Mendadak kami akrab, namun ada sedikit cemas kalau berduaan di tempat sunyi bersama perempuan menjelang malam, ya bukan apa sih, tapi memang bukan kebiasaanku.
"Gadis, kemana saja kau selama bersamanya?" tanyaku menuntaskan rasa ingin tahu yang sulit dibendung.
"Banyak tempat romantis sudah kami singgahi. Memandang gugusan lampu kota yang berbaris indah dari puncak, menyaksikan hamparan rumput yang diterpa angin pagi, dan menyeruput secangkir kopi pahit. Menjelajahi pasir putih, memotret liukan ombak, pesona karang, aneka ikan, dan menakar asin laut di pulau Kei," kenangnya.
Kami bertemu setahun yang lalu, dan besok adalah hari perayaan, tapi apalah daya, semuanya telah berakhir, dia meninggalkanku tepat satu hari sebelum waktunya. "Aku harus memulai dan menata kehidupan baru."
"Apa yang sudah kau korbankan padanya?" tanyaku, datar.
Dia pandai penutupi masalah dengan melempar senyum dan matanya yang melotot menyasar ke arahku, tiba-tiba wajahnya sedih lalu menangis sejadi-jadinya. Aku yang belum terbiasa ditempa kondisi serumit ini dibuat serba-salah, entah bagaimana cara menenangkannya, tanpa ragu dan pikir panjang kudekati telinganya lalu berbisik "Akan kukembalikan semua yang telah kau korbankan padanya!"
Setelah mendengar perkataan itu, dia duduk siap dan menatapku dalam-dalam. "Barusan itu, benar?"
"Kalau ragu masih menguasaimu, maka tinggalkan aku, aku ingin sendiri," timpalku.
"Baiklah, lelaki itu hanya mengambil senyumanku, maukah kau menggantikannya untuk mengembalikan senyumanku?"
"Sudah, lupakan saja senyummu,"
"Asal kau tahu, melupakan bukanlah perkara yang gampang bahkan pura-pura hilang ingatan sekali pun tak akan mengembalikan senyum itu. Sudah kucoba, tapi tetap saja susah," sahutnya kesal.