Wanita muda tampak gairah berbalas rindu. Kata sayang dan cinta terucap bertubi-tubi kepada sosok misterius di balik telepon seluler itu penuh ragu dan tegang. Wajarlah, kata itu baiknya disampaikan perlahan-lahan agar tiada seorang pun tahu.
Meski semua manusia akan merasa geloranya asmara akibat ditaksir dan dilirik oleh lawan jenis, rasanya agak aneh bila diketahui orang lain. Sifat dan porsinya hanya untuk dua insan semata.Â
Percakapan berlangsung dramatis, puluhan pertanyaan diajukan sebagai pemanis kabar. Bukan hal tabu, lama tak jumpa membawa sengsara bagi kaula muda yang merasakannya.
Entah apa yang terjadi, pembicaraan memanas, suaranya meledak dan menutup panggilan. Lusinan amarah terpancar dari mata, wajah, dan tubuh yang gemetar. Tatapan yang kosong meniadakan keindahan beberapa menit lalu. Sekadar berbagi sapa, kuhampiri dia karena tak rela melihat kerapuhan berlarut-larut.
Suasana berubah seratus delapan puluh derajat. Sepertinya orang-orang paham keadaannya sedang tidak baik-baik saja. Semua mata tertuju padaku, seolah ada harapan besar dari mereka untuk menepis luka dan kegalauannya. Sempat ragu sih, tapi semoga bukan tipe manusia keras kepala yang menutup masalah pribadi.
"Ada apa, kenapa wajahmu pucat?" tanyaku.
Ia diam tanpa jawaban. Tampaknya sulit menerima orang asing. Tidak putus asa, sekali lagi bertanya menggunakan nada lembut, "Tadi kau asyik menelepon. Siapa yang bicara?"
"Kekasihku," jawabnya lugas namun wajah dipalingkan ke arah senja.
Ucapan itu membuatku kaget bukan kepalang. Bagaimana tidak, partner muda 'kan saling memanjakan satu sama lain. Justeru tambah kangen kalau lewat telepon. Ada-ada saja wanita ini. Tapi tak apalah, mungkin kali ini ceritanya lain.Â
"Oh, dikabari kekasih kok wajahmu malah pucat, ada apa? Ayo, ceritakan. Sumpah, aku pendengar paling setia."
Ia terdiam membisu tanpa sepatah kata. Tandanya badai amat dahsyat tengah menimpanya. Menoleh pun tidak, wajah sedih hingga bercucuran air mata.