Jawaban lugas yang diucapkan tanpa beban itu hampir mengendorkan semangat. Tak sanggup rasanya apabila diketahui mantan kekasihnya di rumah. Untung saja bayarannya setimpal, yakni surga.
Masih berpikir, kalau-kalau Jubaeda menolak, apa hendak dikata, beginikah nasib sebagai manusia---bak nasi menjadi bubur. Ia pun pamit dan berlalu.
Sesampai di rumah, Jubaeda yang menabung rasa penasaran dari semalam mengungkit lagi percakapan tak berujung layaknya misteri. "Eh Abang, pertanyaan semalam belum dijawab. Gimana, sudah ada jawabannya,"
"Tunggu, biarkan dulu saya duduk. Pasti akan terjawab," pungkasnya sembari mendengarkan Jubaeda yang masih meracau.
Segala cara dibuat sebagai pengulur dengan harapan tuntutan terlupakan. Sampai-sampai dirinya menanyakan keadaan dapur keluarga. Namun percuma, sungguh tidak menarik untuk dibahas. Enggan direspon, Jubaeda ngotot menagih jawaban, "Usahlah mengalihkan pembahasan. Cepat jawab," tegasnya.
"Tiap orang tanggung biaya sendiri. Terus perjalanan selama tiga/empat hari," timpalnya. Lantas wajah Jubaeda berubah seumpama banteng yang terlepas dari jeruji The Maestranza---tempat paling sakral di Spanyol.
Melawan rasa bersalah, sekaligus antisipasi keluarnya sejuta sumpah serapah dari bibir sang istri, Malik mengaku siap bergabung semata-mata mencari surga Tuhan.
"Enak saja. Apa kau bilang? Hanya mencari surga Tuhan. Untuk makan keluarga saja susah, malah sok-sokan," ketus Jubaeda.
Meski menikam dan menyakitkan, Malik kekeh terhadap pendiriannya. Hari-hari berlangsung bisu, tiada omongan penghias yang terdengar sebagaimana intimnya rumah tangga. Mereka khusyuk menimbun kesibukan masing-masing. Malik pulang ke rumah hanya dua hari dalam sepekan, sekadar mencuci dan menjemur pakaian, setelah itu pergi. Saking rutin berdakwah, nafkah lahir batin pun tidak pernah lagi dipenuhi.
Ya Jubaeda terpaksa banting tulang demi menghidupi anak-anak, mulai dari membuka lahan pertanian kecil di samping rumah hingga kerja serabutan asalkan halal.
Terhitung enam bulan sudah. Waktu berputar sangat laju. Tiba di suatu siang, Malik pulang. Tak berselang lama, keluar lagi membawa setumpuk pakaian. "Kali ini, perjalanan 40 hari. Jangan khawatir, semua akan baik-baik saja,"