Mohon tunggu...
Hidayatullah
Hidayatullah Mohon Tunggu... Pengacara - Hidayatullahreform

Praktisi Hukum/Alumni Fakultas Hukum UHO

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pentingnya Revisi UU Pemilu

8 Februari 2021   18:51 Diperbarui: 8 Februari 2021   21:26 306
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Oleh: Hidayatullah*)

"Kalaupun Parpol Tak Ingin Melalukan Normalisasi dan Kodifikasi UU Pilkada ke UU Pemilu, Paling Tidak UU Pemilu membutuhkan Revisi Menyeluruh sebagai Langkah Maju dan Upaya Memperbaiki Kualitas Penyelenggaraan Pemilu 2019 lalu"

"Ada Apa Dengan Parpol Mendadak Menolak Revisi UU Pemilu ?"

Nampaknya wacana bergulir sejak awal September 2020 begitu viral dan menggebu-gebu revisi UU Pemilu dan normalisasi jadwal Pilkada 2024 ditarik sesuai akhir masa jabatan (AMJ) kepala daerah yang berakhir tahun 2022 dan 2023, dengan pola keserentakan bergeser dari November 2024 menjadi tahun 2027.

Semula Parpol besar seperti Golkar dan Nasdem berada pada visi yang sama dengan PKS dan PD. Wacana awal itu sempat memberi optimisme publik akan adanya revisi baik dalam sistem dan prosedur Pemilu maupun normalisasi jadwal Pilkada.

Seiring perjalanan waktu diawal Februari 2021 ini, nampaknya tersisa dua partai yang bertahan untuk konsisten terhadap agenda revisi UU Pemilu yakni, PKS dan PD. Selebihnya sudah mematok dengan menolak kembali revisi UU Pemilu. Otomatis menghentikan pula diskursus normalisasi Pilkada 2022 dan 2023, serta keserentakan Pilkada 2027.

Padahal revisi UU Pemilu sudah masuk dalam Proglegnas 2021 dan drafnya sudah dibahas di Baleg DPR. Bahkan Baleg ahli sudah mengundang berbagai elemen termaksud masukan dari civil soceity penggiat Pemilu, pakar dan ahli Pemilu. Bahkan draf UU Pemilu sudah beredar dipublik baik melaui media massa maupun media sosial. Sebelumnya pula komisi II DPR menyatakan siap membahas draf RUU Pemilu tersebut.

Tiba-tiba saja mendadak semua Parpol besar termaksud menengah menarik diri dari pembahasan RUU Pemilu. Membuat nasib RUU Pemilu menjadi tak pasti. Terhadap dinamika yang ditimbulkan  ini menjadi suatu kerancuan di internal Komisi II DPR. Pasalnya, selain sudah masuk Baleg, juga sudah menjadikan RUU  Pemilu sebagai inisiatif DPR khususnya komisi II.

Ironinya lagi semua fraksi di dalam tahap pembahasan telah ikut memberikan masukan terhadap draf RUU Pemilu. Jadi draf yang saat ini ada di Baleg DPR adalah hasil masukan dari semua fraksi, minus Gerindra memberikan catatan bahwa pandangannya akan disampaikan kemudian alias belum bersikap.

Pentingnya Revisi UU Pemilu

Apakah revisi UU Pemilu dihentikan hanya karena soal normalisasi keserentakan Pilkada ? Kalaupun Pilkada tidak dapat dibahas karena Pilkada bukanlah rezim Pemilu dan masing-masing memiliki UU terpisah, maka khusus Pemilu diperlukan revisi menyeluruh untuk membenahi kualitas penyelenggaraan Pemilu 2019 lalu.

Masih cukup banyak isu dalam Pemilu yang memerlukan evaluasi, pembenahan dan tata kelola baik teknis penyelenggaraan, organ penyelenggara, termaksud sistem penegakan hukum Pemilu (electoral justice).

Dalam siklus Pemilu, inilah saatnya yang tepat tahun 2021 untuk menata perbaikan kepemiluan Nasional serentak tahun 2024. Karena tahapan Pemilu dipersiapkan selama 20 (dua puluh bulan). Artinya September 2022 tahapan Pemilu sudah dimulai dari verifikasi Peserta Pemilu (Partai Politik).

Sehingga terdapat beberapa Isu yang sungguh penting dibahas dalam revisi UU Pemilu, yakni;

  1. Sistem Pemilu; pencalonan, district magnitude, electoral formula, electoral justice.
  2. Aktor Pemilu; penyelenggara, peserta dan pemilih.
  3. Keadilan Pemilu; kelembagaan, batasan penanganan sengketa administrasi di Bawaslu, tindak pidana dan kode etik.
  4. Program digitalisasi Pemilu; salah satunya Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap) sebagai metode melakukan penghitungan dan rekapitulasi suara secara elektronik, menggantikan cara manual.
  5. Indikator teknis lainnya: soal beban kerja KPPS untuk meminimalisir korban petugas, problem pengadaan dan distribusi logistik, beban TPS yang memproses penghitungan suara rata-rata selesai pukul 00.00 waktu setempat.
  6. Keluhan Pemilih: kesulitan saat pencoblosan karena terlalu banyak surat suara.
  7. Penanganan pelanggaran Pemilu (represif and preventif); transaksi politik (money politik), mobilisasi ASN, dan penyalahgunaan jabatan, program dan fasilitas publik dalam kampanye Pemilu (fair play).

Jadi sesungguhnya tahun 2021 ini adalah momentum yang sangat baik untuk grand desain kepemiluan kita agar jauh lebih baik dibanding sebelumnya.

Pertimbangan ini agar  pembahasan tidak terburu-buru, dan dapat dilakukan berdasarkan kajian yang lebih matang. Sesungguhnya para penggiat Pemilu punya aspirasi dan masukkan di DPR bahwa revisi UU Pemilu tidak dilakukan terbatas tapi baiknya secara menyeluruh dan tidak parsial.

Sesungguhnya usulan revisi UU Pemilu adalah langkah maju, bukan langkah mundur untuk hal-hal yang sebenarnya secara prinsip sudah jelas bahkan sudah ada hasil-hasil Judicial Review (JR) dalam putusan-putusan Mahkamah Konstitusi (MK).

Tetapi sayang sejauh ini sudah hampir setahun aspirasi revisi UU Pemilu diwacanakan, dan masuk dalam Proglegnas 2021, ternyata gagal ditengah draf telah siap. Belakangan baru diketahui bahwa belum ada kesepahaman seluruh fraksi-fraksi di DPR untuk mencapai kata mufakat. Sejauh ini sudah setahun sejak mulai dibahas fraksi-fraksi masih pada pendirian masing-masing. Akhirnya berakhir dengan penolakan revisi UU Pemilu saat ini.

Berbagai alasan fraksi-fraksi di DPR diperkuat dengan kebijakan partai masing-masing bahwa penolakan revisi UU Pemillu itu secara umum ada tiga hal, yakni;

1). Tidak cukup baik dan efektif UU Pemilu dilakukan revisi/perubahan setiap memasuki momentum Pemilu berikutnya.

2). Aspek perundangan Pilkada (UU No 10 tahun 2016) belum diterapkan berkaitan kluster keserentakan pada November 2024. Sehingga tidak diperlukan kodifikasi UU Pilkada dalam UU Pemilu.

3). Aspek kedaruratan kesehatan masa pandemi Covid-19 serta pemulihan ekonomi. Sehingga konsentrasi pemerintah kepada pemulihan kesehatan dan ekonomi.

Berdasarkan hal di atas, dengan penolakan yang mendadak dari fraksi-fraksi besar dan menegah di DPR selain karena arahan dari pimpinan Parpolnya, sesungguhnya memperlihatkan bagaimana sosok wakil rakyat kita di DPR saat ini.

Seandainya mereka jernih dan lurus dalam menjalankan salah satu fungsinya adalah pemegang kekuasaan pembentuk UU (legislasi), pasti mengerti apa akar masalah dalam peraturan perundang-undangan Pemilu kita.

Seandainya DPR mendengarkan aspirasi publik, maka secara umum pembentukan peraturan perundang-undangan tidak harus lebih pada aspek filosofis-yuridis, tetapi pada kajian sosiologis dan empirisme. Padahal tepat tidaknya rumusan peraturan perundangan-undangan Pemilu sangat ditentukan oleh kebutuhan warga negara sebagai Pemilih. Sehingga kurangnya kajian sosiologis dan empiris ini, menyebabkan  produk UU Pemilu tidak menjawab persoalan hukum yang dihadapi rakyat maupun aktor Pemilu itu sendiri.

Bahkan dalam konteks tertentu, kehadiran hukum Pemilu yang tidak dilakukan evaluasi ini, justru kedepan akan menimbulkan problem baru di tengah-tengah masyarakat.

Penolakan revisi UU Pemilu ini kelihatanya juga diakibatkan dalam banyak hal terkalahkan oleh kepentingan politik para elit legislator berkolaborasi dengan elit eksekutif. Sehingga desakan revisi RUU Pemilu yang sangat substansi tidak lagi mendengarkan aspirasi publik sebagai Pemilih.

Sejauh ini, DPR dan Parpol tidak bisa memahami bahwa yang berpemilu adalah rakyat Indonesia. Rakyat yang harus dijamin hak konstitusionalnya untuk  memilih dan dipilih. Ada aspek "keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia" di Pemilu itu.

Dalam rumusan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menyatakan dengan tegas bawah; "Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan berdasarkan UUD ini".

Jadi, kedaulatan itu berada ditangan rakyat; "dari, oleh dan untuk rakyat Indonesia", dan  dilaksanakan berdasarkan Pasal 22 E dan Pasal 18 ayat (4) UUD, serta ketentuan pasal-pasal lainnya.


Pancasila dan UUD 1945 itu adalah sumber hukum rakyat Indonesia. Maka seharusnyalah DPR dan Pemerintah melihat dan mendengarkan aspirasi dan denyut nadi rakyatnya secara utuh dan berkeadilan.

Demikian, semoga kita tidak lelah dalam menata mozaik demokratisasi di bangsa ini.

Penulis; *)Praktisi hukum/mantan Ketua KPU Provinsi Sultra Periode 2013-2018

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun