Selama ini, Amaral selalu merasa bahwa Felara adalah kekasih yang baik. Kekasih yang manis, pengertian, tidak banyak menuntut, juga selalu ada di saat-saat tersulit. Bagi Amaral lagi, hubungan mereka adalah hubungan paling sehat yang jauh dari debat. Tidak meracuni, sebaliknya mereka malah menjadi tameng untuk satu sama lain.
Namun,
Suatu hari, Felara meneleponnya dengan suara berat. Pukul dua dini hari. Ada suara ingar-bingar yang terlalu kentara di belakangnya. Tidak perlu menebak terlalu jauh--meski hal itu cukup mencengangkan--Amaral bisa tahu di mana Felara berada.
"Aral, sejujurnya aku gak merasa bahagia ketika bersamamu," racaunya berat. Denting gelas dan ujung sepatu yang terbentur meja terdengar.
"Setelah menghabiskan waktu bersamamu, aku tidak merasakan kebahagiaan sepasang kekasih pada umumnya," tambahnya lagi.
Amaral terkejut. Tentu saja.
Ponselnya terlepas dari tangan. Awalnya, Amaral kira dirinya tengah bermimpi. Terlalu larut untuk meyakini perkataan Felara sebagai suatu kenyataan. Namun, saat Amaral mengambil ponselnya lagi dan panggilan dengan Felara masih tersambung, Amaral yakin bahwa yang didengarnya bukanlah mimpi.
Hanya saja, Amaral tidak menyangka.
Bukan hanya karena pengakuan Felara, Amaral juga tidak menyangka jika saat ini kekasihnya itu berada di sebuah kelab malam. Detak jantungnya tak lagi beraturan. Kepalanya mendadak sakit, tetapi tidak sesakit hatinya saat ini.
Felara adalah gadis manis yang baik hati. Hobinya belajar dan menghabiskan seluruh sisa waktunya untuk berada di perpustakaan. Kekasihnya itu hampir tanpa cela---karena itulah Amaral jatuh cinta padanya. Jangankan kelab malam, dia bahkan jarang berkumpul-kumpul tidak jelas dengan teman-teman sekelasnya.