Sayangnya, perasaan cinta Amaral yang terlalu besar menyulitkannya untuk mengangguk. Dia hanya bergumam lama, antara tak ingin menyakiti Felara dan iba dengan dirinya sendiri.
"Kau hanya merasa... akhir-akhir ini kau bilang keadaannya sulit untukmu. Aku mungkin menyulitkanmu, karena itu aku memberimu lebih banyak waktu untuk menikmati hari-harimu seorang diri."
Sorot mata Felara berubah kosong. Gadis itu menautkan jari-jemarinya di atas meja, dan menghela nafasnya satu-persatu.
"Aku tidak mengerti, Aral. Aku bahkan tidak mengingat apa aku pernah pergi ke sana atau tidak. Akhir-akhir ini aku menjadi sangat pelupa," sahut Felara.
Amaral baru sadar, minuman yang dia bukakan untuk kekasihnya itu belum tersentuh. Apel yang dipotong-potong Felara sebelumnya pun belum disentuh. Namun, Amaral masih ingin tabah. Dia masih bersikeras menabung banyak hal untuk Felara, untuk hidup bersama Felara bagaimanapun keadaannya.
"Kadang aku seperti tidak mengenal diriku, Aral," keluhnya. "Di saat-saat seperti itu aku selalu teringat Naratama. Kurasa, aku merindukannya. Dulu sekali, saat aku dalam situasi perasaan tidak menyenangkan, Naratama akan berusaha menghiburku. Dia akan memintaku membaca buku, mendengarkan musik, atau melakukan apa saja yang membuat perasaanku membaik. Tapi sekarang sepertinya hal itu tidak berlaku. Aku melakukan semuanya, perasaanku tetap tak membaik. Aku merasa ada yang hilang, tetapi aku tak bisa mencarinya. Parahnya, aku bahkan tak tahu apa yang hilang itu."
Felara berkelakar tanpa menatap Amaral. Tanpa melihat wajah sendu dan terluka Amaral. Sejujurnya, nama Naratama tak pernah hadir dalam waktu 7 tahun perjalanan mereka. Amaral tidak mengenalnya. Felara tidak pernah menceritakannya, selain hari ini. Di antara ketakutan-ketakutan atas kehilangan Felara, Amaral juga merasa bingung.
Sebenarnya siapa gadis yang menjadi kekasihnya ini?
Setelah 7 tahun, mengapa Amaral tak benar-benar mengenalnya?
"Mungkin karena tidak ada Naratama, semua usahaku jadi sia-sia. Berbeda dengan saat bersama Naratama," katanya lagi.
Amaral mengulas senyum pahitnya. Cintanya terlalu besar. Terlalu gila. "Apa kau bahagia saat dengannya, Lara?" tanyanya.