Rihlah Ilmiyyah KH. Amin Sepuh
Hal yang sangat menonjol dari sosok Amin kecil ini adalah semangat dalam menuntut ilmu, dibanding dengan anak seusianya pada masa itu. Dengan giat ia belajar ilmu dasar ilsam dari sang Ayah, Kyai Irsyad. Menurut beberapa sumber, Amin kecil bukan hanya belajar ilmu keislaman dari sang ayah, tetpai sang ayah pun mengajarkan ilmu bela diri, yang bisa disebut sebagai ilmu kenuragan.
Setelah dipandang cukup belajar dasar dasar ilmu Islam dari sang ayah, Amin kecil pun memulai perjalannya menuntut ilmu, sebagai santri kelana. Pertama ia mondok di pesantren Sukasari, Plered-Cirebon, dibawah asuhan Kyai Nasuha, Jiwa santri kelana amin mendorongnya untuk terus belajar, terbukti setelah pesantren di Sukasari. Beliau pindah ke pesantren di daerah Jatisari, Cirebon di bawah bimbingan Kyai Hasan.
Semangat Amin menggebu, setelah banyak belajar di wilayah Cirebon, beliau keluar untuk menuntut ilmu ke wilayah Jawa Tengah, Pesantren Kaliwungu, Kendal menjadi pilihannya. Berikutnya masuk dan belajar di pesantren Mangkang di daerah Semarang. Dan setelah itu menuntut ilmu di sebuah pesantren di daerah Tegal yang diasuh oleh Kyai Ubaidah.
Belum puas belajar di wilayah Jawa Barat dan Jawa Tengah, Amin bin Irsyad pun meneruskan berkelanan dalam menuntut ilmu, keluar lebih jauh lagi yaitu ke wilayah Jawa Timur. Disini beliau belajar di pesanntren yang sangat kondang yakni pesantren Bangkalan Madura, Beliau belajar kepada KH. Cholil, selain itu juga beliau pun belajar kepada KH. Hasyim Asy’ary (pendiri NU, yang pada saat itu masih menjadi tahassus atau Ustadz pada KH. Cholil).
Setelah belajar di Bangkalan, Amin kembali meneruskan kepada KH. Hasyim Asy’ari di Pesantren Tebuireng, Jombang. Hasrat untuk berkelana belum terpuaskan, maka setelah menimba ilmu di Pesantren Tebuireng, Amin bin Irsyad bertolak ke negeri Arab di Mekkah sempat mengaji kepada Kyai Mahfudh al-Tirmasi, asal Pacitan. Kyai Mahfudh merpakan seorang ulama nusantara yang sangat kesohor di Mekkah. Karena dianggap telah matang dalam penguasaan ilmu agama Islam, maka di kota Mekkah bukan hanya belajar, tapi diberi kepercayan untuk mengajar para santri mukim atau pelajar Indonesia yang tinggal di Mekkah.
Belajar dan mengabdi di Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon
Sepulang dari Mekkah, Amin bin Irsyad melaksanakan amanat ayahnya semasa masih hidup, yaitu untuk kembali belajar di Pesantren Babakan Ciwaringin, Cirebon. Di pesantren Babakan Amin Irsyad belajar kepada Kyai Ismail bin Nawawi yang juga masih keturunan Kyai Jatira (Pendiri Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon).
Karena Amin bin Irsyad tergolong santri yang pandai mengaji maka beliau dikenal dengan sebutan “santri pinter”. Dengan wawasan dan keilmuan yang dikuasai hasil dari belajar di berbagai pesantren, maka Amin bin Irsyad pun dipercaya menjadi takhasus atau mengabdi di pesantren ini dan dinikahkan dengan keponakan dari Kyai Ismail.
Seperti yang dituturkan oleh H. Fikri, salah seorang putra Amin bin Irsyad, Kyai Amin di karunia 22 anak, dengan 3 orang istri. Istri pertama bernama Hj. Aisyah dikarunia 8 anak, istri kedua bernama Nyai Aliyah dikarunia 8 anak dan istri ketiga bernama Hj. Sujinah dikarunia 6 anak.
Setelah Kyai Ismail wafat, tepatnya tahun 1916, maka pengasuh Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin dilanjutkan Kyai Amin bin Irysad, yang lebh dikenal dengan nama Kyai Amin Sepuh. Menurut beberapa sumber, yang menjadi alasan beliau diangkat menjadi penerus Pengasuh Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin adalah selain dari keilmuannya yang mempuni juga karena berasal dari tempat yang sama dengan luhurnya, Kyai Jatira dari Mijahan.