Mohon tunggu...
Hidayat Tutupoho
Hidayat Tutupoho Mohon Tunggu... Freelancer - PENGANGGURAN BANYAK ACARA

Bola Gitar

Selanjutnya

Tutup

Roman Pilihan

Kembalikan Senyum yang Kau Pinjam dari Bibirku

30 Januari 2024   20:15 Diperbarui: 30 Januari 2024   20:18 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Wanita muda tampak gairah berbalas rindu. Kata sayang dan cinta terucap bertubi-tubi kepada sosok misterius di balik telepon seluler itu penuh ragu dan tegang. Wajarlah, kata itu baiknya disampaikan perlahan-lahan agar tiada seorang pun tahu.

Meski semua manusia akan merasa geloranya asmara akibat ditaksir dan dilirik oleh lawan jenis, rasanya agak aneh bila diketahui orang lain. Sifat dan porsinya hanya untuk dua insan semata. 

Percakapan berlangsung dramatis, puluhan pertanyaan diajukan sebagai pemanis kabar. Bukan hal tabu, lama tak jumpa membawa sengsara bagi kaula muda yang merasakannya.

Entah apa yang terjadi, pembicaraan memanas, suaranya meledak dan menutup panggilan. Lusinan amarah terpancar dari mata, wajah, dan tubuh yang gemetar. Tatapan yang kosong meniadakan keindahan beberapa menit lalu. Sekadar berbagi sapa, kuhampiri dia karena tak rela melihat kerapuhan berlarut-larut.

Suasana berubah seratus delapan puluh derajat. Sepertinya orang-orang paham keadaannya sedang tidak baik-baik saja. Semua mata tertuju padaku, seolah ada harapan besar dari mereka untuk menepis luka dan kegalauannya. Sempat ragu sih, tapi semoga bukan tipe manusia keras kepala yang menutup masalah pribadi.

"Ada apa, kenapa wajahmu pucat?" tanyaku.

Ia diam tanpa jawaban. Tampaknya sulit menerima orang asing. Tidak putus asa, sekali lagi bertanya menggunakan nada lembut, "Tadi kau asyik menelepon. Siapa yang bicara?"

"Kekasihku," jawabnya lugas namun wajah dipalingkan ke arah senja.

Ucapan itu membuatku kaget bukan kepalang. Bagaimana tidak, partner muda 'kan saling memanjakan satu sama lain. Justeru tambah kangen kalau lewat telepon. Ada-ada saja wanita ini. Tapi tak apalah, mungkin kali ini ceritanya lain. 

"Oh, dikabari kekasih kok wajahmu malah pucat, ada apa? Ayo, ceritakan. Sumpah, aku pendengar paling setia."

Ia terdiam membisu tanpa sepatah kata. Tandanya badai amat dahsyat tengah menimpanya. Menoleh pun tidak, wajah sedih hingga bercucuran air mata.

"Hubungan kami telah usai," tuturnya.

"Pembohong. Semua lelaki memang pembohong," teriaknya kencang.

"Ceritakan! Biar kutahu yang sebenarnya," pintaku sambil menyeka air mata di pipinya.

Tak ada untungnya membiarkan air mata jatuh terus-menerus bagi lelaki yang tega meninggalkan seseorang tanpa sebab dan alasan.

Tetapi apa mau dikata, bubur dan nasi memang beda tipis. Begitulah wanita, perasaan mendominasi segala bentuk tindakan dalam merespon masalah. 

"Tangisan ini tidak sanggup untuk mengembalikan semua senyum yang ia bawa lari, sejarah pertemuan kami dimulai saat berpapasan di kampus dan terpenjara pada satu senyum yang sama." 

Hubungan yang dibangun dengan kekuatan hati pecah tanpa ada satu pun kepingan. Wanita muda itu mati rasa dan sulit menerima kenyataan ditinggalkan. Malang sekali nasibnya.

Arloji berdenting terseok-seok. Kicau burung di ketuban sore menandakan pertemuan ini harus berakhir. Namun, baru akan pergi, dia menarikku dan jatuh pelukannya. Telingaku berada tepat di bibirnya.

"Apa kau tega membiarkan seorang wanita dalam kesendirian?" bisiknya. "Panggil saja aku, Gadis."

Ternyata, Gadis. Nama yang indah. Namanya adalah misteri bagi siapa saja. Mengetahui namanya seperti keberuntungan. Apa mungkin dewi fortuna sedang berpihak padaku hari ini. Kata orang, nama ialah identik dari perilaku seseorang. Dan memang nama itu mewakili keindahan dirinya.

Bukan niat tak ingin lebih dekat dengannya, merahasiakan nama bagiku adalah satu kebiasaan yang wajib dilestarikan. Sebab apa? Penasaran akan merajai pertemuan pertama dan rindu yang bertahta pada pertemuan kedua. Olehnya itu, tak memberitahukan nama ialah caraku untuk tetap penasaran dan rindu padanya. Semoga saja kami dapat berjumpa kedua kalinya, ya semoga saja.

Mendadak kami akrab, namun ada sedikit cemas kalau berduaan di tempat sunyi bersama perempuan menjelang malam, ya bukan apa sih, tapi memang bukan kebiasaanku.

"Gadis, kemana saja kau selama bersamanya?" tanyaku menuntaskan rasa ingin tahu yang sulit dibendung.

"Banyak tempat romantis sudah kami singgahi. Memandang gugusan lampu kota yang berbaris indah dari puncak, menyaksikan hamparan rumput yang diterpa angin pagi, dan menyeruput secangkir kopi pahit. Menjelajahi pasir putih, memotret liukan ombak, pesona karang, aneka ikan, dan menakar asin laut di pulau Kei," kenangnya.

Kami bertemu setahun yang lalu, dan besok adalah hari perayaan, tapi apalah daya, semuanya telah berakhir, dia meninggalkanku tepat satu hari sebelum waktunya. "Aku harus memulai dan menata kehidupan baru."

"Apa yang sudah kau korbankan padanya?" tanyaku, datar.

Dia pandai penutupi masalah dengan melempar senyum dan matanya yang melotot menyasar ke arahku, tiba-tiba wajahnya sedih lalu menangis sejadi-jadinya. Aku yang belum terbiasa ditempa kondisi serumit ini dibuat serba-salah, entah bagaimana cara menenangkannya, tanpa ragu dan pikir panjang kudekati telinganya lalu berbisik "Akan kukembalikan semua yang telah kau korbankan padanya!"

Setelah mendengar perkataan itu, dia duduk siap dan menatapku dalam-dalam. "Barusan itu, benar?"

"Kalau ragu masih menguasaimu, maka tinggalkan aku, aku ingin sendiri," timpalku.

"Baiklah, lelaki itu hanya mengambil senyumanku, maukah kau menggantikannya untuk mengembalikan senyumanku?"

"Sudah, lupakan saja senyummu,"

"Asal kau tahu, melupakan bukanlah perkara yang gampang bahkan pura-pura hilang ingatan sekali pun tak akan mengembalikan senyum itu. Sudah kucoba, tapi tetap saja susah," sahutnya kesal.

"Iya, akan kugantikan semua senyum yang ia bawa lari." jawabku.

Perempuan muda itu antusias mendengar kata-kataku. Semacam tak percaya, dia gemetar dan suhu tubuhnya bagai diserang virus mematikan. Lagi-lagi aku bingung dan tak mampu bicara. Pada akhirnya, kondisinya membaik dan melempar senyum manja tepat ke arahku. Hening seketika, dan mata kami saling berpandangan.

Paduan suara jangkrik terdengar di kejauhan menandakan malam semakin malam. Aku bergegas pergi, belum lama berjalan, ada teriakan "Kembalikan senyum yang kau pinjam dari bibirku," Pintanya.

"Haaaaa, senyum yang mana? Oh, mungkin yang tadi," gemuruh percakapan di hatiku.

Karena aku bukanlah lelaki pengecut, maka aku kembali dan meminta handphone-nya, memilih aplikasi kamera, masuk dan kecreeek, kupotret diriku yang tersenyum manis dan benar-benar berlalu meninggalkannya.

Beberapa hari berikutnya, secara tak sengaja kami bertemu di bawah pohon rindang yang biasa dibanjiri anak-anak selepas menerima mata kuliah. Awalnya, kami biasa-biasa saja, masing-masing menerjang canda dan tawa bersama teman-teman. Tak berselang lama, dia berjalan lekas memburuku, aku dilanda rasa panik berlebihan, entah apa yang akan dia lakukan.

Dia datang meminta izin ingin mengajakku pergi. Ternyata, dugaanku benar, kepergianku kemarin masih membekas di ingatannya. Kami melangkah dengan santai menuju taman kampus, dan sesampainya di sana, dia menyesal atas tingkahnya pada malam itu.

"Maaf ya, waktu itu suasana batinku sedang goyah. Maklumlah, perempuan mana yang bisa tabah melepas kepergian kekasihnya?"

"Santai, aku paham betul keadaanmu. Bagaimana perasaanmu sekarang?" tanyaku memotong rasa bersalahnya. "Oh, tentu saja baik, dong." serunya.

Keasikan menambal tanya, lusin-lusin menit terlewati tapi cerita kami masih berlanjut. Hingga matahari hampir menepi, barulah saling tukar nomor telepon.

Sebelum berpisah, dia berkata "Semoga di chat WA, kau sudi memberi senyum padaku. Yakinlah, takkan kupinjam senyummu." dia kembali tanpa membawa senyum yang telah kupinjam dari bibirnya.

Ambon, 2021

ABANG_P

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Roman Selengkapnya
Lihat Roman Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun