Mohon tunggu...
Tatang  Hidayat
Tatang Hidayat Mohon Tunggu... Dosen - Pegiat Student Rihlah Indonesia

Tatang Hidayat, bergiat di Student Rihlah Indonesia. Ia mulai menulis sejak SD, ketika masa SMK ia diamanahi menjadi pimpinan redaksi buletin yang ada di sekolahnya. Sejak masuk kuliah, ia mulai serius mendalami dunia tulis menulis. Beberapa tulisannya di muat diberbagai jurnal terakreditasi dan terindeks internasional, buku, media cetak maupun online. Ia telah menerbitkan buku solo, buku antologi dan bertindak sebagai editor buku dan Handling Editor Islamic Research: The International Journal of Islamic Civilization Studies. Selain menulis, ia aktif melakukan jelajah heritage ke daerah-daerah di Indonesia, saat ini ia telah mengunjungi sekurang-kurangnya 120 kab/kota di Indonesia. Di sisi lain, ia pun telah melakukan jelajah heritage ke Singapura, Malaysia dan Thailand. Penulis bisa di hubungi melalui E-mail tatangmushabhidayat31@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Hobby

Resensi Buku Pembuka Hidayah Jilid II: Novel Biografi KH. Choer Affandi

25 November 2021   14:48 Diperbarui: 25 November 2021   15:01 641
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebut saja ada Amir Fatah yang memproklamirkan Negara Islam di Brebes, Tegal dan Pekalongan. 1952, Kiai Muhammad Makhfudz Abdurrahman atau Kiai Sumolangu, memproklamirkan bergabung dengan Darul Islam di Jawa Barat. Berdiri juga DI/TII di Sulawesi Selatan dipimpin oleh Kahar Muzakar. Di Kalimantan Selatan pada tahun 1954 Ibnu Hajar memproklamirkan bergabung dengan DI/TII di Jawa Barat. Di Aceh, pada 20 September 1953, Teuku Daud Beureuh memproklamirkan  bergabung dengan DI/TII yang diproklamirkan Kartosuwiryo. Deretan berbagai peristiwa yang terjadi secara nasional ini membuat novel ini semakin lengkap, tidak parsial  dan tidak terputus narasi sejarahnya.

Bagian selanjutnya, Fauz Noor menggambarkan juga bagaimana sosok dukungan warga saat itu terhadap DI/TII dengan memberikan berbagai makanan salah satunya adalah makanan pokok beras. Tentu dengan resiko yang sangat berat saat itu, karena jika diketahui oleh tentara Soekarno, taruhannya adalah nyawa. Kejadian itu digambarkan begitu apik oleh Fauz Noor. Saya salut.

Satu yang membuat haru, Choer Affandi digambarkan sebagai pribadi yang sangat mencintai dan hormat pada ibunya. Itu tergambar bagaimana saat ia membujuk ibunya untuk turun gunung. Choer Affandi juga sosok yang istiqomah dalam ibadah dan munajatnya, sesibuk apapun bahkan dalam keadaan berjuang di gunung, ia selalu shalat wajib awal waktu, tidak lupa untuk shalat tahajud dan shalat duha.

Fauz Noor menggambarkan pula situasi terkini politik saat itu pada tahun 1955 dilangsungkan pemilihan umum pertama di Republik Indonesia. Keseluruhan peserta pemilu saat itu mencapai 172 gambar, banyak di antara mereka adalah partai yang berasas dan bernafaskan Islam yang terbesar darinya adalah partai Masyumi, Partai NU dan Partai Serikat Islam Indonesia.

Saat terbit Peraturan Pemerintah tahu 1958, tanggal 14 Oktober 1958 yang isinya tentang penumpasan DI/TII salah satu isi peraturan tersebut rencana Kodim Siliwangi menerapkan taktik Pagar Betis yang melibatkan peran masyarakat luas. Kembali Fauz Noor membawakan narasi ini dengan apik dan penuh hati-hati, wajar karena merupakan sesuatu yang berat dan sensitif, namun mampu dibawakan oleh Fauz Noor dengan santai dan ringan.

Terdapat banyak hal yang tidak mungkin terjadi pada masa itu, yakni karamah orang shalih. Fauz Noor mengangkat salah satu kejadian saat Choer Affandi bersama Oyoh Shofiah yang menggendong seorang bayi bersama 3 pengawal TII dikejar-kejar oleh Tentara Soekarno dan tidak ada pilihan lain harus bersembunyi ke salah satu gua yang dikenal dengan gua harimau. 

Fauz Noor mampu membawakan adegan tersebut dengan menegangkan, setelah Choer Affandi berdoa akhirnya harimau-harimau yang ada di dalam gua keluar sehingga ia bersama Istri, bayi dan 3 pengawalnya bisa bersembunyi di dalam gua.

Di bagian akhir para anggota DI/TII akan turun gunung, Fauz Noor menggambarkan saat itu keadaan DI/TII sudah sangat lemah, keadaan semakin mencekam, perut keroncongan karena pasokan logistik dari warga terhambat saat diberlakukannya pagar betis. 

Ada perasaan dari para TII yang ingin kembali hidup normal, kumpul dengan keluarga dan bisa menjalankan aktivitas sebagaimana biasanya. Di sinilah Fauz Noor menggambarkan bagaimana Choer Affandi dalam menentukan segala keputusan selalu hati-hati dan selalu meminta pandangan dari gurunya.

Saat berkumpulnya Dewan Imam, Fauz Noor mampu membawakan suasana sakral saat itu dengan bijaksana dengan berbeda pandangan yang terjadi antara bertahan ataupun harus turun gunung. Tentu saat itu sikap SM Kartosuwiryo tetap bertahan sampai mati di gunung, tapi ia pun mempersilakan jika ada yang mau turun gunung. 

Namun dalam pembahasan Dewan Imam, ada diksi yang mesti diluruskan terkait waktu proklamirkannya DI/TII sebagaimana yang dikenal dalam buku-buku sejarah itu 7 Agustus 1949 namun dalam novel ini tertulis 17 Agustus 1949. Mungkin penulis ada pertimbangan lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun