virus Corona varian Omicron adalah rekayasa manusia, karena telah direncanakan sejak tahun 2020, padahal virus Corona varian Omicron baru ditemukan pada tahun 2021.
Setelah dilakukan penelusuran fakta terkait, klaim tersebut adalah tidak benar. Melalui situs jual beli online Amazon, buku berjudul "UNDERSTANDING OMICRON VARIANT: All You Need To Know About Omicron Variant, Where It Comes From, Answers To Questions You Have, And Lots More Update To Keep You Well Informed" dipublikasikan pertama kali pada 5 Desember 2021, dengan versi sampul kertas. Sedangkan versi ebook diterbitkan pertama kali pada 15 Desember 2021.
Dilansir dari situs resmi pemerintah covid.go.id, WHO mengabarkan Infeksi B.1.1.529 atau Omicron pertama kali dilaporkan ke WHO dari Afrika Selatan pada 24 November 2021.
Dokter Theresa Bishop telah berkontribusi dalam penelitian berbagai varian virus Corona sejak awal virus ini muncul. Ia juga berkiprah dalam banyak penanganan pasien positif sejak pandemi muncul. Sejalan dengan keahliannya, Theresa membuat buku berjudul "Understanding Omicron Variant" untuk menjelaskan kepada masyarakat mengenai apa itu virus Corona varian Omicron dan ia mencoba menjawab berbagai pertanyaan-pertanyaan publik yang muncul mengenai varian baru tersebut.
Berdasarkan data yang terkumpul dapat disimpulkan bahwa klaim congor istana adalah tidak benar dan termasuk kategori Konten yang Menyesatkan.
Contoh diatas mewakili banyak kasus yang melingkupi konten-konten menyesatkan disertai narasi provokatif yang membuat begitu banyak orang terpengaruh dan ikut latah menyebarkan karena keluguan dan kepolosan mereka tentang pengetahuan tentang wabah virus Covid-19.
Bagaimana Respon Kita?
Olehnya itu, kewaspadaan dan melek teknologi merupakan suatu keniscayaan agar tidak serta merta mempercayai suatu berita dengan pola-pola yang saya sebutkan diatas. Mungkin saja edukasi kita terlambat karena masih banyak yang menolak vaksinasi bagi mereka yang menjadi sasaran vaksinasi Covid-19.
Tetapi dilain pihak saya juga tidak selamanya menvonis ikut menyalahkan mereka yang tidak percaya karena kepolosan dan keluguannya. Mungkin saja ada kekeliruan atau salah kelola dalam pendekatan edukasi dan kebijakan selama ini, sehingga banyak yang terhasut dengan konten hoak dan menyesatkan.
Masih perlu dibenahi berbagai penerapan kebijakan dan cara edukasi publik kita. Karena pada aras bawah pandangan orang awam, Â masih saja mengganggap sejak kemunculan wabah Covid-19 di kota Wuhan, terus saja kita mendengar diksi bahwa corona adalah "rekayasa manusia", bagi kaum agamawan corona ini "tentara Allah", azab akhir zaman, kutukan, dll.
Bahkan sampai pada ketidakacuhan mereka terhadap pandemi dengan tetap mengadakan acara kerumunan masal, peribadatan, acara-acara sosial, hajatan massal, seolah-olah tidak terjadi apa-apa.
Maka, kepada Pemerintah untuk penting membangun sinergisitas dan mengintegrasikan kebijakan dan kerja-kerja edukatif dalam penanganan Covid-19 ini dengan pemahaman yang baik tentang Covid-19 dan segala variannya, dan terutama sekali pendekatan keagamaan.
Kenapa pendekatan keagamaan sangat efektif? Karena agama lebih dekat dan menjadi pengigat masyarakat kita setiap saat. Apalagi soal ketakutan terhadap wabah dan segala peristiwa virus ini memiliki kemampuannya mendatangkan kematian dalam jumlah besar dan cepat. Belum lagi mutasi variannya yang belum selesai varian satu muncul lagi varian gelombang lainnya yang tentu berada di luar prediksi dan kalkulasi pengetahuan apalagi pengetahuan yang awam, lugu dan polos.
Akhiri Keluguan, Kepolosan, dan Perdebatan Diantara KitaÂ
Jangan sampai kecerdasan kita umat manusia ini yang telah sampai pada titik penemuan saintifik yang mengagumkan, justru dikalahkan oleh makhluk seperti virus dan keluarga bakteri, mikroorganisme patogen, protozoa, dll.
Dan kita masih saja terus berdebat (percaya dan tidak percaya) dengan wabah Covid-19, yang ternyata di sudut dan lorong gelap kota kita makhluk kecil tak kasat mata ini terus menyusun rencana bermutasi, lalu muncul menjadi mesin pembunuh yang tak diduga bisa datang dalam bentuk yang paling sempurna.dan memporak-porandakan peradaban kita manusia.
Apalagi yang harus kita ingkari? dan dengan cara apa harus diajak percaya tentang keberadaan wabah Covid-19 ini? Coba kita bayangkan ketika kebiasaan kita umat manusia yang sering bersosialisasi, berkumpul dan bercerita, berjabat tangan dan berpelukan tanpa kita duga tiba-tiba kebiasaan itu berubah seketika, dan menjadi medan kematian.
Coba bayangkan dari rasa kebebasan dan riuhnya aktivitas dunia ini, tiba-tiba saja menjadi suasana horror diliputi ketakutan yang menjalar. Kita semua menutup pintu-pintu rumah, pusat perbelanjaan dan tempat ibadah serta jalan-jalan menjadi lengang, memaksa manusia terus menggunakan masker, hand sanitizer, sampai kita saling curiga satu sama lain sebagai pembawa virus.
Disaatnya semua orang dibelahan dunia ini berupaya menaklukkan Covid-19 baik dengan sains berusaha menjinakkannya di dalam laboratorium dan di lokasi-lokasi pengujian virus, dengan sandaran keilmuan medis dan epidemologi untuk mencegah penularannya, ratusan dokter dan nakes digarda depan telah berguguran, malah sebagian dari kita masih bersandar dengan pengetahuan spekulatif dan keluguan menafsirkan bahwa Covid-19 adalah intervensi dan rekayasa manusia.
Ikhtiar Vaksinasi Untuk Herd Immunity
Masih belum terlambat. Kita akhiri perdebatan dengan pengetahuan yang spekulatif. Keluguan, kepolosan dan apatisme selama ini hanya akan merepotkan malaikat beterbangan membawa kabar kematian yang lebih muram dan memilukan.
Kita tingkatkan kewaspadaan terhadap lonjakan kasus positif Covid-19 digelombang ketiga varian omicron ini. Vaksinlah dirimu dan keluarga sembari tetap menerapkan protokol kesehatan Covid-19.
Saya sendiri sudah dua kali vaksin, masih baik-baik saja, masih segar-bugar. Vaksin itu bertujuan untuk memberikan kekebalan kepada diri kita, kepada raga kita. Dengan kita vaksin maka kita bisa memberi ruang kehidupan kepada yang lain. Sehingga ketika kita ramai-ramai vaksin, maka kita akan kebal bersama-sama (herd-immunity), agar kita bisa lepas dari pandemi ini.
Wassalam,
Kendari,15/02/2022
Hidayatullah
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H