Mohon tunggu...
Tatang  Hidayat
Tatang Hidayat Mohon Tunggu... Dosen - Pegiat Student Rihlah Indonesia

Tatang Hidayat, bergiat di Student Rihlah Indonesia. Ia mulai menulis sejak SD, ketika masa SMK ia diamanahi menjadi pimpinan redaksi buletin yang ada di sekolahnya. Sejak masuk kuliah, ia mulai serius mendalami dunia tulis menulis. Beberapa tulisannya di muat diberbagai jurnal terakreditasi dan terindeks internasional, buku, media cetak maupun online. Ia telah menerbitkan buku solo, buku antologi dan bertindak sebagai editor buku dan Handling Editor Islamic Research: The International Journal of Islamic Civilization Studies. Selain menulis, ia aktif melakukan jelajah heritage ke daerah-daerah di Indonesia, saat ini ia telah mengunjungi sekurang-kurangnya 120 kab/kota di Indonesia. Di sisi lain, ia pun telah melakukan jelajah heritage ke Singapura, Malaysia dan Thailand. Penulis bisa di hubungi melalui E-mail tatangmushabhidayat31@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Sebuah Jejak Terukir di Bumi Singapura

20 April 2018   20:18 Diperbarui: 20 April 2018   21:29 923
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Selesai melaksanakan shalat Maghrib berjama'ah, kami-pun melanjutkan dengan mendirikan shalat jama' takdim Isya dengan qashar, dan kembali beberapa kawan menunjuk saya menjadi imam, padahal banyak dari mereka yang lebih fasih dalam membaca al-Quran. Sehabis shalat, sebagaimana biasa saya lakukan di beberapa masjid lainnya yang saya singgahi, saya selalu memanjatkan do'a dengan menyebut para pemuda yang terukir merdu dalam alunan sajadah cinta, semoga Allah SWT melahirkan para pemuda Islam yang akan berjuang dengan penuh kesadaran untuk melanjutkan kembali kehidupan Islam di setiap tempat yang saya singgahi, khususnya di setiap masjid yang saya singgahi tak terkecuali di masjid yang ada di Singapura.

Selanjutnya saya melihat setiap sudut yang ada di masjid tersebut, ternyata di sudut belakang masjid Sultan, ada sebuah pesan dakwah yang dibuat dengan elegan, mereka gunakan gambar-gambar menarik yang mudah di baca jama'ah dengan manampilkan beberapa ajaran Islam berupa rukun Iman, Islam dan akhlak. Kemudian saya sebentar mendengar kajian yang di sampaikan Ustadz di Masjid tersebut sebagai bentuk tabaruk terhadap majelis ilmu.

Saat tiba waktunya pulang, disepanjang perjalanan akhirnya saya merenung, mengapa negara yang kecil ini, yang sebenarnya tidak ada apa-apa jika dibandingkan baik dari segi wilayah ataupun kekayaan sumber daya alam dengan negeri saya. Namun mengapa negara Singapura bisa menjadi negara super power Asia ? Sedikit asumsi saya ternyata negara tersebut bisa menjadi negara supor power asia tidak terlepas dari sistem kehidupan mereka yang dijalankan dengan baik.

Yang sederhana saja, saya belum pernah melihat sampah sepanjang jalan di Singapura, karena saat membuang sampah sembarang saja otomatis akan terlihat oleh CCTV yang ada di setiap sudut negara tersebut, dan siap-siap tentunya kita harus membayar denda yang tidak murah. Begitupun dengan membuang ludah sembarang, bahkan  hanya sekedar mau menyebrang jalan pun kami harus berpikir dahulu, khawatirnya salah dalam melakukan penyebrangan dan akan dikenakan denda.

Begitupun dengan sepeda-sepeda yang ada disepanjang jalan bisa aman tanpa sedikitpun khawatir kehilangan. Bisa dibayangkan bagaimana sepeda tersebut jika ada di Indonesia ? jangankan sepeda, motor di depan rumah-pun bisa hilang.

Tidak terasa setelah seharian kami menelusuri sudut-sudut di negara Singapura, akhirnya kami harus kembali pulang dan tiba lagi di imigrasi, namun saat pulang dari Singapura, ternyata unutk pengecekan di imigrasi tidak lama sebagaimana memasukinya negara tersebut, kita cukup mengantri dan cek paspor. Akhirnya kami-pun bisa pergi meninggalkan Singapura, dan meninggalkan sebuah jejak yang terukir diatas bumi Singapura, terukir dalam tasbih lantunan do'a yang terukir merdu dalam sajadah cinta,  akan sebuah harapan semoga Allah SWT melahirkan pemuda Singapura yang akan berjuang dengan penuh kesadaran untuk melanjutkan kembali kehidupan Islam.  

Dari Singapura kami pun segera menuju Kuala Lumpur dalam rangka persiapan menghadiri international class, saat di perjalanan, waktu tersebut saya gunakan  untuk istirahat. Saat mata terpejam, tanpa terduga akhirnya kami sudah sampai di Kuala Lumpur tepat hari Rabu, 28 Maret 2018 pukul 03.00 pagi. Sisa waktu menuju matahari terbit, saya gunakan untuk istirahat.

Namun tidak lama dari sana, adzan Shubuh berkumandang, kami-pun harus segera bangun untuk mendirikan shalat Shubuh berjama'ah. Seperti biasa mereka menunjuk saya menjadi imam, padahal mereka lebih fasih dalam membaca al-Quran. Sempat beberapa kali sebenarnya saya menolak, tetapi akhirnya ada seorang yang langsung qomat sebagai cara politik untuk bisa jadi makmun.

Bagaimana kisah perjalanan ini saat berada di Kuala Lumpur dan menghadiri agenda International Class ? Nantikan Catatan Mengukir Sebuah Cita-Cita Dari Negeri Jiran dalam tulisan selanjutnya.

*) Mahasiswa Prodi Pendidikan Agama Islam Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun