Mohon tunggu...
Mohamad Hidayat Muhtar
Mohamad Hidayat Muhtar Mohon Tunggu... Dosen - MENULIS ADALAH CANDU BAGI SAYA

"MENULIS ADALAH BEKERJA UNTUK KEABADIAN" PRAMOEDYA ANANTA TOER

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Kemana Hukum Kita Harus Berlabuh? (Suatu Tinjaun Kritis Penegakan Hukum di Indonesia)

4 April 2019   18:56 Diperbarui: 5 April 2019   02:44 739
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Penegakan hukum merupakan pembahasan menarik yang selalu membuat fantasi sintesa kita melayang jauh untuk sekedar bermimpi dan berkhayal tentang hukum yang adil dan bermartabat dimana sejak dahulu pembahasan mengenai penegakan hukum selalu saja menjadi isu yang tak lekang oleh zaman dan tak lapuk oleh hujan. Demikianlah hukum selalu menarik untuk dibahas melampaui ilmu-ilmu kebumian bahkan antariksa. 

Penegakan hukum di Indonesia pada prinsipnya telah mengalami perkembangan yang cukup pesat setelah era reformasi 1998 dimana telah terjadi reformasi hukum dihampir semua bidang. Lahirnya UU Tipikor, UU Perlindungan Konsumen, Lahirnya Mahkamah Konstitusi, Pembaharuan hukum bidang Terorisme, Narkoba dan masih banyak lagi menandakan bahwa hukum Indonesia telah mengalami kemajuan yang cukup pesat ketika itu. Akan tetapi penegakan hukum kontemporer Indonesia telah mengalami degradasi yang cukup akut sehingga perlu adanya pembaharuan dalam bidang penegakan hukum di Indoneesia.

Secara umum problematika penegakan hukum di Indonesia meliputi beberapa hal:[1]

  1. Problem pembuatan peraturan perundang-undangan.
  2. Masyarakat pencari kemenangan bukan keadilan.
  3. Uang mewarnai penegakan hukum.
  4. Penegakan hukum sebagai komoditas politik, penegakan hukum yang diskriminatif dan ewuh pekewuh.
  5. Lemahnya sumberdaya manusia
  6. Advokat tahu hukum versus advokat tahu koneksi.
  7. Keterbatasan anggaran.
  8. Penegakan hukum yang dipicu oleh media masa

Problematika diatas dapat dikatakan "Mengerikan" jika tidak segera ditemukan solusi  atau srategi dalam mengatasi problem tersebut dapat dibayangkan bagaimana hukum yang dikatakan oleh orang awam sebagai perisai pelindung menjadi tidak berarti dengan problematika hukum yang ada. Dalam hal ini Penulis berpendapat sebagai berikut:

1. Problem pembuatan peraturan perundang-undangan.

Masalah ini didasari atas pembuataan UU kita yang masih sangat lekat dengan ego kepentingan partai politik. Dimana Legislatif sebagai perwakilan rakyat hanya secara tekstual akan tetapi dalam prakteknya legislative masih mengutamakan subjektivitas kepentingan hal ini dapat terlihat dari beberapa UU yang pernah di keluarkan misalnya: UU MD3 dimana UU ini menjadikan DPR menjadi begitu berkuasa bahkan dapat mempergunakan alat negara untuk melakukan tindakan memaksa dan secara implisit mereduksi kebebasan berbicara.

2. Masyarakat pencari kemenangan bukan keadilan.

Hal ini menjadi problem sosial yang harus segera diselesaikan dimana cara berfikir demikian membuat masyarakat menggap pengadilan sebagai arena pertarungan dimana ada yang kalah dan yang menang walaupun secara empiris demikian. Akan tetapi cara berfikir demikian akan berbahaya karena nantinya mengakibatkan permasalahan hanya dianggap selesai di pengadilan akan tetapi diluar pengadilan permasalahan itu tetap menjadi bom waktu yang siap meledak.

3. Uang mewarnai penegakan hukum 

Hal ini bukan lagi menjadi sebuah rahasia permainan uang ini telah menjadi candu yang mengurita di biidang hukum baik dari Institusi hukum tertinggi sampai paling bawah contohnya kasus Akil Mochtar, Fredrich Yunadi, OC Kaligis, Dll belum lagi di tingkat paling rendah hal ini telah menjadi fenomena gunung ES yang nampak hanya permukaan saja akan tetapi diwarung kopi pembahasan demikian begitu menarik bahkan dibangga-banggakan oleh mereka yang melakukan bahkan ada satu istilah yang menarik yang digunakan yaitu" Sistem beracara dikampus tidak sama dengan sistem beracara diluar kampus", mengapa dikatakan demikian? Karena ada permainan Asal Bapak Senang (ABS) didalamnya.

4. Penegakan hukum sebagai komoditas politik

Lebih tepatnya dikatakan sebagai daya tawar politik kita ketahui bersama satu -satunya lembaga yang berwenang dalam mebuat UU adalah DPR. Penegakan hukum dijadikan komoditas politik artinya bahwa penegakan hukum itu harus sesuai dengan keinginan DPR bahkan harus dapat melindungi DPR kita masih teringat bagaimana DPR yang berusaha untuk merevisi UU Tipikor yang dianggap sangat mengangu konstalasi Politik diarena Dewan walaupun dikatakan hal ini sebagai bagian dari supermasi hukum agar nantinya KPK tidak melampui alat penegak hukum lainya akan tetapi hal ini hanya sebagai ungkapan bersayap yang mempunyai maksud utama untuk memperlemah penegakan hukum (Korupsi) di Indonesia.

5. Lemahnya sumberdaya manusia

Lemahnya SDM bidang hukum berakibat dengan penanganan permasalahan hukum. Masih segar diingatan tentang kasus sandal jepit yang sampai pada proses peradilan. Padahal, nilai barang bukti yang menjadi persoalan tidak seberapa, di samping terdakwanya masih di bawah umur atau anak-anak. Walaupun memang ini merupakan tindak pidana akan tetapi Jika pendekatan impersonal dikedepankan, masalah ini dapat diselesaikan di luar prosedur hukum karena masih tergolong anak-anak.

6. Advokat tahu hukum versus advokat tahu koneksi.

Seperti telah disinggung sebelumnya tentang" Sistem beracara dikampus tidak sama dengan sistem beracara diluar kampus" hal ini menjadi latar belakang advokat yang hanya mempergunakan koneksinya daripada keilmuanya dalam membantu para pencari keadilan beberapa contoh kasus telah dijelaskan sebelumnya misalnya OC Kaligis yang memberikan suap atau Fredrich Yunadi memanfaatkan temanya sendiri dengan membuat laporan kedokteran palsu yang menghalangi proses hukum setya novanto.

7. Keterbatasan anggaran.

Anggaran merupakan salah satu factor utama dalam penegakan supermasi hukum. Sebaik-baiknya hukum jika tidak didukung dengan anggaran yang baik pastinya tidak akan berjalan dengan lancar. Salah satu contonhya adalah Dari sisi satuan besaran anggaran untuk tiap perkara juga sangatlah minim. Anggaran Kejaksaan saat ini dialokasikan hanya sebesar 3 juta rupiah, dan 6 juta rupiah untuk Kejari yang tidak satu wilayah dengan Pengadilan Negeri (PN). Anggaran berkisar 3 dan 6 juta rupiah disama ratakan untuk seluruh wilayah Kejari tanpa ada pembedaan jenis. Kejaksaan tidak bisa menyamaratakan penanganan perkara terhadap semua jenis kasus. Karena pembuktian untuk kasus pencopetan biasa akan sangat berbeda dengan pembuktian terhadap perkara-perkara seperti illegal logging, illegal fishing, terorisme, dll.[2] 

8. Penegakan hukum yang dipicu oleh media masa

Hal ini menjadi hal yang biasa dalam dunia penegakan hukum saat ini dimana kecenderungan apparat hukum untuk mendahulukan suatu perkara yang menjadi isu nasional yang banyak diberitakan di media masa. Salah satu kasus yang menggelitik adalah kasus bank Century dimana kasus ini pernah hangat dan heboh pada masa pemeritaahan Susilo Bambang Yudhyono (SBY) akan tetapi penanganan kasus ini ikut menghilang ketika tidak lagi menjadi berita utama dimedia masa dan lucunya kasus ini kembali ditangani karena masifnya media masa memberitakan mantan Wakil presiden Indonesia Boediono terlibat dalam kasus ini akan tetapi siklus lupa itu terjadi lagi dimana kasus ini tidak tentu arah dan rimbanya ketika tidak diberitakan oleh media masa.

Mencekam itulah yang kata yang harus dikatakan bukan hanya ketika kita menonton film horror akan tetapi dalam penegakan hukum di Indonesia. Penulispun ketika membaca kembali 8 faktor diatas merasa bahwa permasalahan ini telah mendarah daging oleh karena itu butuh upaya yang luar biasa dalam mereduksi promblematika penegakan hukum di Indonesia. Berdasarkan hal itu dengan segenap kerendahan hati penulis ingin memberikan beberapa rekomendasi antara lain:

1. Adanya pembaharuan mekanisme dalam pembuataan peraturan perundang-undangan di Indonesia.

Jika kita berkaca dalam proses pembuataan UU di belanda Sebuah rancangan undang-undang haruslah terlebih dahulu dipertimbangkan oleh Raad van Staten sebelum dapat dibahas. Raad van Staten adalah sebuah lembaga negara yang bertugas untuk memberikan pertimbangan semacam Dewan Pertimbangan Agung. Pemerintah Belanda mengirimkan rancangan undang-undang yang hendak diajukannya kepada Staten General, Perubahan undang-undang juga harus berdasarkan pertimbangan dari Staten General[3]. 

Hal ini tertulis dalam Konstitusi Belanda Pasal 73 ayat (1) yang menyebutkan jika sebuah rancangan undang-undang akan disahkan, terlebih dahulu dikonsultasikan kepada Staten General atau divisi dari Staten General.  Hal ini pada prinsipnya dapat diterapkan di indonesia sebagai tindakan preventif dari subjektifitas legislatif walaupun memang Dewan Pertimbangan Agung pernah ada di Indonesia akan tetapi itu hanya sekedar pemberi pertimbangan terhadap presiden. Oleh karena itu sudah saatnya mekanisme pembuataan UU dapat diubah seperti halnya dibelanda dengan beberapa penyusuain dengan tata hukum di Indonesia agar dalam prosenya punya perimbangan subjektifitas legislatif.

2. Adanya Pengaturan kembali tentang Profesi Advokat.

Artinya advokat sebagai salah satu elemen penting dalam penegakan hukum di Indonesia akan tetapi yang menjadi permasalahan adalah pendidikan advokat sendiri yang msih menjadi sebuah problem karena hanya dijalankan oleh suatu organisasi.Jika kita melihat Amerika Serikat, Penyelenggaraan Pendidikan Advokat dilaksanakan oleh sekolah hukum/perguruan tinggi. Sekolah hukum tersebut hanya melaksanakan, sedangkan dari kurikulumnya hingga ujian kompetensinya ditentukan dan dilaksanakan oleh Organisasi Advokat yang dalam hal ini adalah American Bar Association (ABA). ABA menentukan standar kurikum terhadap sekolah hukum yang menyelanggarakan pendidikan profesi advokat atau dikenal dengan Standart for Approval of Law School. Lebih lanjut lagi dalam seorang calon Advokat harus melalui ujian BAR di masing-masing yurisdiksi. ABA menerbitkan Comprehensive Guide to BAR Admission Requirements sebagai panduan mengenai persyaratan untuk memasuki Bar.[4] Pendidikan profesi Advokat di Indonesia seharusnya bukan dalam bentuk Pendidikan Khusus Profesi Advokat. 

Pendidikan Profesi Advokat sejatinya merupakan bentuk pendidikan profesi. Akan tetapi mengacu pada Peraturan Presiden No. 8 Tahun 2012 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia dan Permenristek Dikti No. 44 Tahun 2015 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi. Sehingga Advokat yang dihasilkan kompetensi profesi advokat bisa tetap terjaga dan menghasilkan Advokat yang kompeten dalam bidangnya.

3. Adanya Upaya Pemberdayaan Lembaga Peradilan dan Lembaga Penegak Hukum Lainnya

Pemberdayaan peradilan dan lembaga penegak hukum bertujuan untuk meningkatkan kembali kepercayaan masyarakat terhadap peran dan citra lembaga peradilan serta lembaga penegak hukum seperti; Pengadilan, Kejaksaan, Kepolisian dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Lainnya (PPNS) oleh karena itu langkah-langkah yang perlu dilakukan adalah:

  • Meningkatkan pengawasan dalam proses peradilan secara transparan
  •  Menyususn sistem rekruitmen dan promosi yang lebih ketat
  •  Meningkatkan kesejahteraan hakim dan aparat penegak hukum lainnya
  •  Meningkatkan kualitas hakim dalam melakukan penemuan hukum baru melalui putusanputusan pengadilan (yurisprudensi)
  •  Mengembangkan mekanisme penyelesaian sengketa alternatif di luar pengadilan
  •  Meningkatkan pembinaan terhadap integritas moral, sikap perilaku dan pemberdayaan kemampuan dan kerterampilan aparat penegak hukum

Terakhir Penulis mengharapkan dengan catatan kecil ini semoga Alam penegakan hukum di Indonesia menjadi lebih baik walaupun tulisan ini tidak akan bisa merubah secara radikal persoalan penegakan hukum di Indonesia akan tetapi setidaknya tulisan ini dapat memberikan wawasan baru cara berfikir bahwa telah menjadi tanggungjawab utama mereka yang bergelut dalam bidang hukum untuk sekedar memberikan sumbangsih pemikiran agar terciptanya suatu tatanan Hukum yang paripurna.

 

"Fiat justitia ruat caelum"

"Hendaklah keadilan ditegakkan, walaupun langit akan runtuh"

 
 Catatan Kaki

[1] Hikmahanto Juwono, Penegakan hukum dalam kajian Law and development :Problem dan fundamen bagi Solusi di Indonesia, Jakarta : Varia Peradilan No.244 , 2006, hlm. 13

[2] Lihat, http://mappifhui.org/2016/06/15/anggaran-dipangkas-penegakan-hukum-terhambat-masyarakat-pemantau-peradilan-indonesia-fakultas-hukum-universitas-indonesia-mappi-fhui/, Diakses hari Kamis Tanggal 4 April, 2019, Pukul, 17.00. WIB.

[3] Lihat, (http://www.houseofrepresentatives.nl/how_parliament_works/legislation/index.jsp)., Diakses hari Kamis Tanggal 4 April, 2019, Pukul, 17.10. WIB.

[4] Arif Setiawan dkk, Dalam Artikel, Perbandingan Pengaturan Penyelenggaran Pendidikan Profesi Advokat (Ppa) Di Indonesia Dan Amerika Serikat,  hlm. 18. 

   

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun