"Hubungan kami telah usai," tuturnya.
"Pembohong. Semua lelaki memang pembohong," teriaknya kencang.
"Ceritakan! Biar kutahu yang sebenarnya," pintaku sambil menyeka air mata di pipinya.
Tak ada untungnya membiarkan air mata jatuh terus-menerus bagi lelaki yang tega meninggalkan seseorang tanpa sebab dan alasan.
Tetapi apa mau dikata, bubur dan nasi memang beda tipis. Begitulah wanita, perasaan mendominasi segala bentuk tindakan dalam merespon masalah.Â
"Tangisan ini tidak sanggup untuk mengembalikan semua senyum yang ia bawa lari, sejarah pertemuan kami dimulai saat berpapasan di kampus dan terpenjara pada satu senyum yang sama."Â
Hubungan yang dibangun dengan kekuatan hati pecah tanpa ada satu pun kepingan. Wanita muda itu mati rasa dan sulit menerima kenyataan ditinggalkan. Malang sekali nasibnya.
Arloji berdenting terseok-seok. Kicau burung di ketuban sore menandakan pertemuan ini harus berakhir. Namun, baru akan pergi, dia menarikku dan jatuh pelukannya. Telingaku berada tepat di bibirnya.
"Apa kau tega membiarkan seorang wanita dalam kesendirian?" bisiknya. "Panggil saja aku, Gadis."
Ternyata, Gadis. Nama yang indah. Namanya adalah misteri bagi siapa saja. Mengetahui namanya seperti keberuntungan. Apa mungkin dewi fortuna sedang berpihak padaku hari ini. Kata orang, nama ialah identik dari perilaku seseorang. Dan memang nama itu mewakili keindahan dirinya.
Bukan niat tak ingin lebih dekat dengannya, merahasiakan nama bagiku adalah satu kebiasaan yang wajib dilestarikan. Sebab apa? Penasaran akan merajai pertemuan pertama dan rindu yang bertahta pada pertemuan kedua. Olehnya itu, tak memberitahukan nama ialah caraku untuk tetap penasaran dan rindu padanya. Semoga saja kami dapat berjumpa kedua kalinya, ya semoga saja.