"Argh! Ngomong sama kamu memang butuh kesabaran ekstra rupanya. Oke, jawab ini aja. Kenapa harus tengah malam? Dan kenapa harus di lapangan basket yang sepi? Kamu gak takut?"
Jingga bergeming, awalnya. Lalu kuas catnya dikembalikan ke palet dengan gerakan pelan. "Tengah malam itu sepi. Gak akan ada yang tahu aku melukis di sini, kecuali tetangga depan rumahku yang suka memata-mataiku dari balkon rumahnya. Walaupun kamu agak menyebalkan dan mirip Om Satria, kupikir kamu gak akan selancang itu untuk ngomong ke siapapun tentang kebiasaanku ini."
"Kamu tahu semua itu, Jingga?"
"Kalau mau menguntit atau memata-matai seseorang, ada baiknya kamu menonton film luar negeri. Gerak-gerik kamu terlalu terbaca."
"Terus kenapa kamu gak pernah berniat menegur, Jingga?"
"Karena itu gak penting. Udahlah! Sekarang kamu sudah tahu, jadi tolong jangan bicara ke siapa-siapa, khususnya orang tuaku."
Sekala tak lantas menimpali. Pun dengan Jingga yang kembali berkutat dengan lukisannya. Ini agak aneh, sebenarnya. Bukan karena Jingga tahu bahwa dia kerap memerhatikan gadis itu, melainkan keluasannya untuk bicara dengan Sekala. Padahal Sekala sudah mempersiapkan diri untuk diusir. Namun setidaknya, perlakuan Jingga menjawab satu pertanyaan besar di kepala Sekala.
Bahwa nyatanya, Jingga juga manusia. Jingga memiliki tingkat kepekaan tinggi terhadap sekitarnya meski gadis itu tak pernah bisa mengekspresikannya dengan baik. Setidaknya itulah yang dilihat Sekala. Perhatian Sekala lalu teralih pada bendera-bendera kecil di sekitar lapangan basket. HUT RI ke-77 tinggal menghitung hari. Pasti akan ada banyak perlombaan di kompleknya.
"Kamu gak tertarik untuk ikut salah satu, Jingga?" tanya Sekala. Dia sudah memutuskan akan pulang jika Jingga juga pulang.
"Apa?" sahut Jingga tanpa menoleh.
"Lomba 17-an. Kamu gak tertarik ikut?"