Baca juga: Pancasila Hasil Tirakat Hadratus Syekh KH Hasyim Asy'ari
Namun hal tersebut kembali tercium pihak penjajah, dan pada tahun 1751 para penjajah kembali menyerang Pesantren Kyai Jatira. Tetapi serangan itu sudah diketahui oleh Kyai Jatira. Sehingga sebelum para penjajah itu datang untuk melakukan penyerangan, terlebih dahulu Kyai Jatira membubarkan para santrinya. dan Kyai Jatira sendiri kembali ke desanya yaitu desa Kajen, untuk mengungsi sementara menunggu situasi aman.
Setibanya para penjajah di Padukuan Babakan didapatinya pesantren Kyai Jatira dalam keadaan kosong, karena ditinggalkan oleh para penghuninya. Dan akhirnya untuk yang kedua kalinya pesantren dibakar oleh penjajah. Dalam pengungsiannya, Kyai Jatira sakit. Beliau sempat berpesan kepada keponakan yang menjadi menantunya bernama Nawawi untuk datang ke Padukuan Babakan dan meneruskan perjuanganya. Kemudian sekitar tahun 1753 Ki Jatira wafat dan dikuburkan di tempat pengungsiannya di desa kelahirannya sendiri yaitu Desa Kajen.
Stagnasi kepemimpinan dalam pesantren terjadi ketika Kyai Jatira meniggal dunia, karena tidak ada kader yang dapat menggantikan Kyai Jatira di Pesantren Babakan. Hal tersebut mengakibatkan terputusnya kegiatan pesantren sampai sarana fisik pun tidak berbekas. Sampai kemudian KH.
Nawawi menantu dari Kyai Jatira membangun kembali Pondok Pesantren Babakan yang letaknya satu kilometer ke arah selatan dari tempat semula. Dalam mengasuh pesantren beliau dibantu oleh KH. Adzro’i. setelah itu pesantren dipegang oleh KH. Ismail putra KH. Adzro’i tahun 1225 H / 1800 M. Mulai tahun 1916 M pesantren diasuh oleh KH. Amin Sepuh bin KH. Irsyad yang masih merupakan ahlul bait, dari garis keturunan Sunan Gunung Djati.
Peran Kyai Amin Sepuh dalam pertempuran 10 November:
“Dan kita yakin saudara-saudara, pada akhirnya pastilah kemenangan akan jatuh ke tangan kita. Sebab, Allah selalu berada di pihak yang benar. Percayalah saudara-saudara, Tuhan akan melindungi kita sekalian. Allahu Akbar…! Allahu Akbar …! Allahu Akbar ...! Merdeka ..!” (Penggalan pidato berapi-api Bung Tomo dari berbagai sumber).
Penggalan pidato berapi-api Bung Tomo itu tak lepas dari pekik takbir dan kata merdeka, yang merupakan ciri khas pidatonya dalam membakar semangat kepahlawanan para pejuang Surabaya dalam pertempuran 10 November 1945.
Kalimat itu selalu digunakan dalam mengawali dan mengakhiri pidato. Bukan merdeka atau mati. Padahal dalam rentang waktu proklamasi 17 Agustus 1945 hingga Oktober 1945, pekik merdeka atau mati sudah tersosialisasi secara luas di seluruh tanah air.
Bung Tomo tampaknya cukup tahu kalau para pejuang yang terjun langusng dalam peristiwa itu adalah umat Islam. Dengan demikian, kalimat takbir yang dipekikan Bung Tomo tidak dilakukan dengan asal-asalan, tetapi melalui perhitungan psikologis yang cukup matang. Sebab penggunaan takbir saat berperang mempertahankan tanah air adalah panggilan perang suci, Jihad Fii Sabilillah.
Sedemikian dahsyat perlawanan umat Islam, sampai salah seorang komandan pasukan India, Zia-ul-Haq, terheran-heran menyaksikan para Kyai dan santri bertakbir sambil mengacungkan senjata. Sebagai muslim, hati Zia-ul-Haq terenyuh, dan dia pun menarik diri dari medan perang. Sikap tentara yang kemudian menjadi Presiden Pakistan ini tentu saja semakin menyulitkan pasukan Inggris menguasai Indonesia dari sisi Surabaya.