Resolusi Jihad terlahir karena tentang Indonesia yang baru berdiri belum sekuat sekarang, bahkan berdirinya saja masih beberapa minggu. Dalam resolusi itu disebutkan, pejuang yang mati dalam perang kemerdekaan layak disebut syuhada. Sedangkan warga Indonesia yang memihak penjajah dianggap sebagai pemecah belah persatuan nasional, maka harus dihukum mati.
“Kesadaran itu menunjukkan bahwa kalangan santri mempunyai nasionalisme yang tinggi untuk mengusir penjajah” menukil perkataan dari Gus Sholah.
Kemudian, menyambut pidato yang menggelora dari Bung Tomo, maka semakin mantaplah semangat heroisme para pejuang yang berada di lapangan. Tidak hanya itu, laskar Hizbullah dan Sabilillah sebagai sayap militer umat Islam mulai berduyun-duyun memasuki Surabaya untuk menghadang kembalinya sang penjajah. Diantara alumnus kedua laskar yang ikut bertempur di Surabaya itu adalah KH. Munasir Ali, KH. Yusuf Hasyim, KH. Baidowi, KH, Mukhlas Rowi,dan KH. Sulanam Samsun.
Tidak beda dengan Jatim, seruan jihad melawan kolonial juga berkumandang keras di Jabar. Tampil sebagai pelopor adalah Kyai Amin Sepuh dari Babakan Ciwaringin Cirebon, sebagai komandan Hizbullah. Meski saat itu teknologi belum maju, tetapi Kyai Amin Sepuh menjalin komunikasi yang baik dengan para Kyai di Jombang, Solo dan Yogyakarta.
Sehingga saat mendengar Inggris akan mendarat di Surabaya pada 25 Oktober 1945 dengan ‘misi’ mengembalikan Indonesia kepada Belanda, maka Kyai Amin Sepuh mengelar rapat bersama para Kyai di wilayahnya. Menurut penuturan Kyai Fathoni, pertemuan itu dilakukan di daerah Mijahan, Plumbon, Cirebon. Bersama dengan Kyai Main, Kyai Fathoni menjadi saksi pertemuan yang melibatkan KH. Abbas Abdul Jamil Pesantren Buntet, KH. Anshory (Plered), dan lan-lain.
Pertemuan itu ditindaklanjuti dengan pengiriman anggota laskar ke Surabaya untuk menghadang 6000 pasukan Brigade 49, Divisi 23 yang dipimpin Brigadir Jenderal AWS Mallaby. Tidak ketinggalan, Kyai Amin Sepuh juga berangkat ke Surabaya, termasuk mengusahakan pendanaanya untuk berangkat. “Pendanaan, beliau menyerahkan 100 gram emas yang terdiri dari kalung, gelang, dan cincin,” ungkap Kyai Fathoni yang saat itu melihat langsung.
Baca juga: KH Zainudin MZ, Anekdot "Sholat Itu Nomor 2" dan Doa Sapu Jagat
Kyai Amin Sepuh sendiri berangkat ke Surabaya bersama Kyai Abbas Buntet, Kyai Bisri Musthofa, Kyai Wahab Chasbullah, Kyai Bisri Syamsuri dan beberapa Kyai lain, untuk membantu para santri melawan penjajah. Semangat para Kyai berkobar, setelah Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ary menggemakan Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945, sebagai bentuk perlawanan terhadap penjajah Belanda.
Kyai Amin Sepuh bersama beberapa santri, melakukan perjalanan darat dengan kereta api menuju Leteh, Rembang, Jawa Tengah. Bersama rombongan, Kyai Amin bertemu dengan Kyai Bisri Musthofa untuk menyusun strategi menuju Surabaya. Kyai Amin Sepuh merupakan salah satu Kyai yang ditunggu oleh Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ary, sebelum menetapkan tanggal pasti penyerbuan untuk mengobarkan perang terhadap pasukan NICA di Surabaya.
Ilmu yang dimiliki para Kyai digabung dengan keahlian bela diri, strategi perang dan semangat juang santri menjadi modal utama para santri melawan penjajah Belanda pada masa awal kemerdekaan tersebut. Sekembali dari pertempuran di Surabaya Kyai Amin Sepuh dan ribuan pasukannya memilih jalan untuk meninggalkan kenangan peran dan kembali ke pesantren.
sebuah langkah sama yang diambil oleh KH. Munsair Ali, KH. Yusuf Hasyim, dan KH. Baidowi. Sebagian besar bahkan memilih untuk menyingkir dari arena politik sama sekali, sehingga sejarah akhirnya menenggelamkan kiprah mereka yang sebenarnya luar biasa.