Sekala hampir tak pernah melihat Jingga tersenyum, marah, menangis, atau bahkan kecewa. Hampir dua puluh tahun menjadi tetangganya, ekspresi yang dilihat Sekala selalu sama; datar. Entah itu ketika Mamanya membuang seluruh alat lukisnya ke tempat sampah, ketika lagi-lagi dirinya mendapat peringkat pertama dari seluruh siswa, atau ketika anak-anak komplek mengejek tubuh kecilnya. Mungkin Sekala pernah melihatnya saat mereka kecil, tetapi sudah lupa saking lamanya.
Katakanlah Jingga introvert.
Namun, sikap orang-orang introvert yang dikenal Sekala tidak sampai separah Jingga. Misalnya saja, Sheina, kakak Sekala yang kuliah di jurusan hukum. Hampir tak ada satupun orang yang mengakui Sheina ramah karena sikap introvertnya. Bahkan Sekala yakin, hanya segelintir orang yang mengenal kakaknya. Meski begitu, Sheina bisa mengamuk ketika komik One Piece milik Sekala menyelip di rak buku-bukunya yang disusun berdasarkan abjad. Sheina masih bisa tertawa ketika Sekala melempar guyonan receh agar dipinjami motor. Bahkan, Sheina kedapatan menangis ketika mereka menonton film Miracle in Cell No 7.
Sebenarnya, jenis manusia seperti apa Jingga?
Ah, andai Sekala tidak mewarisi jiwa "kepo berlebih" dari ayahnya, tentu perkara Jingga tidak akan membuatnya sampai pening kepala.
"Jangan-jangan dia hantu." Pernah Sekala bergumam ketika melihat Jingga sedang membaca buku di balkon kamarnya, berhadapan dengan balkon rumah Sekala. Namun, Sekala juga membantah. "Gak mungkin hantu. Mana ada hantu secantik Jingga. Kalau ada, cowok-cowok pasti protes karena peluang mereka dapat jodoh jadi makin kecil," katanya.
Hingga akhirnya, Sheina datang bak Dewi dan berujar sok tahu pada Sekala. "Kalau cuma dilihatin dari jauh, kamu gak akan tahu apa-apa, Kal. Rasa suka berkedok kepo yang kamu rasakan itu akan makin ganas ke depannya kalau kamu gak mengambil tindakan," petuah Sheina saat itu.
Barangkali, petuah dari Sheina itulah yang membawa Sekala ke lapangan basket di ujung komplek pada waktu dini hari. Selama seminggu penuh Sekala mengumpulkan keberanian untuk melakukannya. Seminggu penuh pula Sekala memperkuat pengamatannya terhadap balkon kamar di seberang rumahnya itu.
Dan ....
"Tuh, kan! Benar!" Sekala menghembuskan nafas lega setelah menemukan apa yang dia cari, Jingga. Gadis itu duduk sendiri di kursi kayu yang berada tepat di bawah lampu. Di depannya ada steger yang lengkap dengan kanvas.
"Orang gila jenis apa sih, yang datang ke lapangan basket tengah malam begini?" rutuk Sekala. Tanpa meminta persetujuan, dia duduk di sebelah Jingga. Menatap lukisan setengah jadi milik gadis itu dengan tatapan menilai.