Mohon tunggu...
Tatang  Hidayat
Tatang Hidayat Mohon Tunggu... Dosen - Pegiat Student Rihlah Indonesia

Tatang Hidayat, bergiat di Student Rihlah Indonesia. Ia mulai menulis sejak SD, ketika masa SMK ia diamanahi menjadi pimpinan redaksi buletin yang ada di sekolahnya. Sejak masuk kuliah, ia mulai serius mendalami dunia tulis menulis. Beberapa tulisannya di muat diberbagai jurnal terakreditasi dan terindeks internasional, buku, media cetak maupun online. Ia telah menerbitkan buku solo, buku antologi dan bertindak sebagai editor buku dan Handling Editor Islamic Research: The International Journal of Islamic Civilization Studies. Selain menulis, ia aktif melakukan jelajah heritage ke daerah-daerah di Indonesia, saat ini ia telah mengunjungi sekurang-kurangnya 120 kab/kota di Indonesia. Di sisi lain, ia pun telah melakukan jelajah heritage ke Singapura, Malaysia dan Thailand. Penulis bisa di hubungi melalui E-mail tatangmushabhidayat31@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Jejak Persahabatan KH. Choer Affandi dengan Buya Hamka, M. Natsir, dan Tokoh - Tokoh Masyumi Lainnya

7 Agustus 2020   17:38 Diperbarui: 28 November 2020   08:27 1235
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sewaktu Onong mengaji di Pesantren Sukamanah, beliau diikut sertakan sebagai santri yang diharuskan ikut terhadap seorang santri yang bernama H. Masluh sebagai santrinya. H. Masluh adalah santri yang dimukimkan atau sudah mendapat restu K.H. Zainal Musthafa untuk membuka pesantren, maka dengan segala kepatuhan dan ketaatan beliau terhadap sang guru, berangkatlah Onong beserta rombongan mengikuti H. Masluh. Pesantren baru yang dibuka oleh H. Masluh bernama Legok yang berjarak kurang lebih 500 meter dari pesantren Sukamanah kesebelah timur (Fattah, 2013:7).

Masluh juga mengangkat Choer Affandi sebagai anaknya beserta santri lain seperti Sadili dan Jahuri yang berasal dari Karawang, Rois dari Bogor, dan Ruhiyat dari Tasikmalaya. Tidak hanya itu, sikap keta’ẓiman Choer Affandi juga terlihat ketika beliau diperintahkan untuk belajar mengaji di Pesantren Pani’is pimpinan K.H. Shobir pada tahun 1940 M yang berada di Desa Cigadog Leuwisari selama enam bulan untuk belajar ilmu Ushūl Fiqh. Setelah belajar di Pesantren Pani’is kemudian beliau pulang kembali ke Legok Ringgit. Setelah itu beliau diperintahkan juga untuk belajar mengaji di Pesantren Tunagan di bawah pimpinan K.H. Dimyati yang berada di Tasikmalaya untuk mempelajari ilmu astronomi yang ada pada kitab Taqrībul Maqṣod. Setelah itu beliau pulang kembali ke Pesantren Legok Ringgit (Fattah, 2013:8).

Sepulang dari pesantren Tunagan tepatnya pada tahun 1941 M, Choer Affandi kemudian diperintahkan untuk belajar mengaji tentang ilmu hisab atau ilmu falaq di Pesantren Jembatan Lima Jakarta pimpinan K.H. Mansur sampai bulan Desember 1941 M, dari Pesantren Jembatan Lima, beliau tidak langsung pulang ke Pesantren Legok Ringgit melainkan berangkat ke Pesantren Gunung Puyuh di Sukabumi pimpinan KH. Ahmad Sanusi untuk mempelajari ilmu hadis dan tafsir. Adapun ilmu logika dan faraid dari K.H. Mahfudz di Pesantren Tipar yang masih di Sukabumi (Fattah, 2013:9). Ilmu Tasawuf ia pelajari dari Rd. Haji Didi Abdul Majid di Pesantren Wanasuka, Ciamis. Dan kepada Kiai Sayuti ia belajar Ilmu Kemakrifatan di Pesantren Grenggeng di Kebumen, Jawa Tengah.(Teguh, 2018). Perjalanan beliau dilakukan tidak terlepas dari perintah sang guru, sepulang dari Sukabumi tepatnya pada bulan Maret 1942 M, beliau meminta pertimbangan H. Masluh untuk membuka pesantren di daerah asalnya yaitu di Cigugur. Pada tahun itu juga beliau mendirikan Pesantren Wanasuka di daerah asalnya tersebut (Fattah, 2013:9).

Walaupun sudah menjadi pimpinan atau sudah mempunyai pesantren yang lumayan besar, keinginan belajar dan mencari ilmu agama yang lebih masih diperlihatkan oleh Choer Affandi dengan mengaji kepada Kiai Abdul Hamid dan K.H. Didi Abdul Majid, yang dilakukan seminggu sekali. Sehingga dari ketekunan dan kepintaran yang beliau miliki hingga pada akhirnya beliau menjadi wakil kedua ulama tersebut dalam memberikan pelajaran kepada mustami yang menghadiri pengajian (Fattah, 2013:9).

Mama Choer (Sebutan lain KH. Choer Affandi) adalah santri dari menantu Mama Kudang sekaligus santrinya dan juga santri dari Mama Cintawana seperti halnya Mama Cipasung, Sukahideng, Sukamanah. Mama Choer memiliki ikatan tabaruk kepada Mama Kudang. Secara geneologis antara keduanya memiliki ikatan keilmuan yang kuat (Mubarak, 2020:179).

Sejarah Berdirinya Pesantren Miftahul Huda Manonjaya Tasikmalaya (7 Agustus 1967)

Sejarah berdirinya Pesantren Miftahul Huda Manonjaya diawali dari pengalaman K.H. Choer Affandi dengan Islam Politik yang dimulai ketika ia sedang nyantri di Pesantren Sukamanah pimpinan K.H. Zainal Musthafa, dan Pesantren Gunung Puyuh Pimpinan K.H. Ahmad Sanusi. Di kedua pesantren ini, beliau dididik Rūḥ al-Jihād oleh gurunya sejak mulai mengaji kitab Ajurūmiyah hingga fundamental tauhid. Gelora jihad pun muncul di saat ia mendengar perlakukan tidak manusiawi tentara Jepang terhadap K.H. Zainal Musthafa, ketika terjadi pemberontakan Pesantren Sukamanah pimpinan gurunya terhadap Jepang. Meskipun beliau tidak secara langsung ikut serta dalam pemberontakan tersebut, Jepang pun mencurigainya dan berusaha menangkapnya. Hanya saja, beliau mampu menghindari sergapan-sergapan militer Jepang. Namun, ajaran guru-gurunya dan gerakan anti-kolonialnya sangat kuat berpengaruh pada diri K.H. Choer Affandi, sehingga menumbuhkembangkan jiwa pemberontakan dan semangat ideologi Negara Islam (Sulasman, 2015).

Jiwa anti-kolonial ini pulalah yang mendorong K.H. Choer Affandi untuk bergabung dengan Hizbullah, sayap militer yang banyak diisi oleh kalangan kiai dan santri, untuk melawan Belanda di kala Netherlands-Indies Civil Administration (NICA) dan Belanda berkehendak menjajah kembali Indonesia. Pasca Perjanjian Renville (17 Januari 1948), sebagian besar wilayah Indonesia, termasuk Jawa, diklaim sebagai bagian dari Belanda. Pusat pemerintahan Indonesia pun pindah ke Yogyakarta. Semua pasukan militer Republik Indonesia (RI) dan faksi-faksi para-militer diperintahkan untuk melakukan longmarch ke Yogyakarta. Sehingga menyebabkan Jawa Barat mengalami kekosongan kepemimpinan. Pada saat itulah, gerakan gerilya Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) menguat di beberapa daerah, terutama di Jawa Barat, yang salah satunya bersikukuh untuk mempertahankan wilayah-wilayah Indonesia dari tentara Inggris dan Belanda. Mereka pun bergerilya pada wilayah-wilayah yang ditinggalkan pasukan militer RI (Sabirin, 2003).

Pasca Konferensi Meja Bundar (KMB) tanggal 27 Desember 1949, sebagian besar Jawa kemudian diakui lagi sebagai bagian dari Indonesia dan Pemerintah Pusat di Jakarta meminta DI/TII untuk melebur ke dalam Tentara Rakyat Indonesia (TRI). Sebagian anggota DI/TII menolak untuk mengembalikan wilayah-wilayah yang dikuasainya ke dalam pangkuan Pemerintah Pusat. Maka terjadilah peperangan antara DI/TII dan Tentara Negara Indonesia (TNI) yang berlangsung dari tahun 1949-1962. Pada waktu itu, K.H. Choer Affandi merupakan salah satu petinggi DI/TII yang cukup dekat dengan Kartosuwiryo, karena merupakan salah satu alumni Institute Suffah. Di kala pasukan DI/TII “kalah perang”, K.H. Choer Affandi turun gunung pada 1962 ketika terjadi peristiwa operasi Pasukan Gabungan Rakyat Berantas Tentara Islam (Pagar Betis) di bawah komando A.H. Nasution. Beliau menyerahkan diri kepada Pemerintah RI serta dapat diterima dan mendapatkan perlakukan yang baik dari Pemerintah RI. Waktu turun gunung beliau masih tercatat sebagai tentara aktif dan masih di gaji oleh pemerintah (Sulasman, 2015).

Setelah beliau turun gunung, akhirnya metode perjuangan beliau berubah lewat pendidikan dengan mendirikan pesantren (Agussandi, 2013). Sementara itu dari hasil penerangan beberapa sumber, kedatangan K.H. Choer Affandi ke daerah Manonjaya adalah karena beliau mengikuti anjuran yang diberikan oleh gurunya, selain karena adanya mustami atau alumni yang pernah mengikuti pengajian di Pesantren Wanasuka (Brata, 2001). Awalnya pesantren ini terletak di tengah-tengah kampung Gobong Sari desa Cisitukaler kurang lebih 1 kilo meter arah barat daya dari lokasi sekarang ini. Saat itu pesantren sudah memiliki sebuah madrasah dan dua asama putra dan putri, karena tidak ada lahan kosong yang tersedia untuk membangun asrama yang lain. Oleh karena itu, K.H. Choer Affandi tidak mampu mengawasi santrinya dari pengaruh eksternal, dan atas petunjuk seorang guru yakni K.H. Raden Didi Abdul Majid, K.H. Choer Affandi memilih lokasi yang sekarang. Sebenarnya, beliau ditawari untuk mendirikan 3 pesantren oleh para dermawan, namun setelah ṣalat istikharah, beliau memutuskan ke lokasi yang sekarang (Adeng, 2011).

Pesantren Miftahul Huda didirikan pada 7 Agustus 1967 oleh K.H. Choer Affandi (Fauzianti, Suresman, & Asyafah, 2015). Ini merupakan simbol peralihan perjuangan dari mengangkat senjata menjadi jihad bil fikroh. Sejak berdirinya pada tahun 1967, Pesantren Miftahul Huda telah membawa dampak sosial keagamaan bagi masyarakat Manonjaya, Kabupaten Tasikmalaya. Inilah yang menjadikan pesantren Miftahul Huda sebagai pusat perkembangan Islam di kawasan Manonjaya saat ini. Hal itu bisa dilihat dari berbagai kegiatan sosio-religius yang telah dilaksanakan sejak berdirinya pesantren hingga saat ini (Agussandi, 2013). Seiring perkembangannya, saat ini Pesantren Miftahul Huda Manonjaya merupakan pondok pesantren salafiyah terbesar di Jawa Barat. Pesantren Miftahul Huda memiliki tiga peranan penting, yaitu sebagai lembaga pendidikan Islam, pengembangan sumber daya manusia dan pengembangan masyarakat (Adeng, 2011). Sementara itu, hal yang menarik dan menjadi keunikan dari Pesantren Miftahul Huda sebagai hasil didikan K.H. Choer Affandi ada dalam strategi manajemen komunikasi yang diterapkan dalam pengembangan sumber daya manusia, yakni dengan manajemen komando imāmah jamā’ah yang dalam aplikasinya menggunakan doktrin ideologi tauhid sebagai falsafah dan ta’at serta patuh pada imam sebagai doktrin operasional (Prasanti, 2017).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun