Setelah dilaporkan BPS bahwa laju inflasi per Juli 2022 tembus 4,94% secara tahunan (yoy), kini ekonomi dihantui tekanan hyperinflasi yang akan terjadi mulai bulan September 2022 mendatang.
Inflasi Agustus 2022 diprediksi masih level mild meski lebih tinggi daripada Juli 2022. Inflasi Agustus 2022 diprediksi 5-6%.
Namun September 2022, laju inflasi Indonesia bisa berada dalam double digit (10-12%). Kondisi double digit inflasi pernah dicapai Indonesia terakhir 2008 yaitu 11,06%.
Kondisi hyperinflasi, inflasi tinggi mencapai double digit akan disumbang oleh komponen bahan makanan dan energi.
Kondisi Juli adalah Sinyal Munculnya Ekonomi Berbiaya Tinggi
Inflasi Juli 2022 (4,94%) ini merupakan yang tertinggi dalam 7 tahun terakhir dan disumbang terbesar dari komponen bahan makanan dan minuman sebesar 9,35%.
Bulan Juli 2022 kemarin, Indonesia tergagap-gagap menghadapi harga cabai merah, minyak goreng, bawang merah, dan rokok kretek.
BPS meramalkan inflasi secara tahunan di Indonesia mengalami peningkatan drastis sepanjang tahun 2022 yang akan jauh lebih tinggi dari tahun-tahun pandemi (2020-2021).
Inflasi dan Kemiskinan Berkorelasi Positif
Sejak pandemi, ekonom menemukan korelasi yang sangat kuat antara inflasi dan kemiskinan. Meski tercatat pada masa awal pemulihan ekonomi 2022 tingkat kemiskinan sedikit mengalami penurunan namun hal tersebut diprediksi tidak berkelanjutan.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, jumlah penduduk miskin pada bulan Maret 2022 sebanyak 26,16 juta orang atau turun 1,38 juta orang dari data Maret 2021 yang sebanyak 27,54 juta orang.
Tingkat kemiskinan tertinggi terjadi saat pandemi mengalami tingkat keparahan tertinggi yaitu September 2020 dengan jumlah orang miskin mencapai 27,55 juta orang, atau bertambah 2,77 juta orang dibandingkan posisi sebelum pandemi pada September 2019.
Namun saat inflasi Juli naik, kemiskinan akan semakin terasa kenaikannya dan dapat menyebabkan kondisi rentan bagi APBN tidak akan mampu meng-cover orang miskin apabila jumlahnya melebihi 35 juta orang.
Rekomendasi
Untuk menghadapi inflasi tinggi, Indonesia perlu melakukan 3 hal, di antaranya adalah memperkuat fiskal APBN, terutama menghimpun penerimaan negara yang tinggi dan sustainable.
Penerimaan tersebut untuk dana buffer manakala jumlah orang miskin meningkat drastis saat inflasi tinggi terjadi.
Bila penerimaan cukup kuat, negara bisa memberikan tambahan bansos agar daya beli kelompok miskin tidak tergerus drastis.
Langkah kedua adalah mengendalikan impor, khususnya sektor makanan dan sektor energi. Impor tidak membuat ekonomi berkelanjutan bahkan melalui impor harga makanan dan harga energi akan sangat mahal karena mengikuti harga dunia yang mengalami kenaikan tinggi akibat konflik Ukraina-Rusia dan krisis energi di Uni Eropa.
Langkah ketiga adalah memperkuat ketahanan pangan dan energi melalui pemanfaatan sumber daya lahan secara efektif.
Indonesia harus mendata jumlah lahan tak berguna dan mentrasformasikan menjadi lahan pangan yang produktif.
Langkah ini juga harus disertai efektifnya lembaga Badan Pangan Nasional yang memberikan data akurat terkait kondisi pangan Indonesia.
Khusus, ketahanan energi Indonesia perlu mempercepat program D100 biodiesel dan mempercepat konversi minyak nabati menjadi avtur, gasoline dan solar yang saat ini kita tergantung pada impor dari Singapura dan Timur Tengah untuk antisipasi manakala harga energi sudah tidak terbendung naik ke level 200 USD per barel.
END
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H