Langit tampak haru biru. Tajamnya matahari mengungkap cara amat rahasia melembutkan kebencian. Sosok tanpa sayap tekun menapaki terjalnya doa dan harap mendulang sepetak surga. Apalah daya...
Tak ada kalimat penenang yang manjur dipakai sebagai penakluk kebencian wanita masa kini. Meski berlusin syair terucap atas nama maaf, sekali amarah membatin, lepas pula kuasa Tuhan.
Untuk itu, segudang lelaki pernah terjungkal menerima kenyataan pahit, alias pasrah. Kondisi itu kini dirasakan Malik. Usia pernikahan belum jua sepuh. Namun obsesi untuk menuntun anak istri ke surga mengakar di kepala. Entah apa dan bagaimanapun cara akan dijalani.
Waktu bergulir serius. Ujian kerap menyapa dan menguji ruang yang diberi nama---kesabaran. Hingga tiba di suatu siang (medio 2023), Malik mendapati kelompok kajian memperdalam ilmu agama. Bukan sebatas itu, mereka bakal terjun langsung ke pemukiman warga yang jauh dari kerumitan kota.
Keuletan kelompok yang mengedepankan nilai spiritual untuk mengarungi bengisnya hidup itu membuatnya terpikat. Tentu baginya---akhirat menjadi tempat pulang paling romantis.
Hanya saja, kelompok itu senantiasa berdakwah ke pelosok yang membutuhkan pengetahuan lebih (soal agama). Resikonya, banyak waktu akan terbuang di luar rumah. Jika nekat gabung, taruhannya nafkah anak istri. Pilih mana, orang lain atau keluarga?
Kebimbangan bergejolak di hatinya. Gundah gulana merongrong pikiran. Niat ingin segera bercerita kepada istrinya---Jubaeda. Tapi sungguh tak sampai hati.
Sekali momen, Malik bertemu dan memandang kenyamanan di bola mata Jubaeda. "Ada apa? Akhir-akhir ini kok banyak merenung," ucapnya dalam-dalam.
Sepuluh hari yang gulita membelah waktu. Niat merapal keresahan-keresahan kian menggunung. Tiada alasan, keinginan ini harus diluapkan. Betapa terheran-heran, untuk sebuah kejujuran haruskah serapuh ini. Kondisi yang ditunggu pun datang. Kala itu, mereka berjumpa di ranjang, sebelum benar-benar tertidur, Malik membuka percakapan. "Sayang, ada tawaran bergabung di jamaah. Tujuannya dakwah ke pelosok desa,"
"Ya boleh. Tapi sabar, uang jalan ditanggung siapa? Lalu, sekali pergi berapa lama?" cetus Jubaeda merawat penasaran. Malik tak berani membuka mulut. Soalnya hal-hal demikian itu belum ditanyakan.
Hening malam mengantar sepasang manusia itu menuju pulas hingga pagi menyingsing, jawaban yang dinantikan tidak terucap. Sehari berikutnya, mencari jawaban (istrinya) kepada sang nakhoda kelompok. Ternyata, masing-masing tanggung biaya dan sekira tiga/empat hari di perjalanan.