Mohon tunggu...
Hidayatullah
Hidayatullah Mohon Tunggu... Pengacara - Hidayatullahreform

Praktisi Hukum/Alumni Fakultas Hukum UHO

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Dialog di Tanah Wadas: Cara Menyelesaikan Konflik Agraria

12 Februari 2022   17:40 Diperbarui: 12 Februari 2022   17:59 808
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Oleh: Hidayatullah*

"Penyelesaian Konflik Agraria Dengan Pola Represif Selalunya Berdampak Pada Pelanggaran HAM Dan Perampasan Hak Hidup Rakyat"

Sampai saat ini kasus dan konflik agraria di Indonesia baik kasus lama maupun baru, belum menunjukan ada kemajuan dalam setiap solusi penyelesaiannya, termasuk kasus agraria yang sedang hangat-hangatnya terjadi di Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, jawa Tengah.

Kalau kita melakukan penelusuran di media sosial sejak pertama kericuhan ini merebak, Selasa (8/02/2022) telah diramaikan dengan tagar-tagar #WadasMelawan, #SaveWadas, hingga #WadasTolakTambang. Bahkan di media sosial dan mainstream juga beredar video yang menunjukkan pengepungan dan penangkapan sejumlah warga Wadas oleh aparat gabungan TNI dan Polri. Peristiwa ini pun mendapat sorotan banyak pihak, terutama dari masyarakat sipil, lembaga-lembaga bantuan hukum, organisasi-organisasi masyarakat (ormas), anggota legislative, hingga Komisi Hak Asasi Manusia.

Dua Versi Kronologi Terjadinya Bentrok Aparat dan Warga desa Wadas

Versi Pemerintah dan Aparat

Konflik Wadas ini kemudian memicu saling bantah dengan dua versi kronologi yang berkembang baik dipemberitaan media maupun media sosial, dimana pembelaan pemerintah bahwa adanya ratusan aparat gabungan TNI dan Polri mengepung Desa Wadas dengan menangkap beberapa warga yang melakukan kericuhan karena kontra terhadap penanganan rencana pembangunan proyek strategis Bendungan Bener. Oleh pemerintah berdalih bahwa posisi aparat mengamankan situasi akibat kericuhan sebagian warga masyarakat yang melakukan penolakan dan aparat berada menangani konflik karena ada pula warga Wadas yang sepakat terhadap rencana penambangan andesit di Wadas.

Dari pihak aparat memberikan keterangan dikutip dari Kompas TV (9/2/2022), keterangan resmi dari Kabid Humas Polda Jawa Tengah, Kombes Pol M Iqbal Alqudusy, mengatakan, bahwa ada 250 petugas gabungan TNI, Polri, dan Satpol PP yang mendatangi Desa Wadas pada Selasa 8/2/2022. Aparat gabungan bertugas mendampingi sekitar 70 petugas BPN (Badan Pertanahan Nasional) dan Dinas Pertanian yang melaksanakan pengukuran dan penghitungan tanaman tumbuh yang hendak melakukan pengukuran tanah. Klaim pendampingan ini oleh polisi dilakukan setelah Kepala Kanwil BPN Jateng beraudiensi dengan Kapolda Jateng pada Senin (7/2/202). Kepala BPN menyatakan kepada Kapolda bahwa Proyek Pembangunan Waduk Bener tercantum dalam Perpres No 109/2020 tentang Perubahan ke 3 atas Perpres No 3/2016 tentang Percepatan Pembangunan Proyek Strategis Nasional. Untuk itu Polda Jateng dan stakeholder terkait diminta membantu..

Termaksud ada juga surat dari Kementerian ATR/BPN Kabupaten Purworejo Provinsi Jateng No AT.02.02/344-33.06/II/2022 tanggal 4 Februari 2022 perihal Permohonan Personil Pengamanan Pelaksanaan Inventarisasi dan Identifikasi di Desa Wadas Kabupaten Purworejo Provinsi Jateng. Sehingga atas dasar surat tersebut, pihak kepolisian berkoordinasi dengan stakeholder terkait untuk melaksanakan pengukuran tanah di Desa Wadas. Namun kemudian, di lapangan terjadi ketegangan dan adu mulut antara warga yang pro dengan kontra terhadap proyek penambangan batuan. Adu mulut dan ancaman kepada warga yang pro sehingga aparat kemudian mengamankan warga yang membawa sanjata tajam dan parang ke Polsek Bener.

Versi Warga Wadas dan Kuasa Hukumnya

Sedangkan dipihak warga Wadas, ditelusuri penulis dari berbagai sumber bahwa, kericuhan yang berujung bentrok antara aparat dengan warga Wadas bermula dari rencana proyek pembangunan Bendungan Bener di Kabupaten Purworejo. Bendungan Bener ini salah satu Proyek Strategis nasional (PSN) yang akan memasok sebagaian besar kebutuhan air ke Bandara Yogyakarta International Airport (YIA) di Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta.  Salah satu kebutuhan material pembangunan proyek ini adalah batuan andesit yang kebutuhan material pasokannya diambil dari Desa Wadas. Warga yang menolak pertambangan batuan andesit ini karena akan merusak  sumber mata air warga Desa Wadas yang berdampkanya pada kerusakan lahan pertanian warga.

Tidak terjadi titik temu dengan pihak aparat gabungan dengan warga Wadas yang menolak, maka berujung ricuh sehingga bentrok aparat dan warga tidak dapat dihindari. Dari bentrok ini puluhan warga Wadas ditangkap oleh aparat dan digelandang ke Polres Purworejo. Menurut Julian Dwi Prasetya, Kuasa hukum warga Desa Wadas, mengatakan bahwa , ada 64 warga yang ditangkap aparat dalam peristiwa itu. Terdapat beberapa warga yang ditangkap mengalami tindakan kekerasan dari aparat. "Ada yang diperlakukan tidak manusiawi juga waktu penangkapan", kata Julian kepada Kompas.com, Rabu (9/2/2022).

Lantas Apa Sebenarnya yang Terjadi di Wadas?

Penulis menelusuri salah satu laman petisi "Hentikan Rencana Pertambangan Batuan Andesit di Desa Wadas" terungkap, luas lahan Desa Wadas yang akan dikeruk untuk penambangan andesit mencapai 145 hektare. Oleh sebagian warga melakukan penolakan rencana penambangan tersebut. Karena dikhawatirkan akan merusak 28 titik sumber mata air warga desa wanda. Kalau sumber mata air rusak maka dampkanya pada kerusakan lahan-lahan pertanian di wandas. Otomatis berakibat pada kehilangan mata pencaharian utama warga Wandas. Penambangan itu juga dikhawatirkan akan menyebabkan Desa Wadas semakin rawan longsor. Apalagi, berdasarkan Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Purworejo 2011-2031, Kecamatan Bener, termasuk di dalamnya Desa Wadas, merupakan bagian dari kawasan rawan bencana tanah longsor.

Kemudian penulis mencoba menelusuri laman berbagai organisasi NGO yang peduli lingkungan salah satunya Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI). Dari laman resmi walhi.or.id, dijelaskan bahwa proyek tambang di Desa Wadas ini merupakan tambang quarry atau penambangan terbuka (dikeruk tanpa sisa) yang rencananya berjalan selama 30 bulan. Penambangan batu itu dilakukan dengan cara dibor, dikeruk, dan diledakkan menggunakan 5.300 ton dinamit atau 5.280.210 kilogram, hingga kedalaman 40 meter. Tambang quarry batuan andesit di Desa Wadas menargetkan 15,53 juta meter kubik material batuan andesit untuk pembangunan Bendungan Bener. Jika hal itu terjadi, menurut Walhi, bentang alam di desa tersebut akan hilang dan ekosistemnya rusak.

Bagaimana Sebenarnya Solusi Penyelesaian Konflik Agraria?

Kericuhan di Wadas ini diluar dugaan banyak pihak karena cukup lama tidak terdengar cara-cara kekerasan terhadap warga masyarakat dengan aparatdalam penanganan konflik agraria karena pemerintah memiliki formula dimana setiap penyelesaian konflik agraria difokuskan dalam program "Reformasi Agraria" yang digalakan oleh pemerintah Indonesia dibawah pemerintahan Jokowi.

Konflik Wadas ini menunjukan masih adanya praktik aparat pemerintahan dibawah yang masih meneruskan proses-proses pemberian izin maupun kebijakan kepada perusahaan swasta atau Badan Usaha Milik Negara (BUMN), untuk terus beroperasi menjalankan proyek maupun programnya meski ada protes masyarakat setempat terkait terganggunya dampak kerusakan lingkungan yang berdampak terganggunya hak hidup masyarakat.

Poin penting dalam kasus Wadas adalah adanya keterlibatan aparat hukum Polisi gabungan aparat TNI dan Pol PP dalam penyelesaian konflik agraria dengan pendekatan kekerasan (represif) yang masih dibiarkan, didukung atau bahkan melakukan tindakan justru atas nama proyek negara atau Proyek Strategis Nasional (PSN). Kasus Wadas memperlihatkan akuntabilitas pemerintah dalam penyelesaian konflik agraria, justru menjadi pelaku dalam konflik-konflik tersebut.

Konflik Wadas ini harusnya menjadi pelajaran penting bagi pemerintah untuk kembali mengurai penyebab terjadinya konflik-konflik agraria. Bisa jadi kasus yang serupa dengan konflik Wadas sudah atau sedang terjadi pula di daerah lain, hanya saja belum terungkap atau sementara berproses negosiasinya dengan embel-embel Proyek Strategis Nasional.

Pemerintah baiknya kembali mengurai faktor apa saja yang membuat masyarakat harus bertaruh nyawa dalam mempertahankan hak hidup mereka sehingga berani berhadapan dengan cara represif aparat. Yang pasti ada yang keliru dalam pendekatan pemerintah dan aparat. Coba dapat dicek, apakah terdapat faktor dugaan seperti mal-administrasi dalam menjalankan proyek nasional apalagi proyek yang bersifat strategis nasional, atau tentang faktor proses ganti kerugian dalam pengadaan tanah bagi pembangunan yang tidak adil dan minim asas manfaat.

Atau faktor lainnya bagaimana pendekatan penanganan konflik agraria apakah masih legal formal atau mengandalkan aparat seperti Polri dan TNI, serta faktor pelibatan masyarakat lokal maupun warga lingkar tambang yang nihil partisipasi dan keterbukaan. Karena menyelesaikan konflik agraria dengan cara senjata dan represif justru memperhadapkan rakyat dengan aparat hukum.

Cara ini tidak masuk dalam fokus utama reformasi agraria yang digalakan Presiden Jokowi yaitu melakukan percepatan penyelesaian konflik agraria dengan fokus utama mengedepankan kepentingan masyarakat dan selaras dengan memudahkan perizinan dan investasi. Artinya dalam kepentingan kemudahan investasi dan perizinan harus seimbang dengan kepentingan dan kebutuhan masyarakat dan apabila terjadi konflik agraria maka penanganannya secara bersama dengan falsafah berdiri sama tinggi duduk sama rendah.

Dalam kontek reformasi agraria mekanisme kerja lintas Kementerian/Lembaga harus dibangun dengan melibatkan kewenangan yang ada di berbagai sektor dan lintas Kementerian/Lembaga yang saat ini ada di Kementerian ATR/BPN, KLHK, Kementerian Pertanian. Bukan pada Polisi, TNI atau Pol PP.

Tugas Polri dan TNI hanya bersifat khusus, untuk kepentingan menjaga kondusivitas lapangan apabila memang dalam proses penanganan konflik agraria ditengah masyarakat sementara berproses dengan lembaga-lembaga tekait. Jadi ketika masih dalam proses penanganan penyelesaian konflik justru aparat harus hadir sebagai palang pintu untuk mencegah dan menghentikan cara-cara kriminalisasi terhadap warga yang sedang berjuang untuk menyelesaikan konflik agrarianya.

Cara-cara rekayasa, hidden agenda, atau devide at impera dengan menggunakan tangan aparat agar memecah warga menjadi dua kutub pro dan kontra adalah cara orde baru yang dengan mudah dideteksi saat ini karena kemajuan teknologi ditambah pengetahuan hukum yang sudah begitu baik.

Kesimpulan

Pemerintah beserta seluruh aparaturnya harus mentaati tujuan-tujuan "Reformasi Agraria" yang telah diatur oleh pemerintah sendiri. Aparat TNI, aparat Polri serta aparat Pemerintah Daerah, harus pula ikut dapat menegakkan prinsip-prinsip prioritas reforma agraria. Dengan begitu, perbaikan ketimpangan struktur agraria, penyelesaian konflik agraria yang akut, dan pemberantasan kemiskinan struktural terutama di pedesaan akibat struktur agraria yang tidak adil, betul-betul menjadi sasaran kerja kebijakan "Reformasi Agraria" di Indonesia.

Marilah selalu belajar dari sejarah bangsa ini dimana penanganan konflik-konflik agraria tidak dapat diselesaikan dengan pendekatan keamanan, menakuti dengan alat senjata dan istrumen hukum disertai pola-pola represif. Pasti selalu darah tertumpah, nyawa rakyat melayang atau paling tidak hak hidup rakyat yang terampas oleh negara.

"Konstitusi negara dibuat untuk negara hadir dalam melindungi warga negara dari tindakan kesewenang-wenangan"

*Penulis: Praktisi Hukum/Ketua Presidium JaDI Sultra

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun