Oleh: Hidayatullah
Beberapa waktu lalu tepatnya 17/09/2021 saya diajak pada satu ajang Diskusi Publik disalah satu warung kopi di kota Kendari yang diselenggarakan KIPP Sultra dan AIPI Kota Kendari yang mengangkat tema "Rekruitmen Penyelenggara Pemilu 2024 Ditengah Defisitnya Demokrasi".
Pilihan tema diskusi ini sangat menarik apalagi  diperkaya dengan elaborasi oleh beberapa narasumber dari unsur akademisi yaitu salah satu guru besar dosen ilmu politik UHO dan Sekjend KIPP Indonesia.
Saya sebagai narasumber dengan kapasitas penggiat pemilu dan demokratisasi lokal dalam diskursus ini menyampaikan beberapa problem konstitusi, fakta dan realitas yang terjadi, antara lain berikut ini;
1). Ditengah demokrasi yang defisit saat ini kita sungguh kekurangan "Pembela Demokrasi" dikalangan civil  society maupun elit politik kita;
2). Kecemasan kita dengan prospek persiapan dan pelaksanaan tahapan Pemilu 2024 tanpa revisi UU No. 7 tahun 2017 ditengah pandemi Covid-19 dan tahun yang sama digelar Pilkada Serentak pada November 2024, dipertegas dengan sejumlah problematika penyelenggaraan Pemilu 2019 sehingga diperlukan pembenahan sejumlah masalah yang masih kronis berkaitan beban kerja penyelenggara pemilu, problem klasik daftar pemilih, masifnya politik uang,
praktik mahar politik, mobilisasi aparat-aparat negara yang tidak netral yang marak tapi sangat sedikit yang dapat diproses lebih lanjut.
Masih banyak kepalsuan dalam sistem demokrasi kita. Kita masih membanggakan bahwa Pemilu serentak 2019 dan Pilkada 2020 sukses dari aspek partisipasi yang tinggi, stabilitas dan penanganan covid-19. Kita melupakan bahwa sudah 23 tahun Reformasi dengan lima kali Pemilu dan Pilkada serentak maupun tak serentak, justru demokrasi mengalami defisit.
Pemilu dan Pilkada kita hanya mempertahankan prosedur standar partisipasi dan stabilitas. Kita masih bangga dengan hasil akhir padahal kita keropos membangun moral publik dan moral politik karena praktik dilapangan begitu masif transaksi suara misal money politik, praktik mahar politik, Â mobilisasi aparatur negara yang tidak netral, curi star kampanye, ongkos kompetisi yang mahal, kampanye hitam, problem klasik kependudukan dan daftar pemilih, serta kemandirian penyelenggara pemilu yang terus tergerus. Â
Belum cukup nampak upaya yang maksimal dan sistematis memperbaiki hal-hal yang bersifat penyempurnaan sistem demokrasi yang sinstansial terkhusus sistem dan manajemen kepemiluan.
3). Kecemasan itu juga karena masih rendahnya partisipasi publik, lemahnya pranata sosial dan pemangku kepentingan untuk tergerak ikut serta mengawasi proses tahapan Pemilu dan Pilkada sebuah kritik oto kritik terhadap peran Bawaslu. Â Model pengawasan yang menara gading dan serba formalistik sehingga terjadi kegagalam dalam konsolidasi membangun moral publik untuk mengawasi Pemilu dan Pilkada tanpa bayang-bayang politik uang, mahar politik dan mobilisasi aparat-aparat negara yang tidak netral, dan lain sebagainya yang menciderai kualitas penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada.
Memang betul bukan hanya kewajiban Bawaslu dalam mengawasi Pemilu dan Pilkada. Ada empat pilar lainnya ikut punya andil berpartisipasi dengan peran yang ada baik di partai politik, media massa, warga masyarakat, serta kalangan civil society (penggiat pemilu dan demokrasi). Tetapi Bawaslu harus tampil sebagai kekuatan lembaga pengawasan yang bertanggungjawab memperkuat pranata-pranata sosial dan politik itu. Bawaslu harus tampil power full karena kewenangannya yang luas dan diperkuat oleh UU. Bawaslu harus tampil sebagai terompet UU dan panglima yang berada digarda terdepan memimpin pemberantasan money politik, mahar politik, kampanye hitam, mobilisasi aparat negara yang tidak netral agar Pemilu yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil setiap lima tahun sekali itu tidak selalu tumbuh dalam kepalsuan tetapi terpenuhinya syarat kejujuran (honesty) dan keadilan (justice) sebagai prasyarat utama dari peradaban bangsa dan negara sekaligus memastikan kelangsungan hidup manusia.