Mohon tunggu...
Achmad Nur Hidayat
Achmad Nur Hidayat Mohon Tunggu... Konsultan - Pakar Kebijakan Publik

Achmad Nur Hidayat (Born in Jakarta) previously earned Master Public Policy on Economic Policies from Lee Kuan Yew School of Public Policy National University of Singapore (NUS) and from Tsinghua University, Beijing China in 2009. He had an executive education from Harvard Kennedy School of Government, Boston-USA in 2012. He is currently assisting and providing recommendation for both the Supervisory Board of Central Bank of Indonesia and Government of Indonesia in the effort to increase sustainable economic growth, maintain the financial system stability and reinvent human resources capacities in line with technological disruption. He was Chairman of Student Boards (Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia) University of Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Ini Rahasianya Kenapa Sertifikasi ISPO Petani Sawit Banyak Hambatan

21 Oktober 2021   08:40 Diperbarui: 21 Oktober 2021   11:36 468
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Petani Sawit Lebih Sejahtera dan Lebih Terorganisir dengan Sertifikasi Sawit Berkelanjutan ISPO Namun Masih Banyak Hambatan.

Demikian Kesimpulan yang disampaikan pada Webinar Narasi Insitute yang berjudul Mendorong Sertifikasi Berkelanjutan bagi Petani Sawit: Tantangan dan Peluang pada Selasa (19/10) lalu.

Sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) dianggap penting khususnya bagi para petani kelapa sawit skala kecil. Ketua Serikat Petani Kelapa Sawit, Manselius Darto, mengungkapkan para petani kelapa sawit skala kecil biasanya terpencar.

Darto mengatakan adanya sertifikasi ISPO harusnya bisa membuat para petani tergabung dalam satu lembaga. Sehingga bisa membantu meningkatkan kinerjanya.

“Terkait dengan ISPO seperti ini juga bahwa para petani sawit di daerah skala kecil mereka berpencar-pencar. Salah satu poin dari sertifikasi baik ISPO atau RSPO itu adalah bagaimana para petani skala kecil itu harus bisa terorganisir dalam satu kelembagaan petani. Penting ada road map yang jelas. Kelembagaan petaninya juga harus dibuat secara rapi,” kata Darto saat webinar yang ditayangkan di Youtube Narasi Institute, Selasa (19/10).

Selain itu, Darto menganggap yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana ada kemitraan antara para petani kelapa sawit khususnya dengan korporasi. Kemitraan tersebut dirasa membuat petani kecil bisa lebih baik dalam mengolah perkebunan kelapa sawit.

Darto mengharapkan ada transformasi dalam pengelolaan kelapa sawit di Indonesia. Ia menegaskan perubahan tersebut harus berpihak ke para petani kecil.

“Penting untuk perbaikan di level pabrik, penting transformasi saat ini di mana petani menjual ke tengkulak rantai suplai terlalu panjang. Kemudian sistem ini perlu diubah agar ada kemitraan yang lebih baik dan di sini membutuhkan peran pihak perusahaan melakukan pemberdayaan bagi para petani sawit skala kecil di daerah,” ujar Darto.

Lebih lanjut, Darto belum bisa memastikan para petani kelapa sawit saat ini sudah sejahtera atau belum. Menurutnya ada beberapa aspek yang harus dipenuhi agar petani sawit bisa sejahtera seperti dengan luas lahan yang dimiliki.

“Kalau mau petani sejahtera itu tergantung beberapa aspek, luas lahan, harga TBS tak boleh di bawah 1200 per kilo, terus harus memiliki lahan pangan. Jumlah anak 2 tapi di lapangan anak lebih 2 dan masih menanggung nenek juga dengan luas lahan kurang, terus butuh kemitraan lebih adil,” tutur Darto.

Musdalifah Mahmud Deputi Bidang Pangan dan Agribisnis Kementerian Koordinator Perekonomian RI  menekankan pentingnya sertifikasi petani kecil untuk mendukung pengembangan kelapa sawit berkelanjutan di Indonesia. Kelapa sawit dianggap sebagai komoditas terpenting baik bagi perekonomian maupun kesejahteraan banyak petani kecil

"Data Kementerian RI mencatat bahwa kontribusi minyak sawit terhadap lapangan kerja nasional - menyerap lebih dari 16,2 juta pekerja - dan total ekspor, dengan total nilai ekspor tertinggi sekitar $ 20,38 miliar dolar per Agustus 2021 dengan total luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia telah mencapai 16,3 juta ha tersebar di 26 provinsi dan 217 kabupaten." Ujar Musdalifah Mahmud dalam Zoominari Kebijakan Publik Narasi Institute Selasa (19/10).

Musdalifah Mahmud mengingat bahwa kondisi geografis perkebunan kelapa sawit menyebabkan karakter petani kelapa sawit berbeda, yang menjadi tantangan utama penerapan ISPO.

"Terkait Petani sawit, banyak isu-isu mendesak mengenai perkebunan skema plasma termasuk produktivitas yang rendah karena rendahnya kualitas pupuk, kurangnya pengetahuan tentang praktik pertanian yang baik (GAP), organisasi yang buruk, dan kurangnya akses ke bantuan modal dan keuangan". Ujar Ibu Mus sapaan Musdalifah Mahmud.

Musdalifah Mahmud merekomendasikan petani segera mengadoptasi sertifikasi ISPO untuk mengatasi persoalan produktifitas karena dengan demikian peremajaan perkebunan skema plasma, penerapan praktik pertanian yang baik (GAP), dan perbaikan proses administrasi dan dokumentasi dapat dilakukan dengan mudah.

"Terdapat dua regulasi ISPO baru antara lain Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 10 Tahun 2020 tentang Organisasi dan Tata Kerja Panitia Pengarah ISPO dan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 38 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan ISPO dan pemerintah saat ini sedang memfinalisasi Permenperin tentang penerapan ISPO di sektor hilir untuk memastikan kelapa sawit berkelanjutan dari perkebunan hingga produk akhir. Semua itu untuk memberikan payung hukum dan prosedur yang lebih baik untuk masifikasi sertifikasi ISPO" Ujar Musdalifah.

Musdalifah menggarisbawahi bahwa program “Strengthening Palm Oil Sustainability in Indonesia” (SPOS) merupakan penggerak utama percepatan penerapan ISPO.

"Beberapa isu penting yang telah ditangani melalui ISPO baru dengan meningkatkan partisipasi, memperkuat akuntabilitas dan transparansi dalam komite ISPO dan lembaga sertifikasi. Sertifikasi ISPO merupakan komitmen kuat Indonesia terhadap minyak sawit berkelanjutan dan berfungsi sebagai alat/platform untuk membuktikan kampanye negatif yang salah tentang minyak sawit Indonesia di pasar domestik dan internasional, serta platform untuk mengikutsertakan petani kecil dan meningkatkan kualitasnya. melalui penerapan sertifikasi ISPO: Ujar Mus.

Diana Chalil, Peneliti dari Consortium Studies On Smallholder Palm Oil (CSSPO) dan dosen Universitas Sumatera Utara mengatakan penerapan sertifikasi tidak secara langsung meningkatkan aksi kolektif mengingat karakteristik petani kecil di Indonesia yang berbeda yang mempersulit pengorganisasian petani ke dalam satu manajemen.

Paparan Narsum Zoominari Kebijakan Publik
Paparan Narsum Zoominari Kebijakan Publik
"Banyak petani belum menjalani pelatihan yang memadai dan mengandalkan pelatihan informal dari teman dan keluarga sehingga produktivitas menjadi rendah dan harga jual rendah, ditambah lagi banyak kebun plasma tidak memiliki sertifikat tanah dan kekuatan finansial. Masalah lain ketergantungan petani kecil yang tinggi, yaitu sangat bergantung pada pemangku kepentingan dan pemain lain di sepanjang rantai pasokan". Ujar Diana Cholil dalam Webinar Narasi Insitute yang berjudul Mendorong Sertifikasi Berkelanjutan bagi Petani Sawit: Tantangan dan Peluang pada Selasa (19/10).

Diana Chalil menyatakan bahwa rekomendasi untuk mengatasi masalah dan membuat petani lebih baik diantaranya adalah peningkatan kapasitas manajerial dalam organisasi, peningkatan akses ke input produksi dan dukungan keuangan, kemitraan jangka panjang untuk mempertahankan GAP dan BMP yang baik, dan peningkatan keterampilan petani kecil dalam pengelolaan keuangan.

Diana Chalil menyarankan untuk mengatasi masalah deforestasi dan penerimaan pasar, perlunya memperjelas definisi dan kawasan hutan, meningkatkan skala pengelolaan, mendorong partisipasi pemangku kepentingan yang lebih tinggi untuk mengurangi biaya dan meningkatkan harga jual.

"Diperlukan usaha agar petani lebih baik diantaranya program untuk meningkatkan kapasitas manajerial dalam organisasi, meningkatkan akses ke input produksi dan dukungan keuangan, mendorong kemitraan jangka panjang untuk mempertahankan GAP dan BMP yang baik, dan meningkatkan keterampilan petani kecil dalam pengelolaan keuangan" Ujar Diana

Dedi Junaedi, Direktur Pengelolaan Perkebunan, Kementerian Pertanian menyatakan bahwa terdapat perkembangan sistem sertifikasi ISPO. Ia menyebutkan total lebih dari 730 sertifikasi telah diterbitkan, dan forum multistakeholder telah menghasilkan 28 program, 92 kegiatan, dan 118 penerbitan keputusan dan peraturan. Dedi menjelaskan ada upaya multipihak untuk mempercepat sertifikasi ISPO bagi petani kecil.

"Upaya percepatan sertifikasi ISPO bagi petani kecial diantaranya percepatan penerbitan Surat Tanda Daftar Budidaya (STDB) dan Hak Milik (SHM) bagi petani kecil, pemberian bantuan dana sertifikasi ISPO dari BPDPKS, peningkatan kapasitas petani melalui pelatihan sebelum audit ISPO, optimalisasi peran pekebun mandiri, percepatan proses pelepasan lahan kebun sawit milik petani yang berada di dalam kawasan hutan, mengoptimalkan peran mitra, CSO, pemerintah daerah (kabupaten dan provinsi) untuk mendukung sertifikasi ISPO terutama melalui alokasi anggaran dan pendampingan." Ujar Dedi Junaedi.

Mansuteus Darto, Presiden Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) mengatakan sertifikasi ISO sulit diterapkan karena petani rakyat karakteristiknya berbeda-beda.
"Ada empat jenis petani kecil di Indonesia; pekebun skema (yang bermitra dengan perusahaan perkebunan dalam program transmigrasi), pekebun mandiri, pekebun kombinasi dan pekebun mandiri dimana mereka adalah pekebun skema yang juga memiliki kebun swadaya, dan pekebun swadaya (dibantu oleh pemerintah, koperasi, dll. ). Mengingat keragaman petani, ada beberapa faktor yang berkontribusi pada kesejahteraan dan penghidupan petani, yang meliputi harga tandan buah segar (TBS), luas lahan/luas perkebunan, dan apakah petani mengadopsi kebijakan lintas komoditas yaitu, petani mengintegrasikan kelapa sawit dan tanaman pangan lainnya" Ujar darto

Darto menemukan mayoritas petani kecil memiliki lahan kurang dari 4 ha dan produktivitasnya rendah. Sebanyak 83% petani kecil dengan luas kurang dari 8 ha hanya memiliki akses ke tengkulak, yang menempatkan mereka pada posisi tawar yang kurang menguntungkan, mengingat harga jual yang rendah (30% lebih rendah). Selain itu, hanya 30% petani dengan luas lahan kurang dari 4 ha yang membudidayakan tanaman pangan, sehingga sebagian besar petani menggantungkan hidupnya pada perkebunan kelapa sawit. Darto mengusulkan agar petani dapat memiliki lahan 6-8 ha.

"Ada dua skenario dimana petani dapat memenuhi kebutuhan primer dan sekunder mereka (pendidikan anak). Skenario pertama adalah petani harus memiliki lahan 6-8 ha, produktivitas lebih tinggi misalnya produksi 14 ton/ha per tahun, dan harga TBS stabil di atas Rp 1.200/kg, dan memiliki keluarga dengan dua anak. Skenario kedua adalah petani dengan 3-5 ha lahan sawit, produktivitas lebih tinggi yaitu produksi 16 ton/ha per tahun, harga TBS di atas Rp 1.200/kg, dan memiliki lahan 1 ha untuk tanaman pangan." Ujar Darto

Khalil Hegarty, Pemantau Kelapa Sawit (Palm Oil Monitor) mengatakan ada perbedaan defisini petani kecil antara Indonesia dan Uni Eropa. Di Uni Eropa masalah petani kecil muncul dari RED II Delegated Act UE.

Sumber Kompas
Sumber Kompas
"Dalam RED II Delegated Act UE tersebut merevisi definisi petani kecil dengan cakupan yang lebih sempit, yang akan mengakibatkan tersingkirnya banyak petani kecil sehingga terdapat inkoherensi kebijakan dalam kebijakan perdagangan dan pembangunan UE, dan pembaruan peraturan deforestasi baru yang telah terjadi di berbagai negara. Ini termasuk proposal terbaru UE tentang pembatasan impor pertanian melalui peraturan deforestasi, RUU Kongres AS untuk mengurangi deforestasi, dan undang-undang baru Inggris tentang deforestasi ilegal". Ujar Khalil Hegarty dalam Webinar Narasi Insitute yang berjudul Mendorong Sertifikasi Berkelanjutan bagi Petani Sawit: Tantangan dan Peluang pada Selasa (19/10).

Khalil mengingkatkan bahwa perubahan UU di luar negeri tersebut berimplikasi lebih lanjut pada minyak sawit dan komoditas lain seperti kakao, karet, kayu, dan pulp, sehingga dalam perdagangan komoditas tersebut  pentingnya faktor treacablity (ketertelusuran) dan sertifikasi sebagai kunci untuk melanjutkan ekspor komoditas dari Indonesia ke pasar global.

"Tanpa informasi treacability dan sertifikasi, produk pertanian Indonesia tidak akan bisa masuk pasar Internasional." Ujar Khalil

Khalil juga menekankan pentingnya peran ISPO sebagai jalur dan langkah mitigasi dampak negatif yang ditimbulkan oleh undang-undang RED II tersebut. Dia menyarankan UE harus mempertimbangkan definisi petani kecil sebagaimana diatur dalam ISPO (<25ha), mengakui ISPO sebagai bagian dari solusi bagi petani kecil, akses ke rantai nilai global bagi petani kecil, dan dampak dari gangguan perdagangan.

Indonesia harus melakukan komunikasi yang jelas dengan pasar ekspor dan pemerintah perlu masif menjelaskan pentingnya sistem sertifikasi ISPO kepada petani kecil di Indonesia, dengan begitu implikasinya terhadap pasar minyak sawit dan komoditas ekspor Indonesia bisa menguasai pasar Eropa dan negara lainnya. Ujar Khalil.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun