Akhir-akhir ini dibangsa kita disuguhkan tafsir hukum baik pembentuk Undang-Undang yakni Anggota DPR dan Pemerintah maupun ahli hukum justeru banyak yang bias dan menyimpang atau seolah-olah mengabaikan hukum positif yang berlaku ?
Misal, DKPP memberi sanksi penyelenggara Pemilu kearas bawah KPU/Bawaslu tingkat Provinsi/Kabupaten/Kota dan seterusnya, dan sekiranya ada perdebatan maka DKPP yang diapresiasi dan memang tugasnya menegakkan etik (elit politik dan pakar hukum) mengatakan demikian.
Selebihnya adapula putusan PTUN yang membatalkan putusan Ketua KPU Provinsi dibeberapa daerah yang menindaklanjuti putusan DKPP. Tetapi putusan PTUN itu tidak dapat dieksekusi dan bahkan KPU Provinsi mendapat legitimasi dari pimpinan diatasnya (KPU RI) dengan petunjuk bahwa belum ada peraturan perundang-undangan yang dapat mengoreksi putusan DKPP RI (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu).
Tetapi ketika sanksi etik itu menimpa komisioner KPU RI baik pemberhentian dari anggota maupun jabatan dari ketua maka kajiannya malah menjadi progresif dengan ulasan putusan MK No. 31/2013 yang dibelokkan makna dan peruntukannya secara hukum administrasi.
Padahal putusan MK No.31 tahun 2013 itu mengoreksi UU No. 15 tahun 2011 berkaitan frasa final dan mengikat pasal 112 ayat (12). Sementara UU No. 15 tahun 2011 itu sudah tidak berlaku dengan terbitnya UU No. 7 tahun 2017 tentang Pemilu. Justru DPR menghidupkan kembali frasa final dan mengikat itu di Pasal 458 ayat (13) UU No. 7 tahun 2017.
Kenapa DPR dapat membuat frasa dalam pasal itu hidup kembali karena memang sifatnya "positif legislatif" sebagai pemegang kedaulatan pembentuk undang-Undang bersama Presiden/Pemerintah sebagaimana pasal 20 UUD 1945.
Dalam menghidupkan frasa pasal final dan Mengikat itu kenapa DPR dalam menyusun UU No. 7 tahun 2017 tidak memasukkan klausul bahwa tidak dapat berlaku final dan mengikat apabila ada putusan TUN dan seterusnya. Tetapi konstruksinya justru putusan DKPP kembali bersifat final dan mengikat. Bahkan Undang-Undang itu mengkonstruksikan lembaga DKPP seolah-olah lembaga peradilan. Dengan kondisi ini lalu apa bijaksana menyudutkan putusan DKPP ?
Sedangkan Mahkamah Konstitusi sifatnya "negatif legislatif" yang hanya mengoreksi/membuat tidak mengikat atau batal demi hukum suatu materi, isi atau pasal tertentu dri Undang-Undang yang dianggap berrtentangan dengan UUD 1945.
Maka, Kendaltipun MK sudah mematikan pasal dalam  Undang-Undang tertentu seperti UU No.15 tahun 2011 tetapi ketika DPR mengaktifkan lagi dengan Undang-Undang yang baru No. 7 tahun 2017, maka Undang-Undang yang lama tidak berlaku dan berlaku ketentuan baru.
Soal Kepres itu administrasi yang sifatnya "deklartoir" bukan mematikan atau menafsir putusan DKPP, kenapa ? Karena Undang-Undang memang konstruksi normanya seperti itu yang tertulis. Tidak bisa dirubah dengan tafsir-tafsir diluar pengadilan.
Jadi hukum positif kita seperti itu, tidak bisa ditafsir menjadi progresif ketika sudah jelas dan terang terulis dalam Undang-Undang dan konstitusi yang berlaku.
Ada adagium hukum INTERPRETATIO CESSAT IN CLARIS (jika teks atau redaksi UU telah terang benderang dan jelas, maka tidak diperkenankan lagi menafsirkannya, karena penafsiran terhadap kata2 Â yg jelas sekali berarti penghancuran -- interpretation est perversio).
IGNORANTIA EXCUSATUR NON JURIS SED FACTI -- Ignorance of fact is excused but not ignorance of law. Ketidaktahuan akan fakta-fakta dapat dimaafkan tapi tidak demikian halnya ketidaktahuan akan hukum. Dan IGNORANTIA JURIS NON EXCUSAT -- Ignorance of the law does not excuse (ketidaktahuan akan hukum tidak dimaafkan).
Demikian.
Kendari, 27 Januari 2021
Penulis; HIDAYATULLAH, SH, Anggota TPD DKPP RI Prov. Sulawesi Tenggara (unsur masyarakat)/ex Ketua KPU Prov. Sulawesi Tenggara Periode 2013-2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H