Mohon tunggu...
Hidayatullah
Hidayatullah Mohon Tunggu... Pengacara - Hidayatullahreform

Praktisi Hukum/Alumni Fakultas Hukum UHO

Selanjutnya

Tutup

Politik

Rekrutmen Penyelenggara Pemilu 2024 di Tengah Defisit Demokrasi

19 September 2021   17:49 Diperbarui: 19 September 2021   17:52 207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Oleh: Hidayatullah

Beberapa waktu lalu tepatnya 17/09/2021 saya diajak pada satu ajang Diskusi Publik disalah satu warung kopi di kota Kendari yang diselenggarakan KIPP Sultra dan AIPI Kota Kendari yang mengangkat tema "Rekruitmen Penyelenggara Pemilu 2024 Ditengah Defisitnya Demokrasi".

Pilihan tema diskusi ini sangat menarik apalagi  diperkaya dengan elaborasi oleh beberapa narasumber dari unsur akademisi yaitu salah satu guru besar dosen ilmu politik UHO dan Sekjend KIPP Indonesia.

Saya sebagai narasumber dengan kapasitas penggiat pemilu dan demokratisasi lokal dalam diskursus ini menyampaikan beberapa problem konstitusi, fakta dan realitas yang terjadi, antara lain berikut ini;

1). Ditengah demokrasi yang defisit saat ini kita sungguh kekurangan "Pembela Demokrasi" dikalangan civil  society maupun elit politik kita;

2). Kecemasan kita dengan prospek persiapan dan pelaksanaan tahapan Pemilu 2024 tanpa revisi UU No. 7 tahun 2017 ditengah pandemi Covid-19 dan tahun yang sama digelar Pilkada Serentak pada November 2024, dipertegas dengan sejumlah problematika penyelenggaraan Pemilu 2019 sehingga diperlukan pembenahan sejumlah masalah yang masih kronis berkaitan beban kerja penyelenggara pemilu, problem klasik daftar pemilih, masifnya politik uang,
praktik mahar politik, mobilisasi aparat-aparat negara yang tidak netral yang marak tapi sangat sedikit yang dapat diproses lebih lanjut.

Masih banyak kepalsuan dalam sistem demokrasi kita. Kita masih membanggakan bahwa Pemilu serentak 2019 dan Pilkada 2020 sukses dari aspek partisipasi yang tinggi, stabilitas dan penanganan covid-19. Kita melupakan bahwa sudah 23 tahun Reformasi dengan lima kali Pemilu dan Pilkada serentak maupun tak serentak, justru demokrasi mengalami defisit.

Pemilu dan Pilkada kita hanya mempertahankan prosedur standar partisipasi dan stabilitas. Kita masih bangga dengan hasil akhir padahal kita keropos membangun moral publik dan moral politik karena praktik dilapangan begitu masif transaksi suara misal money politik, praktik mahar politik,  mobilisasi aparatur negara yang tidak netral, curi star kampanye, ongkos kompetisi yang mahal, kampanye hitam, problem klasik kependudukan dan daftar pemilih, serta kemandirian penyelenggara pemilu yang terus tergerus.  

Belum cukup nampak upaya yang maksimal dan sistematis memperbaiki hal-hal yang bersifat penyempurnaan sistem demokrasi yang sinstansial terkhusus sistem dan manajemen kepemiluan.

3). Kecemasan itu juga karena masih rendahnya partisipasi publik, lemahnya pranata sosial dan pemangku kepentingan untuk tergerak ikut serta mengawasi proses tahapan Pemilu dan Pilkada sebuah kritik oto kritik terhadap peran Bawaslu.  Model pengawasan yang menara gading dan serba formalistik sehingga terjadi kegagalam dalam konsolidasi membangun moral publik untuk mengawasi Pemilu dan Pilkada tanpa bayang-bayang politik uang, mahar politik dan mobilisasi aparat-aparat negara yang tidak netral, dan lain sebagainya yang menciderai kualitas penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada.

Memang betul bukan hanya kewajiban Bawaslu dalam mengawasi Pemilu dan Pilkada. Ada empat pilar lainnya ikut punya andil berpartisipasi dengan peran yang ada baik di partai politik, media massa, warga masyarakat, serta kalangan civil society (penggiat pemilu dan demokrasi). Tetapi Bawaslu harus tampil sebagai kekuatan lembaga pengawasan yang bertanggungjawab memperkuat pranata-pranata sosial dan politik itu. Bawaslu harus tampil power full karena kewenangannya yang luas dan diperkuat oleh UU. Bawaslu harus tampil sebagai terompet UU dan panglima yang berada digarda terdepan memimpin pemberantasan money politik, mahar politik, kampanye hitam, mobilisasi aparat negara yang tidak netral agar Pemilu yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil setiap lima tahun sekali itu tidak selalu tumbuh dalam kepalsuan tetapi terpenuhinya syarat kejujuran (honesty) dan keadilan (justice) sebagai prasyarat utama dari peradaban bangsa dan negara sekaligus memastikan kelangsungan hidup manusia.

Bawaslu yang diinginkan bukan hanya sekedar  mengawasi administrasi Pemilu, mengawasi kinerja KPU, memastikan tahapan berjalan sesuai ketentuan dan ikut memelototi daftar pemiih dan sengketa proses. Bahwa itu adalah bagian tugas yang diberikan oleh UU tetapi praktiknya menjadi monoton dan formalistik padahal secara filosofis dan substansi pengawasan peran-peran itu tidak monoton tapi untuk penguatan bangkitnya semangat moral publik untuk berpartispasi luas dan aktif agar Pemilu dan Pilkada berlangsung secara LUBER dan JURDIL.

4). Dari aspek partisipasi pemilih pada Pemilu 2019 dan Pilkada 2020 sangat tinggi secara kuantitas melampaui target rata-rata nasional. Kalau ini yang menjadi tolak ukur maka Pemilu masa orde baru secara statistik melampaui partisipasi pemilih pada Pemilu di era reformasi saat ini. Karena partispasi tinggi secara kuantitatif tetapi rendah dari aspek kualitatif disebabkan begitu minimnya ruang pemilih kita dalam diskursus publik. Yaitu, preferensi pemilih tak terlalu peduli dalam memilih partai/caleg/capres/cakada. Mereka cenderung pragmatis dan tak memerhatikan dengan baik apa agenda politik yang dijanjikan serta tak ada kebutuhan untuk mengetahui rekam jejak siapa yg dipilihnya.

5). Terkait Penyelenggara Pemilu pada periode ini salah satu penyumbang defisit demokrasi juga akibat prilaku menyimpang yang merupakan suatu pengalaman buruk seperti kasus suap WS Komisioner KPU RI yang di tangkap dalam operasi OTT KPK karena mentransaksikan PAW anggota DPR RI periode 2019-2024 dari salah satu Parpol. Selain itu DKPP memberikan sanksi pemberhentian tetap salah dari anggota KPU RI, Pencopotan jabatan Ketua KPU RI maupun Kordiv-Kordiv dalam tubuh KPU. Pun ditingkat bawah baik KPU maupun Bawaslu juga terjadi hal yang sama dapat digali informasi pada sistim informasi putusan DKPP yang memberikan sanksi karena modus pelanggaran yang kerap terjadi adalah soal moralitas, perlakuan curang seperti menambah atau mengurangi perolehan suara, perlakuan tidak adil, menerima suap, dan lain-lain.

6). Terkait soal Rekruitmen Penyelenggara Pemilu 2024 harus dilakukan secara terukur, transparan, mengurangi pengaruh politik identitas soal penjatahan ormas-ormas tertentu tetapi prioritas aspek kemampuan, integritas, kapasitas, pemgalaman dan tentu rekam jejak yang baik. Tim seleksi (Timsel) yang kapabel dan kompoten serta persyaratan seleksi dengan standar khusus agar tidak disamakan dengan syarat menjadi pegawai negeri secara umum untuk mencari pekerjaan karena menjadi penyelenggara pemilu adalah pengabdian terhadap bangsa dan negara.

7). Terkait aspirasi Ketua KPU memperpanjang jabatan KPU didaerah dengan dasar kekhawatiran terganggunya tahapan krusial jelang Pemilu 2024 adalah hal yang inkonstitusional, karena aturan limitasi satu periode masa jabatan KPU adalah 5 (lima) tahun telah dikunci dalam UU No. 7 tahun 2017 tentang Pemilu. Dapat diperpanjang apabila dilakukan revisi terhadap UU Pemilu atau Perppu ketika Presiden menganggap adanya hal ikhwal kegentingan yang memaksa. 

Tetapi fakta selama ini telah dipraktikan selama lima kali Pemilu di era reformasi pergantian komisioner KPU baik ditengah jalan maupun keadaan normal tidak mengganggu tahapan Pemilu maupun Pilkada yang sedang berjalan karena telah terbangun sistem, tatakelola dan kelembagaan KPU dalam manajemen kepemiluan. Karena pergantian orang (komisioner) adalah sesuatu yang biasa yang tidak mempengaruhi secara signifikan baik kelembagaan KPU maupun tahapan Pemilu yang berjalan.

8). Sebagai penutup maka sembari dilakukan pembenahan "Rekruitmen Penyelenggara Pemilu" dan menjawab tantangan "Defisitnya Demokrasi" saat ini, maka diperlukan sangat banyak kekuatan "Pembela Demokrasi"' agar zona nyaman para elite politik harus terus diganggu. Tanpa itu, para elit akan berdiam dan berpikir bahwa masyarakat tak ada yang bergerak protes maupun interupsi.

Dari diskusi KIPP dan AIPI diatas masih banyak yang belum terangkum dari dinamisnya suasana diskusi dengan waktu yang sangat terbatas, akan tetapi bangunan komitmen akan terus berlanjut dalam konsolidasi masyarakat sipil untuk Demokrasi Indonesia yang berkeadilan dan bermartabat.

Penulis adalah Ketua Presidium JaDI Sultra

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun