Oleh: Hidayatullah(*)
Kilas Balik Implementasi Kebijakan
Implementasi kebijakan Pemutakhiran daftar pemilih berkelanjutan adalah bagian dari terobosan yang dilakukan KPU RI sejak tahun 2016 disebabkan sengkarut data pemilih baik Pemilu 2014 maupun Pilkada serentak pertama kalinya tahun 2015.
Problematika data pemilih menghiasi perdebatan yang mengemuka baik di media massa online, cetak maupun elektronik. Pada masa itu penulis sebagai komisioner (Ketua KPU Provinsi Sultra periode 2013-2018).
Untuk mengantisipasi problem data pemilih tersebut melalui Divisi Data dan Informasi KPU RI, Ferry Kurnia Rizkiyansyah mencetuskan ide kelembagaan yang sudah menjadi pembahasan penting di interen KPU adalah pentingnya melahirkan kebijakan pemutakhiran data pemilih berkelanjutan sebagai proses memperbaharui data pemilih guna memudahkan proses pemutakhiran daftar pemilih pada Pemilu/pemilihan selanjutnya.
Atau dapat didefinisikan pula sebagai proses pengumpulan data perubahan melalui lembaga/badan melalui koordinasi dan kerjasama serta langsung dari masyarakat. Implementasi kebijakan pemutakhiran daftar pemilih diperuntukkan pertama, memperoleh data yang akurat, mutakhir, komprehensif, inklusif. Kedua, memelihara data secara kontinyu serta ketiga, terkoordinasinya data dengan dinas terkait.
Walau kebijakan itu awalnya belum didukung oleh regulasi baik Undang-undang maupun PKPU, tetapi agar memiliki landasan dan dasar hukum untuk implementasi kebijakan pemutakhiran daftar pemilih berkelanjutan maka tanggal 13 Oktober 2016 dilakukan MoU/nota kesepahaman antara Menteri Dalam Negeri RI dengan ketua KPU RI tentang Kerjasama Pemanfaatan NIK, Data Kependudukan dan KTP Elektronik dalam Lingkup Tugas Komisi Pemilihan Umum.Â
Pihak Kemendagri pada saat itu sangat mendukung MoU tersebut dikarenakan selain bersama KPU mempersiapkan 101 daerah yang akan Pilkada serentak kedua tahun 2017, juga nota kesepahaman (MoU) dilandasi UU No. 24 tahun 2014 perubahan UU 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan yang diantaranya menyatakan data kependudukan Kemendagri yang bersumber dari data kependudukan kabupaten/kota merupakan satu-satunya data kependudukan yang digunakan untuk semua keperluan, termaksud pelayanan publik dan pembangunan demokrasi.
Seiring perjalanan waktu urgensi pemutakhiran daftar pemilih berkelanjutan ini kemudian diakomodir dalam UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu pada pasal 201 butir (8) menyebutkan bahwa "pemerintah memberikan data kependudukan yang dikonsolidasikan setiap 6 (enam) bulan kepada KPU sebagai bahan tambahan dalam pemutakhiran data pemilih".
Lebih lanjut juga pada pasal 204 menyebutkan bahwa "KPU kabupaten/kota melakukan pemutakhiran data Pemilih berdasarkan daftar pemilih tetap Pemilu terakhir yang dimutakhirkan secara berkelanjutan yang diselesaikan paling lama 3 (tiga) bulan setelah diterimanya data penduduk potensial pemilih Pemilu".
Maka, dengan demikian upaya kerjasama antar institusi menjadi sangat penting untuk mendapatkan data pemilih yang mutakhir, akurat dan komprehensif dalam upaya menjamin hak politik masyarakat dalam menggunakan hak pilihnya di hari pemungutan suara.
Urgensi Data Pemilih Berkelanjutan
Dalam mengukur seberapa sukses dan berkualitasnya penyelenggaraan Pemilu/pemilihan maka tolak ukur sebagai penentu awal adalah data pemilih. Karena data pemilih adalah bagian dari gambaran efektif tidaknya penyelenggara Pemilu bekerja untuk melayani hak konstitusional warga negara yang dapat menggunakan hak pilihnya di hari pemungutan suara. Maka setidaknya kualitas daftar pemilih dapat memenuhi 3 (tiga) kualitas data, yakni mutakhir, akurat dan komprehensif.
Data pemilih yang mutakhir menggambarkan kondisi kekinian pemilih yang terus menerus diperbaharui untuk digunakan pada pemungutan suara. Terkait data yang akurat adalah data yang menggambarkan kebenaran data pemilih secara jumlah dan akurasinya yang memotret kondisi ril kekinian yang ada di masyarakat pemilih.
Ini dilakukan dengan melakukan perbaikan elemen data terhadap data pemilih, serta penambahan atau pengurangan data yang memenuhi ketentuan persyaratan sebagai pemilih. Sedangkan, data yang komprehensif menggambarkan data pemilih yang memuat seluruh WNI yang memenuhi persyaratan diakomodir menjadi pemilih untuk dapat menggunakan hak pilihnya di hari pemungutan suara.
Bagi penyelenggara baik KPU dan Bawaslu pasti memiliki pengalaman dari Pemilu ke Pemilu maupun Pilkada, di mana usaha perbaikan data pemilih ini terkadang hanya dilakukan selama satu bulan dengan melakukan pencocokan dan penelitian (coklit) lapangan oleh petugas pendaftaran pemilih (PPDP/Pantarlih).
Waktu sebulan itu biasanya digunakan untuk memastikan dari rumah ke rumah, dari satu tempat ke tempat yang lain untuk memutakhirkan data penduduk yang diterima dari pemerintah untuk kemudian ditetapkan menjadi data pemilih secara berjenjang dari tingkat kelurahan sampai tingkat nasional, setelah mendapatkan masukan dan tanggapan dari masyarakat, pengawas, dan peserta Pemilu.
Waktu sebulan untuk melakukan coklit di lapangan dengan beberapa tipikal tempat menjadi tidak memadai, terutama yang sering dikategorikan grey area. Contohnya lapas/rutan, rumah kost, rumah susun, apartemen, rumah sakit, panti sosial, dan juga tanah sengketa maupun tanah gusuran.
Hal ini terjadi karena mobilitas warga yang tinggi, warga yang sulit ditemui atau dokumen kependudukannya yang tidak tersedia atau tidak lagi sesuai dengan tempat yang ditinggali ketika pemutakhiran data berlangsung.
Demikian pula, limitasi waktu penetapan data pemilih tetap dengan hari pemungutan suara yang memiliki jeda waktu beberapa bulan tidak dapat menggambarkan kondisi kekinian yang sama di hari pemungutan suara.
Pastinya, ada pemilih yang meninggal dunia setiap harinya, yang pindah masuk atau pindah keluar dari wilayah tertentu, berubah status menjadi atau bukan lagi sebagai tentara atau polisi. Oleh karenanya, kenapa penulis menggambarkan pemutakhiran data pemilih berkelanjutan sebagai upaya penting dalam mewujudkan data pemilih dengan kualitas data yang baik dengan variabel ukuran seberapa mutakhir, akurat, dan komprehensif.
Tantangan dan Kompleksitas Pemutakhiran Data Pemilih Berkelanjutan
1). Teknis dan Anggaran Tidak Maksimal.
Kendatipun UU No. 7 tahun 2017 tentang Pemilu telah mengamanatkan adanya pemutakhiran daftar pemilih berkelanjutan. Dimana agar data pemilih terus mutakhir dan akurat, prosesnya terus- menerus harus dilakukan ada atau tidak adanya Pemilu. Sungguh berbeda dengan Pilkada tidak ada pengaturan dalam UU Pilkada berkaitan dengan pemutakhiran daftar pemilih berkelanjutan.
Meskipun itu UU Pemilu telah mengamanatkan adanya pemutakhiran daftar pemilih berkelanjutan dan bisa berhubungan dengan kebutuhan Pilkada yang terdekat umpamanya, tetapi ternyata tetap saja implementasinya sulit dilakukan.
Penyelenggara pemilu, yakni KPU termaksud di daerah menghadapi tantangan dan hambatan yang serius. Hal ini disebabkan harus ada petugas yang turun langsung ke lapangan. Karena selama ini yang bertugas hanya divisi data dan informasi di tingkat Satker KPU kabupaten/kota melalui layanan Pemutakhiran Data Berkelanjutan (DPB) dengan cara online atau langsung.
Sedangkan petugas lapangan seperti petugas pemutakhiran data pemilih (PPDP/Pantarlih), Panitia Pemungutan Suara (PPS), Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) hanya bersifat adhock dengan masa tugas berakhir pasca Pemilu atau Pilkada. Lalu siapa dan petugas mana yang harus melakukan pemutakhiran data pemilih berkelanjutan pasca Pemilu atau Pilkada.
Anggaran juga tidak tersedia beserta tenaga pendukung di lapangan selain hanya masa tahapan Pemilu atau Pilkada. Belum lagi kesadaran para pihak antara lain masyarakat pemilih juga sangat kurang dalam melaporkan data kependudukannya. Padahal data kependudukan bersifat dinamis dan selalu bergerak ketika ada penduduk yang meninggal, berpindah domisili, atau menjadi anggota TNI/Polri.
2). Perbedaan Definisi Pemilih Pada Pemilu dan Pilkada
Selain kompleksitas baik teknis dan anggaran juga terdapat ada problem definisi pemilih yang perlu harmonisasi antara UU Pemilu dan UU Pilkada.
Hal yang berbeda dalam definisi pemilih dimana keduanya memang mengatur bahwa hak memilih diberikan pada WNI yang pada hari pemungutan suara sudah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih sudah kawin, atau sudah pernah kawin dan tidak sedang dicabut hak politiknya oleh pengadilan.
Lebih lanjut disebutkan bahwa yang memiliki hak pilih adalah mereka yang memiliki KTP elektronik atau Surat Keterangan Pengganti KTP elektronik yang didaftarkan sesuai dengan alamat tertera di dalamnya.
Namun, dalam UU Pilkada disebutkan bahwa selain pemilih merupakan WNI yang pada hari pemungutan suara sudah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih sudah kawin, atau sudah pernah kawin dan tidak sedang dicabut hak politiknya oleh pengadilan tetapi juga ada tambahan klausul yang bersangkutan tidak sedang terganggu jiwa/ingatannya.
Jika ditemukan pemilih mempunyai lebih dari 1 (satu) tempat tinggal, pemilih tersebut diminta harus memilih salah satu tempat tinggalnya yang dicantumkan dalam daftar pemilih berdasarkan KTP Elektronik dan/atau surat keterangan domisili dari kepala desa atau sebutan lain/ lurah.
Walaupun dalam terminologi yang sama dalam kegiatan elektoral, namun definisi pemilih mengalami perbedaan yang cukup signifikan untuk diaplikasikan oleh penyelenggara.
Tentu hal ini turut pula membingungkan masyarakat karena ketika Pilkada mereka tidak didaftarkan sama sekali terutama bagi mereka yang sedang terganggu jiwa/ingatannya, sementara waktu Pemilu sepanjang mereka berusia 17 tahun ke atas, sudah atau pernah kawin berhak didaftarkan sebagai pemilih.
Ketentuan lain yang juga berbeda adalah penyebutan nomenklatur pemilih pindahan, pemilih tambahan dan/atau pemilih khusus pada kedua kegiatan elektoral tadi.
Katakanlah pada Pilkada ada beberapa macam jenis pemilih terdaftar yang dilayani dengan prosedur yang berbeda-beda, yakni DPT, DPPh, dan DPTb. Sementara pada Pemilu jenis pemilihnya terdiri atas DPT, DPTb dan DPK.
Bagi pemilih tentu saja menimbulkan kerancuan untuk mendefinisikannya di lapangan karena dengan nomenklatur yang sama namun aplikasinya di lapangan berbeda, terutama untuk pemilih pindahan dan pemilih tambahan.
DPT (Daftar Pemilih Tetap) adalah mereka yang terekam sebagai pemilih dalam dokumen yang dimiliki KPU setelah dilakukan serangkaian proses pemuktahiran data pemilih. DPT ini yang ditampilkan biasanya di depan pintu masuk TPS sebagai upaya agar pemilih dapat memastikan apakah dirinya terdaftar dalam TPS yang dimaksud. DPT ini memuat beberapa elemen data sesuai ketentuan, antara lain NIK, Nama, jenis kelamin, status, dan alamat.
Sementara itu pemilih pindahan dengan nomenklatur DPTb pada Pemilu dan DPPh pada Pilkada adalah pemilih yang terdaftar dalam DPT, namun karena alasan tertentu harus menggunakan hak pilihnya di TPS lain. Mereka ini bisa dilayani di TPS tujuan dengan membawa surat pindah memilih yang diurus sendiri ke petugas KPU sebelum hari pemungutan suara.
Kondisi pemilih yang lain disebutkan dengan DPK pada Pemilu dan DPTb pada Pilkada yang memiliki ketentuan yang sama dalam pelayanannya. Yakni pemilih yang tidak terdaftar dalam DPT namun dengan kualifikasi tertentu dapat menggunakan hak pilihnya di TPS sesuai dengan alamat tertera di KTP elektronik/surat keterangan pengganti KTP elektroniknya.
Terlihat di atas bahwa dengan nomenklatur yang sama yakni DPTb memiliki arti pelayanan yang berbeda saat menggunakan hak pilihnya di Pemilu dan Pilkada. Demikian pula untuk menyebut pemilih tak terdaftar dalam DPT, dengan istilah DPK pada Pemilu dan DPTb pada Pilkada (yang mana substansi DPTb pada Pemilu adalah DPPh pada Pilkada).
Seyogyanya untuk meneguhkan pelayanan pemilih, penggunaan istilah dan definisi pemilih sebaiknya ditetapkan sama dalam kegiatan elektoral untuk tidak membingungkan penyelenggara, peserta Pemilu dan masyarakat.
Demikian juga untuk pendaftaran pemilih terdaftar sesuai dengan alamat tertera di KTP Elektronik (pada Pemilu) yakni basis de jure atau dipersilakan pada pemilih untuk memilih alamat tempat tinggal yang ditempati ketika coklit atau didaftarkan sesuai alamat tertera di dalamnya, pilihannya bisa de jure atau de facto sesuai dengan identitasnya itu.
 (*) Penulis adalah Ketua Presidium Jaringan Demokrasi Indonesia Sulawesi Tenggara (JaDI Sultra) / Ketua KPU Provinsi Sultra Periode 2013-2018 / Praktisi Hukum
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H