KPU Daerah yang menetapkan paslonkada yang dilakukan pada tanggal 23 September 2020 lalu memang ketika itu identitas Paslon belum diketahui. Namun kemudian diketahui ada kesalahan, kekeliruan data dan informasi yang telah memiliki kepastian hukum, maka penetapan dapat dibatalkan seperi kasus aquo.
Tentunya terdapat kekurangan substansi yuridis dalam Juknis KPU berkait indentitas ganda kewarganegaraan yang tidak termuat dalam dokumen syarat calon dan pencalonan lainnya. Kekurangan substansi yuridis ini akan nampak jika disandingkan dengan regulasi UU Kewarganegaraan dan UU administrasi kependudukan.
Sehingga, ketika KPU meragukan identitas kewarganeragaraan dan domisli berdasarkan aspirasi atau masukan dari publik terlebih masukan dari Bawaslu, jika terjadi keraguan kewarganegaraan termkasud perubahan identitas calon, UU kewarganegaraan dan UU administrasi kependudukan telah mengantisipasi bahwa Direktorat Keimigrasian Kemenkumham tempat pertama untuk melakukan klarifikasi data kewarganegaraan. Setelahnya ke instansi pencatatan sipil sebagai pihak yang menerbitkan akta pencatatan sipil.
Maka, dapat ditarik pengetahuan hukum bahwa institusi keimigrasian kemenkumham dalam hal identitas paspor, dan pencatatan sipil yang memiliki kewenangan untuk memberikan penjelasan berkaitan dengan pencatatan identitas penduduk. Tidak dianjurkan ke kedutaan-kedutaan besar negara soal identitas kewarganegaraan.
Begitupula dengan klarifikasi identitas kependudukan tidak dianjurkan ke tempat sekolah pendidikan calon untuk melegitimasi keabsahan identitas seseorang.
Pada titik inilah, penulis merekomendasikan KPU perlu mengharmonisasi beleidsregel yang dibentuknya, agar muatan, isi materi Juknis KPU linear dengan UU yang secara spesialis mengaturnya, UU Kewarganegaraan dan UU Administrasi Kependudukan.
Keyakinan penulis, hasil penetapan calon kepala daerah demikian yang dwi kewarganegaraan tanpa didukung oleh dokumen data paspor, atau setidak-tidaknya pemberitahuan resmi dari institusi keimigrasian kemenkuham, maka hasil validasinya subjektif-diragukan, dan potensial mengandung cacat meteriil.
Sehingga Juknis KPU secara substansi perlu koreksi, ditata kembali. Khusus berkait "status kewarganegaraan" dan tidak sedikit pula ada "perubahan identitas", agar kedepan tidak terjadi rechtsvacuum (kekosongan hukum) seperti kasus aquo.
Penulis: *)Praktisi Hukum/mantan Ketua KPU Provinsi Sultra  periode 2013-2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H