Jingga membenarkannya sebelum memokuskan kembali perhatian pada lukisannya yang hampir jadi. Lukisan langit malam dengan banyak bintang dan bulan sabit yang redup. Sekala menjadi orang pertama yang mengomentari lukisannya setelah banyak lukisan yang dia buat. Juga orang pertama yang pernah melihatnya melukis, barangkali.
"Seharusnya kamu jadi pelukis saja, Jingga," komentar Sekala. "Lukisan kamu lebih bagus dari gaya bicara kamu yang sarkas."
"Ya, andai ayah dan ibuku tidak tergila-gila pada hukum, pasti aku sudah menjadi pelukis, Sekala. Tapi seperti yang kamu lihat, aku tidak merdeka."
Lalu, bukankah itu tidak adil. Papa Sekala selalu mengatakan nasehat serupa padanya. Bahwa seorang anak bukanlah investasi orang tua. Seorang anak bebas memilih jalan yang ingin dijalaninya, selagi itu baik dan tidak bertentangan dengan agama dan negara. Perasaan iba menyentil Sekala. Jingga seharusnya mendapatkan hal yang sama. Jingga seharunys juga merdeka, sama sepertinya.
"Kalau begitu, kamu juga harus merdeka, Jingga," cetus Sekala berapi-api. "Jangan mau belajar hukum kalau kamu pengen jadi pelukis. Jangan diam saja ketika Ibumu membuang seluruh alat lukismu. Teriaki anak-anak yang mengejek kamu, dan lempar hasil ujian hukum kamu yang memuaskan itu."
Jingga menoleh padanya. Ekspresinya masih sama meski binar matanya berubah sendu.
Sekala melanjutkan ucapannya lagi setelah itu. Dibanding Jingga, justru laki-laki itulah yang tampak lebih bersemangat untuk memerdekakan diri Jingga. "Jangan mau terpenjara. Indonesia yang seluas ini aja bisa merdeka, masa kamu yang sekecil ini nggak? Kamu harus bebas. Gak hanya tentang mimpi, tapi segalanya. Bebaskan mimpi kamu dan diri kamu sendiri. Jangan cuma diam dan menerima. Kamu bukan robot, Jingga.
"Kalau kamu sedih, ya menangis saja. Kalau mau marah, teriak, lempar barang, asal gak menyakiti orang lain. Begitu juga kalau kamu lagi bahagia, ketawa aja yang lepas. Hidup ini cuma sekali, Jingga. Sayang sekali kalau cuma kamu habiskan untuk menerima dikte dari orang lain. Hidup kamu, itu milik kamu. Lakukan apa yang kamu mau, yang membuat kamu merasa berada di jalan yang tepat."
Dan, untuk kali pertama setelah sekian lama, Sekala akhirnya melihat Jingga tersenyum kembali. Meski hanya kecil dan kentara menyimpan kepedihan, Sekala akhirnya melihat semangat memerdekakan diri di dalam diri Jingga. Mata gadis itu bahkan berkaca-kaca ketika mengucap terima kasih padanya.
"Andai kamu datang lebih cepat, aku mungkin sudah menyiapkan gerakan besar untuk merebut kemerdekaanku sejak lama, Sekala."
***