Sora enggan menjawab. Bukankah dia sudah bilang bahwa semakin hari dunia sudah seperti layar lebar yang menunjukkan realitanya? Namun, pertanyaan-pertanyaan ibu menyadarkan Sora akan sesuatu; semua orang pergi dan keadaan terus-menerus berubah. Sedangkan Sora masih kesulitan dalam banyak hal. Sora tertegun lama di situ.Â
 Sora sudah bekerja selama enam tahun di satu perusahaan, atasannya sudah berganti dua kali, rekan kerja yang dulu selalu bersamanya kini berjarak dengannya setelah naik jabatan, kepala divisi di perusahaan selalu menagih pekerjaannya bahkan di luar jam kerja, dalam satu bulan bisa dihitung berapa kali Sora kebagian tempat duduk di bus, bahkan Sora terlalu lelah untuk sekadar keluar rumah untuk menghabiskan gajinya.
 Hidupnya begitu-begitu saja. Dan, ibu satu-satunya kehidupan yang serupa udara segar yang Sora miliki.Â
 "Menikah ya, Ra?" pinta ibu lebih pelan, lebih penuh kasih, lebih seperti memohon.Â
 Sora hanya memandangi wajah ibu yang pucat. Hari itu, Sora tak menahan air matanya lagi. Seperti anak kecil yang takut ditinggal ibunya di hari pertama masuk Taman Kanak-Kanak, bibir Sora tercebik dan air tangisnya menderu.
"Kalau Ibu sudah nggak ada, kota ini akan terlalu besar untuk kamu tinggali seorang diri," kata ibu lagi. Tangis Sora pecah dan bersahut-sahut. "Kamu harus punya seseorang yang ngasi plester luka sepulang kerja, seseorang yang bisa kamu ajak belanja di awal bulan, seseorang yang bisa kamu ajak liburan, seseorang yang ngambilin kamu handuk kalau kamu kelupaan, seseorang yang bisa kamu ajak cerita tentang atasanmu yang nyebelin atau menu makan siang di kafetaria kantor yang nggak pernah sesuai dengan selera kamu, dan seseorang yang bisa kamu ajak ziarah ke makam Ibu. Ibu yakin seseorang seperti itu ada, Ra."
"Tapi Sora takut, Bu," rengek Sora. "Sora takut nggak layak punya itu semua. Sora juga nggak yakin ada seseorang seperti itu."
"Itu karena keyakinan yang kamu pegang hanya sebatas keyakinan yang kamu lihat, Ra," kata ibu lembut sembari menghapus bekas air mata di wajah sembab Sora.Â
Kata ibu hari itu, Sora terlalu kerdil untuk meyakini sesuatu yang hanya bisa dia lihat, yang hanya sebatas jangkauan pandangannya. Sedangkan dunia terlalu besar. Sora tidak mungkin sanggup untuk menahannya seorang diri. Karena itu, Sora butuh kehidupan setelah pukul lima sore. Sora butuh seseorang yang bisa menggantikan Ibu memberi plester luka kepadanya sepulang kerja, menemaninya belanja di awal bulan, liburan bersamanya, mengambilkannya handuk saat Sora buru-buru ke kamar mandi, dan mendengarkannya bercerita tentang atasan yang menyebalkan atau menu makan siang di kafetaria kantor yang jarang sekali sesuai dengan selera---barangkali Sora bisa belajar memasak atau mereka bisa menikmati makan malam di luar.
Seseorang seperti itu tidak ada---manusia selalu lebih banyak kurangnya. Mau Sora mencarinya sampai ke ujung dunia, kemungkinan Sora menemukannya itu kecil sekali. Mungkin di bawah minus. Karena itu, kata ibu, Sora butuh Tuhan.Â
"Untuk hidup di dunia, kita butuh Tuhan, Ra. Bukan sekadar punya Tuhan," lanjut ibu.Â