Hari Santri Nasional Momentum Membangkitkan Ruhul Jihad
Kata Santri jika ditulis dalam bahasa arab terdiri dari lima huruf (سنتري), yang setiap hurufnya memiliki kepanjangan serta pengertian yang luas. Sin (س) adalah kepanjangan dari سَافِقُ الخَيْرِ yang memiliki arti Pelopor kebaikan. Nun (ن) adalah kepanjangan dari نَاسِبُ العُلَمَاءِ yang memiliki arti Penerus Ulama. Ta (ت) adalah kepanjangan dari تَارِكُ الْمَعَاصِى yang memiliki arti Orang yang meninggalkan kemaksiatan. Ra(ر) adalah kepanjangan dari رِضَى اللهِ yang memiliki arti Ridho Allah. Ya (ي) adalah kepanjangan dari اَلْيَقِيْنُ yang memiliki arti Keyakinan. Tentunya masih banyak lagi pemaknaan kata santri dan itu tergantung perpektif masing-masing yang menjelaskan.
Berbicara tentang santri, tentunya tidak bisa dilepaskan dengan yang namanya pesantren. Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang sudah ada eksistensinya jauh sebelum republik ini berdiri. Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam pada umumnya terus menyelenggarakan pendidikan yang memiliki misi mengkader umat untuk menjadi tafaqquh fiddin dan memotivasi kader ulama dalam misi dan fungsinya sebagai warasat al-anbiya.
Tentu keutamaan tersebut diperuntukkan kepada para ulama yang selalu mengamalkan ilmunya, yang selalu membela kebenaran, yang selalu cinta kepada kebaikan dan yang gemar melakukan amr ma’ruf nahi munkar. Maka dalam sejarahnya, selain memiliki fungsi sebagai lembaga pendidikan yang mencetak kader Ulama, pesantren juga terkenal dengan peranannya dalam menyebarkan agama Islam dengan dakwah dan jihad.
Ketika Imperialisme dan Kolonialisme menjajah negeri ini, terbukti umat Islam sebagai mayoritas yang ada di negeri ini tidak tinggal diam. Bahkan dalam sejarahnya Ulama dan Santri selalu menjadi garda terdepan dalam memimpin pergerakan nasional untuk mengusir segala bentuk penjajahan yang ada di negeri ini.
Awwas (2015: 97) mencatat di zaman pergerakan pra kemerdekaan, peran pesantren juga sangat menonjol, lagi-lagi melalui alumninya. Hadji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto, pendiri gerakan Syarikat Islam dan guru pertama Soekarno di Surabaya, adalah juga alumnus pesantren, KH. Mas Mansyur, KH. Hasyim Asy’ari, KH. Ahmad Dahlan, Ki Bagus Hadikusumo, KH. Kahar Muzakkir, dan masih banyak lagi alumnus pesantren yang menjadi tokoh masyarakat yang sangat berpengaruh.
Setelah penjajahan Kolonial Belanda yang bercokol di negeri ini selama 350 tahun, tiba giliran pasukan Jepang yang ingin turut serta mengisap karunia ilahi di bumi pertiwi ini. Maka kalangan pesantren dengan kiai dan santrinya menjadi garda terdepan dalam melawan penjajahan Jepang.
Saat kebijakan-kebijakan yang tidak berperikemanusiaan dan diperparah lagi dengan adanya penyembahan terhadap sesama manusia melalui kewajiban seikeirei. Lagi-lagi kalangan pesantren memiliki peranan sebagai motor penggerak dalam melakukan perlawanan. Di beberapa tempat rakyat sudah berani melakukan sabotase dan perlawanan, termasuk sekian banyak perlawanan itu datang dari para santri Pondok Pesantren Sukamanah Tasikmalaya di bawah asuhan asy-Syahid KH. Zainal Musthafa.
Jika kita telusur sejarah lebih mendalam ke belakang, kita tidak perlu mempertanyakan kembali bagaimana peran pesantren dengan ulama dan santri dalam mengusir segala bentuk penjajahan. Ulama dan santri selalu menjadi garda terdepan dalam membela kebenaran dan menolak segala bentuk kezaliman.
Perjuangan ulama dan santri dalam melakukan perlawanan mengusir penjajah merupakan bukti yang nyata bahwa pesantren selalu pasti akan menolak segala bentuk kezaliman. Namun yang menjadi pertanyaan, dengan begitu besarnya jasa kalangan pesantren dalam memerdekakan negeri ini dari penjajah dan realita kehidupan saat ini yang penuh dengan problematika yang dialami oleh rakyat apakah bisa dipastikan penjajahan di negeri ini sudah selesai ?
Secara penjajahan fisik mungkin saja negeri ini sudah merdeka, namun secara ideologi tentu saja negeri ini belum merdeka. Kafir barat penjajah tetap berupaya melanggengkan dominasi mereka dalam menjajah negeri ini. Neoimperialisme dan Neoliberalisme mereka lancarakan untuk mengontrok politik pemerintahan dan menghisap sumber daya ekonomi berbagai negeri.
Neoimperialisme adalah penjajahan model baru yang ditempuh oleh negara-negara kapitalis untuk tetap menguasai dan menghisap negara lain. Dalam penjajahan model lama dikenal semangat gold (kepentingan penguasaan sumberdaya ekonomi), glory (kepentingan kekuasaan politik) dan gospel (kepentingan misi Kristiani) sedangkan Neoliberalisme adalah paham yang menghendaki pengurangan peran negara di bidang ekonomi.
Dijelaskan oleh anggota MPR, Ahmad Basarah, di depan peserta Training of Trainers 4 Pilar di lingkungan TNI dan Polri di Bandung, mengatakan bahwa bangsa ini secara ekonomi sudah dijajah oleh kapitalisme global. ia mengatakan bahwa tak hanya dalam soal kepemimpinan yang sudah terkontaminasi unsur kapitalisme namun saat ini juga ada sekitar 173 undang-undang yang berpihak pada asing dan tak sesuai dengan Pancasila (reportaseindonesia.com, 29/8/2015).
Sementara itu kekayaan alam negeri ini banyak dikuasai pihak asing. dibidang minyak dan gas (migas), misalnya, ada 60 kontraktor asing. mereka telah menguasai hampir 90% migas. Semua itu terjadi lantaran kebijakan liberalisasi di sektor tambang dan migas oleh pemerintah (inilahREVIEW, 05/II/10/2012).
Bahkan saat ini Indonesia sudah dikurung oleh 13 pangkalan militer Amerika Serikat, Indonesia sama juga “sudah terkurung” seperti Irak, oleh pangkalan-pangkalan AS yang berada di Christmas Island, Cocos Island, Darwin, Guam, Philippina, Malaysia, Singapore,Vietnam hingga kepulauan Andaman dan Nicobar beserta sejumlah tempat lainnya.” Connie Rahakundini Bakrie, pengamat Pertahanan dan Militer dari Universitas Indonesia. Jakarta (Garuda Militer 14/12/2012).
Berdasarkan problematikan yang ada, negeri ini harus segera di selamatkan dan ini tanggung jawab kita, apalagi kalangan pesantren. Maka dari itu, saat ini kalangan ulama dan santri sangat dinantikan kembali peranan nyai untuk menjadi garda terdepan dalam menyelamatkan negeri ini dari segala bentuk penjajahan.
Jauh sebelum merdeka, kaum muslim khususnya kalangan pesantren tak pernah berhenti mengobarkan perang jihad melawan penjajah. Pangeran Dipenogoro, Imam Bonjol, Tengku Cik Di Tiro, Teuku Umar, Cut Nyak Dien dll adalah diantara para pahlawan Islam yang ber-jihad fi sabilillah melawan kafir penjajah.
Setelah merdekapun, alumnus pesantren menjadi garda terdepan dalam berjihad, KH. Hasyim Asy’ari dalam resolusi jihad-nya (22 Oktober 1945) menyatakan bahwa membela Indonesia sebagai negeri muslim dari kaum penjajah adalah kewajiban syar’i.
Bahkan Bung Tomo ikut menggelorakan semangat jihad itu, dengan cara meneriakkan 'Allahu Akbar' dalam membuka dan menutup pidatonya. Resolusi ini lahir ketika Rais Akbar NU, Hasyim Asyari memanggil konsul NU se-Jawa dan Madura untuk rapat besar gedung itu pada 21 dan 22 Oktober 1945.
Berdasarkan sejarah Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945 yang dijadikan sebagai Hari Santri Nasional. Maka Hari Santri Nasional yang rutin dirayakan setiap tahunnya mesti dijadikan momentum penghayatan terhadap Ruhul Jihad kalangan ulama dan santri dahulu yang telah berjuang mengusir penjajah dan membebaskan negeri ini dari penjajahan.
Oleh karena itu, Hari Santri Nasional mesti dijadikan momentum dalam membangkitkan Ruhul Jihad kaum santri. Bukan malah sebaliknya, Hari Santri Nasional jangan sampai hanya menjadi rutinitas seremonial bahkan cenderung dimanfaatkan oleh oknum para politisi untuk melakukan pencitraan dan popularitas.
*) Wakil Rois Pondok Pesantren Mahasiswa Miftahul Khoir Bandung Periode 2014 - 2015
Oleh : Tatang Hidayat*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H