Kedua, berdasarkan referensi lain ternyata ada seorang ulama lagi yang diketahui menolak melakukan saikeirei yakni Haji Abdul Karim Amrullah atau Haji Rasul (ayah Buya Hamka) dari Maninjau, Sumatera Barat. Ini menunjukkan meskipun terpisah dengan jarak yang cukup jauh antara Tasikmalaya Jawa Barat dan Maninjau Sumatera Barat, tetapi karena dasarnya sama adalah tauhid yang kuat maka dalam menyikapi saikeirei pun kedua ulama tersebut ada kesamaan dengan menolaknya.
Ketiga, dari segi nasab ada hal yang menarik dalam diri KH. Zainal Musthafa, karena nasab beliau ke atasnya belum diketahui dikarenakan kurangnya referensi. Namun ketika penulis bersilaturahim kepada salah seorang cucu beliau, yakni Yusuf Hazim, ternyata beliau memperlihatkan kepada penulis salah satu pusaka yakni berupa pedang yang kata Yusuf Hazim diturunkan secara turun temurun dan dikatakan pedang ini berasal dari Kerajaan Mataram Islam. Ini hal yang menarik untuk terus ditelusuri nasab KH. Zainal Musthafa.
Keempat, KH. Zainal Musthafa bergabung dengan Jam'iyyah Nahdlatul Ulama (NU) pada tahun 1933. KH. Zainal Musthafa tercatat sebagai Wakil Rois Syuriyah NU Cabang Tasikmalaya. Namun sebelum melakukan perlawanan, beliau mengundurkan diri dari NU. Ini menunjukkan di samping supaya NU tidak terbawa dalam aksi perlawanan beliau, di sisi lain perjuangan beliau bukan untuk kepentingan organisasi atau kelompok, tetapi perjuangan beliau untuk kepentingan umat dan bangsa dengan cara-cara syariah Islam dalam meninggikan Kalimatullah di muka bumi.
Kelima, jejaring ulama luas yang sudah dimiliki KH. Zainal Musthafa sebelum perlawanan. Hal tersebut dibuktikan sebagaimana hasil wawancara Ahmad Mansyur Suryanegara selaku Sejarawan Universitas Padjadjaran kepada EZ. Muttaqin salah satu santri Sukamanah yang saat itu diperintahkan oleh KH. Zainal Musthafa untuk mengirimkan surat kepada KH. Ahmad Sanusi Pimpinan Pondok Pesantren Syamsul Ulum Gunung Puyuh Sukabumi. Namun EZ. Muttaqin tertangkap di stasiun Bandung dan ditelanlah surat tersebut. Seandainya surat tersebut sampai ke KH. Ahmad Sanusi, dapat dipastikan akan timbul solidaritas protes sosial di Sukabumi.
Keenam, latar belakang pasukan dalam perlawanan Sukamanah hampir sama dengan peristiwa perang Jawa (1825-1830) yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro yang melibatkan banyak pihak baik dari kalangan ulama, santri, dan masyarakat. Pertempuran Sukamanah melibatkan berbagai pihak diantaranya santri Sukamanah, masyarakat Sukamanah, dan pasukan-pasukan Muslim (Lazkar Hizbullah dan Sabilillah) yang ikut bergabung dibawah koordinasi KH Zainal Musthafa.
Ketujuh, KH. Zainal Musthafa dan pasukan Sukamanah sangat memahami dengan utuh konsep jihad Fii Sabilillah, nyatanya saat terjadi pertempuran pasukan Sukamanah diperbolehkan menyerang setelah tentara kafir Jepang memasuki garis batas pertempuran. Yang membuat sedih KH. Zainal Musthafa ternyata yang dikirim pasukan di garis depan adalah kenpeitei yakni polisi pribumi yang bekerjasama dengan tentara kafir Jepang.
Kedelapan, saat peristiwa peperangan, KH. Zainal Musthafa bertindak sebagai komando sambil terus berdzikir memakai tasbih. Saat peperangan sengit terjadi kemudian banyak dari kenpeitei Jepang tewas akhirnya KH. Zainal Musthafa memerintahkan pasukannya untuk menghentikan peperangan dan mundur karena dikhawatirkan kenpeitei yang tewas dan berasal dari pribumi masih banyak yang mendirikan shalat. Â Dengan demikian, sebenarnya pasukan KH. Zainal Musthafa bukan kalah tetapi mengalah karena dikhawatirkan pasukan musuh yang tewas dan berasal dari pribumi masih mendirikan shalat.
Kesembilan, jumlah pasukan Sukamanah yang syahid pada peperangan berjumlah 86 orang dan dimakamkan dalam satu lubang. Sekarang pertanyaannya, berapa jumlah dari pasukan musuh yang tewas ? Berdasarkan penuturan beberapa saksi mata kejadian yang disampaikan kepada salah seorang cucu KH. Zainal Musthafa, diperkirakan pasukan musuh yang tewas berjumlah  kurang lebih 300 orang karena dilihat dari jumlah truk yang datang ke Sukamanah. Namun dikarenakan strategi tentara Jepang untuk menyembunyikan kekalahan mereka maka yang tewas tersebut segera dinaikan ke truk dan disembunyikan. Hal demikian diperkuat pasca peperangan begitu sulitnya menemukan berbagai referensi yang menjelaskan tentang peperangan tersebut, dikarenakan  Pesantren Sukamanah langsung diporak porandakan.
Kesepuluh, senjata yang digunakan oleh pasukan Sukamanah mayoritas terdiri dari pedang bambu, namun pedang tersebut atas izin Allah Subhanahu Wa Ta'l bisa lebih tajam dari pedang yang digunakan oleh pihak musuh. Hal yang menarik, ternyata pedang bambu tersebut sangat menakutkan pihak Jepang, pasca peperangan tentara Jepang menyisir pedang bambu untuk diamankan. Namun atas izin Allah Subhanahu Wa Ta'l di salah seorang cucu KH.Â
Zainal Musthafa masih menyimpan pedang bambu tersebut sebagai bukti nyata bahwa pedang bambu adalah senjata yang digunakan oleh pasukan Sukamanah. Ada 2 lagi pedang bambu yang tersimpan di Museum Mandala Wangsit Siliwangi Bandung. Dengan demikian total pedang bambu yang baru diketahui ada 3. Peneliti selanjutnya baiknya menelusuri dan mencari pedang bambu yang lainnya sebagai warisan kekayaan para pahlawan dan syuhada Nusantara yang terindikasi masih ada yang menyimpannya pada keturunan pasukan Sukamanah.
Kesebelas, pasca peperangan hari itu juga KH. Zainal Musthafa dan para komandan perangnya di tangkap dan mengalami beberapa siksaan. Namun yang luar biasa, sifat kesatria KH. Zainal Musthafa untuk melindungi para prajuritnya, beliau rela menanggung semua perlawanan Sukamanah untuk ditimpakan kepada beliau, dan beliau memerintahkan kepada pasukan lainnya untuk menyelamatkan diri sendiri.Â