Mohon tunggu...
Hida Al Maida
Hida Al Maida Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Sumatera Utara

Seorang introvert yang menyukai seni, puisi, langit, bintang, hujan, laut, bau buku, dan menulis. Punya kebiasaan aneh berbicara dengan diri sendiri, dan mencoret-coret setiap halaman paling belakang buku pelajarannya karena merasa isi kepalanya terlalu meriah, riuh, dan berisik untuk didiamkan begitu saja. Gemar menulis novel, puisi, serta tertarik tentang banyak hal berkaitan dengan hukum, perempuan, dan pendidikan. Baginya, setiap hal di muka bumi ini adalah keindahan dan makna yang perlu diselami sampai jauh, sampai kita menemukan sesuatu bernama hidup.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Takut

5 Maret 2023   11:53 Diperbarui: 22 Juni 2023   10:23 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Akhir-akhir ini, berita di televisi selalu sama. Tentang kematian. Ada pria tua yang ditemukan tewas di rumahnya, seorang gadis yang dibunuh di hutan, kecelakaan yang memakan banyak korban, bencana alam yang menewaskan ratusan orang, dan kabar-kabar duka lainnya yang datang dari berbagai penjuru, dari setiap sudut di setiap tempat.

            Karenanya, Harianja jadi punya gangguan kecemasan yang akut.

            Harianja, pria yang masih melajang di usianya yang ke-35 tahun itu, tidak lagi berani menggunakan lift ke lantai 20, lantai apartemennya. Harianja takut jika tiba-tiba lift yang dinaikinya rusak. Iya kalau petugas kebakaran segera datang menyelamatkannya. Kalau tidak, Harianja akan mati sia-sia karena kehabisan nafas di dalamnya.

            Tak hanya takut naik lift, Harianja juga mengurangi mengonsumsi kopi, rutin minum suplemen kesehatan, tidak pernah lagi menyentuh makanan-makanan laut, selalu menyetir dengan hati-hati, memastikan jendela di apartemennya senantiasa terkunci rapat serta mengganti warna tirai jendelanya menjadi hitam, bahkan kerap mondar-mandir di apartemennya sebelum tidur. Harianja takut jika dia tiba-tiba mati dan akan ditemukan seminggu kemudian ketika petugas kebersihan datang untuk membersihkan apartemennya.

            Ah, hidup yang mengenaskan.

            Kadang kala, pria itu bertanya-tanya. Apa ada hidup yang lebih mudah dari ini? Hidup di mana dia tidak perlu memikirkan dan mengkhawatirkan apapun?

            "Kurasa kau perlu menikah, Hari." Salah satu teman kantornya berkomentar saat Harianja menceritakan keresahannya akhir-akhir ini.

            Cukup lama Harianja menimbang. Pernikahan bukan hal yang mudah. Harianja tahu itu bahkan saat usianya baru sepuluh tahun. Ketika dia melihat ayahnya memukuli ibunya hingga babak belur, ketika dia mendengar pertengkaran di setiap tempat dan waktu, ketika dia akhirnya pindah ke rumah yang lebih kecil dan melihat ibunya bergonta-ganti pasangan sebelum akhirnya meninggal karena penyakit menular seksual.

Baca juga: Cerpen: "Bertaut"

            "Sejauh ini, aku belum pernah membayangkan pernikahan sebagai fase yang menyenangkan dalam hidup," sahut Harianja pada akhirnya.

Baca juga: Cerpen: Suatu Hari

            "Pemikiran itu akan patah saat kau menjalani pernikahan, Hari. Lupakan soal cinta atau tidak. Kau tidak bisa hidup seorang diri selamanya. Kau butuh seseorang saat kau sakit, bahkan saat kau bahagia. Percayalah, kau bisa merasakan dan mengingat kebahagiaan lebih lama jika kau menikmatinya bersama seseorang. Lagipula, keresahanmu ini hanya akan hilang saat ada seseorang di sisimu, Hari," petuah rekan kerjanya itu lagi.

            Harianja belum percaya. Belum bisa menelan petuah itu bulat-bulat untuk dia tunaikan. Sekalipun Chandra---rekan kerjanya itu---tampak selalu berseri-seri ketika menyantap makan siang yang dibekalkan istrinya atau ketika bertelepon dengan dua anaknya, Harianja belum bisa memercayainya. Toh, di beberapa kesempatan, Harianja pernah melihatnya datang ke kantor dengan wajah muram karena anaknya demam, atau berwajah suntuk ketika bayaran untuk sewa rumahnya tertunggak sementara gajinya belum turun.

            Suatu hari, di perjalanan pulang setelah lembur bekerja, Harianja bertemu seorang gadis di kereta---Harianja sengaja naik kereta hari itu karena sudah terlalu lelah untuk mengemudi seorang diri di Sabtu malam yang pasti ramai pengguna jalan. Mereka duduk bersebelahan. Gadis itu tampak jauh lebih muda. Kantung matanya gelap, rambutnya dicepol asal, di pangkuannya ada banyak sekali buku, dan raut wajahnya menyuarakan satu hal; "aku akan menyumpah-serapahi siapapun yang berani menyapa atau menyentuhku."

            Hidup memang mengenaskan. Jika gadis semuda itu saja tampak kesulitan dalam hidupnya, apalagi Harianja yang sudah melihat dan menghadapi kejadian-kejadian menyebalkan dalam hidup.

            "Akan lebih mudah jika aku mati saja, Pak." Gadis itu menyeletuk secara tiba-tiba tanpa menatap Harianja. Kontan, pria mengedarkan pandangannya. Hanya dirinya yang duduk dekat dengan gadis itu.

            "Kau bicara denganku?" tanya Harianja hati-hati.

            Pertanyaan sia-sia yang berakhir menguap dan tersangkut di langit-langit kereta karena gadis itu mengabaikannya.

            "Tapi aku terlalu takut dengan dosa," kata gadis itu lagi.

            Harianja diam. Dia menyimak.

            "Mendiang Ibuku pernah mengatakan bahwa Tuhan tidak menyukai hamba-hamba-Nya yang mendahului takdir. Tuhan bisa murka dan menyeretku ke neraka. Meski sudah dewasa, dongeng itu tetap mengerikan."

            Harianja pernah mendengar hal yang sama dari gurunya ketika SMA. Sampai sekarang, Harianja tidak tahu apa dia harus memercayainya atau tidak. Jika diselaraskan dengan banyak kondisi pelik yang dialami manusia, dongeng itu tampak tidak adil---setidaknya di mata Harianja selama ini.

            "Tapi, Pak---" Gadis itu menoleh. Matanya memerah menahan tangis. Sementara Harianja hanya tercengang, bingung sekaligus terkejut dengan gerakan mendadak itu. "Coba kau pikir, kau hidup di dunia yang menyebalkan ini. Kadang kau bertanya-tanya, untuk apa dan siapa kau hidup? Kau bertanya-tanya apa akhir dari semua hari-hari melelahkan yang kau jalani? Lalu saat kau berpikir untuk mengakhirinya lebih dulu, orang-orang mendiktemu sebagai orang yang lemah iman. Orang-orang akan langsung beranggapan bahwa ruhmu langsung dimasukkan ke neraka. Kau sudah menderita di dunia, dan kau juga akan menderita di neraka. Hidup memang tidak adil."

            "Tapi kenapa kau terus menjalaninya?" sahut Harianja hati-hati.

            "Aku sudah katakan kalau aku takut berdosa, Pak."

            "Kau akan mati pada akhirnya."

            "Setidaknya dengan cara yang elegan."

            "Cara yang elegan?"

            "Dibunuh, tertabrak kereta, atau tiba-tiba mati saat aku tidur terdengar elegan."

            Harianja menghela nafasnya panjang. Apa kabar dengan dirinya yang malah menghindari kematian dengan cara-cara yang disebutkan gadis itu? Namun, percakapan ini membawa Harianja pada satu kebenaran; semua manusia akan mati pada akhirnya. Pertanyaannya hanyalah bagaimana dia akan mati? Membayangkannya saja membuat Harianja merinding. Keresahan-keresahan itu kembali menguak.

            "Kekasihku mengkhianatiku, Pak. Tugas akhir ini tidak selesai-selesai dan aku disuruh merevisi ribuan kali. Belum lagi tunggakan ini itu yang harus kubayar. Bukankah mati lebih baik, Pak?" tanya gadis itu.

            Sebaliknya, Harianja menemukan alasan mengapa dia takut kematian merenggutnya segera. Dia punya banyak tabungan. Apartemennya cukup luas. Pekerjaannya adalah pekerjaan yang diidam-idamkan orang lain di luar sana. Beberapa negara sudah pernah dia kunjungi. Rekan-rekan kerjanya mengelu-elukan namanya. Prestasinya melangit. Satu-satunya yang tidak dia punya hanyalah teman hidup.

            Artinya, jika gadis di sebelahnya ingin hidupnya cepat berakhir karena masalah bertubi yang menimpanya, Harianja malah takut menghadapi kematian karena tak ingin meninggalkan pencapaian-pencapain yang sudah diraihnya---di samping dia tidak ingin mati mengenaskan karena tidak punya siapa-siapa di sisinya.  

            "Katanya akan ada sesuatu yang indah di masa depan," celetuk gadis itu lagi. "Sayangnya aku terlalu lelah untuk terus berjalan ke masa depan itu. Rasanya seperti berjalan di jalan yang sangat panjang dan tidak ada akhirnya."

            "Kau pasti akan sampai di sana." Harianja ingin mengatakannya. Namun, pria itu bimbang. Bagaimana jika sampai di sana, gadis di sebelahnya mengalami keresahan yang sama seperti dirinya saat ini?

            "Kalau tiba-tiba kereta ini menabrak sesuatu dan kita semua mati, aku tidak keberatan."

            Bertepatan dengan itu, kereta berhenti. Harianja berpegangan dengan panik. Keningnya berpeluh. Sementara gadis di sebelahnya masih tampak tenang tetapi juga... muak. Ketegangan di wajah Harianja terbaca gadis di sebelahnya. Usai kereta kembali berjalan, gadis itu menudingnya dengan satu pertanyaan.

            "Keretanya hanya berhenti di stasiun, tetapi kau sepanik itu, Pak. Apa kau mengkhawatirkan istri dan anakmu yang menunggumu? Ah, hidupmu tampak lebih mudah dariku."

            "Aku tidak menikah."

            "Tetapi kau bekerja. Kau tampak seperti orang kaya."

            "Tidak semua orang kaya memiliki hidup yang mudah." Buktinya, Harianja cemas hanya karena perkara kematian.

            Gadis itu mengangguk-angguk. "Aku tahu. Orang kaya lebih takut berjalan seorang diri di malam hari daripada orang miskin. Kau juga pasti seperti itu. Menjadi sepertimu pasti tidak mudah."

            "Kau terlalu banyak memberi petuah untuk ukuran seseorang yang membenci hidup."

            "Kau punya pilihan untuk mendengarkan atau mengabaikan, Pak. Tapi ingatlah ini, dalam hidup kau punya dua pilihan; menemukan seseorang yang akan menemani masa tuamu, atau mati muda. Aku sudah kehilangan kesempatan yang pertama dan berharap pilihan ke-dua segera datang. Kuharap kau tidak menjalani masa tuamu dengan menyedihkan."

            Harianja tidak menanggapi lagi. Bahkan hingga kereta berhenti di stasiun terakhir, Harianja enggan buka suara. Perlu dia akui, meski amat muda, ucapan gadis muda itu adalah kebenaran yang sulit dia tampik. Satu yang dia sadari betul, dia dan gadis itu berdiri di dua titik yang berbeda; timpang.

            ***

            Makin hari, gangguan kecemasannya tidak berkurang. Pertemuannya dengan gadis muda empat bulan lalu atau petuah rekan kerjanya yang sudah seperti ceramah wajib juga tidak menghasilkan apa-apa. Harianja tetap saja ketakutan. Harianja tetap saja tak siap jika dia harus mati bak orang bodoh dan semua yang dicapainya lenyap begitu saja. Meski begitu, pria itu juga menolak pilihan untuk menikah.

            Belakangan ini, dia merasa bahwa menikah untuk pria mapan sepertinya adalah pilihan yang bodoh. Menikah sama saja menyerahkan seluruh hartanya untuk orang asing yang akan menyusahkan hidupnya. Harianja tidak pelit. Dia hanya tidak ingin melakukan hal bodoh.

            Sejak itu, Harianja jadi rutin berkonsultasi untuk menangani masalah kecemasannya. Dia diberi banyak kiat-kiat untuk hidup dengan tenang, dan bahagia. Hanya saja, sejauh ini tidak ada yang mempan. Alih-alih merasa tenang, pria itu merasa semakin tua dan ringkih setiap harinya. Pekerjaannya tidak memburuk, tetapi Harianja merasa sangat lelah melakukannya. Sedikitpun dari hartanya tidak berkurang, tetapi dia dihantui rasa takut setiap malam; bukan lagi takut mati, sekarang Harianja juga takut dirampok.

            "Kau tidak perlu minum terlalu banyak obat, Pak." Dokter konselingnya berpesan di pertemuan terakhir mereka. "Hidup yang tenang adalah hidup yang bahagia. Obat-obatan tidak akan membuatmu bahagia. Hiduplah untuk Tuhan, atau setidaknya, hiduplah untuk seseorang yang akan membawamu kepada Tuhan," katanya lagi.

            Harianja bertanya-tanya. Bagaimana mungkin dia bahagia jika hidupnya diserahkan seutuhnya kepada Tuhan? Tuhan saja enggan memerhatikannya. Tuhan saja berkali-kali mendorongnya jatuh, saat dia bersusah-payah berdiri. Bagaimana bisa Harianja mempertaruhkan hidup untuk Tuhan? Hal itu sama seperti mempertaruhkan boneka kepada anak-anak; kita akan dipermainkan.

            Karena itu, di ulang tahunnya yang ke-36, dengan tubuh ringkih kesusahan, Harianja menyembunyikan semua harta-hartanya. Sangat jauh sampai tak seorang pun tahu di mana dia menyimpannya. Sehari-harinya, Harianja hanya menggunakan satu kartu kredit yang berisi uangnya yang tak seberapa. Setidaknya dengan cara itu, Harianja dapat tidur dengan nyenyak---di samping masih harus mengonsumsi obat penenang. Untuk menikmati masa tua yang damai dan menyenangkan, dia harus rela hidup sederhana dengan sedikit siksa di usia muda.

            ***

            Berita itu menyebar dengan cepat. Seorang pria ditemukan tewas di lantai 20 sebuah apartemen mewah. Tubuhnya ambruk di lantai dengan pakaian yang lengkap dan rapi. Hasil autopsi menyatakan dirinya overdosis obat. Hasil identifikasi pihak kepolisian juga menyatakan dugaan bahwa kematian itu terjadi tak lama setelah pria itu pulang bekerja.

            Harianja yang mapan, berkelas, dan dipuja lenyap begitu saja.

            Topik kematiannya menjadi topik hangat di perusahaan tempatnya bekerja hingga seminggu. Banyak yang membicarakan kepribadiannya semasa hidup, tetapi tak sedikit pula yang mengolok-olok kebodohannya.

            "Andai dia sedikit rendah hati, kuyakin dia tidak akan hidup semenyedihkan itu," kata orang-orang di pemakamannya.

            Beberapa ikut berdoa seadanya. Menabur bunga sebagai formalitas lalu meninggalkan makamnya begitu saja. Menyedihkan. Tidak ada satupun yang bertahan di makamnya lebih dari dua puluh menit, kecuali pria itu. Pria yang diam-diam diolok-olok Harianja karena wajah kusutnya di akhir bulan.

            Pria itu menjadi orang terakhir yang meninggalkan makamnya, dan menjadi pria pertama yang cukup lama menekurinya. 

"Inilah alasan mengapa aku pernah mengatakan bahwa orang yang ber-Tuhan jauh lebih cerdas daripada orang yang tidak ber-Tuhan, Hari." katanya.

            ***

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun