Mohon tunggu...
Bimsa
Bimsa Mohon Tunggu... Ilustrator - Pengarang Novel

Mahasiswa Desain Komunikasi Visual di Institut Seni Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Time For Us : Ep.5 Sesuatu yang Menghilang

18 Januari 2020   19:00 Diperbarui: 21 Januari 2020   10:45 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari ini aku memakai seragam almamater putih dan jas sekolah berwarna pink, aku tidak tau bagaimana bisa sekolah memilih warna feminim yang tak biasa seperti itu. Bukan yang terlalu pink, lebih kewarna merah hati. Sebenarnya tidak ada aturan yang ditulis untuk memakai jas itu, tapi aku merasa tidak nyaman jika tak mengenakannya. Bahkan terkadang ada yang memakainya dengan seragam pramuka, sangat berbenturan warna. Norak. Kuambil tas ransel dengan tempat minum di sisi kanannya dan mulai menyiapkan buku pelajaran.

"Coba kulihat... bahasa, bio, sama sejarah," Sambil melihat jadwal yang kutempel dekat rak buku.

 "Jadi hari ini ngga ada yang harus ngitung, kan?  Ah, benar, aku harus ngambil sketchbookku di ruangan itu. Sial"

Semalam aku terpaksa memasang alarmku lebih awal. Lebih pagi dari biasanya aku pergi ke kelas untuk membuat pekerjaan yang belum kukerjakan semalam, belum sempat kukerjakan maksudku. Sekolah ini terus saja memaksa kami untuk menulis, kuharap tidak akan banyak yang akan aku tulis nanti. Dari tempatku duduk sebelah rak sepatu, seperti biasa..suara berisik dapur dengan bunyi teko air yang sepertinya sudah matang diatas kompor. Air panas untuk menyeduh teh buat ayah , ibu melakukannya setiap pagi. Tanpa sarapan dan segelas susu hangat aku berangkat ke sekolah dengan tali sepatu hitam yang kuikat dengan mantap.

"Bu, aku berangkat"

"Sarapan sebelum berangkat. Daf! Astaga, kena angin apa dia berangkat sepagi ini?

"Kenapa memang? Sepertinya dia sudah sadar harus berangkat sepagi ini untuk belajar"

"Ah, yang benar saja"

..........

Lihat saja, bahkan kucing jalanan belum seliweran jam segini. Disana abang tukang sayur terlihat berhenti di pojok gang depan gapura, dan suara sapu lidi dengan pegangan kayu terdengar sibuk membersihkan halaman depan toko kelontong yang berserakan, penuh daun mangga yang sudah tua. Mangga disana sungguh manis. Segar sekali. Aku pernah mencobanya dulu, tapi tidak mencuri. Kusapa pak satpam depan gerbang sekolah yang bersiap dengan mengambil beberapa tanda jalan, aku tidak tau apa namanya benda kerucut berwarna oranye yang diletakkan di depan jalan raya sekolah. Kupikir sekolah kami benar-benar masuk lebih awal dari sekolah lainnya, jadi sebenarnya kami mulai masuk pelajaran jam tujuh pagi tapi gerbang depan sekolah ditutup jam setengah tujuh dan sekolah lain saja baru menutup gerbang depan sekolah mereka pukul tujuh. Jadi kalian bisa mengira  hari ini aku berangkat jam berapa kan, untuk masuk sekolah yang sepagi ini. Ini bahkan  terlalu pagi untuk membuka buku dan membacanya, itu kata Raka setiap kali dia terlambat masuk kelas.

Koridor kelas masih sepi dengan  hanya ada beberapa anak yang duduk di depan kelas, mereka biasanya siswa yang jarak rumahnya jauh dan terpaksa berangkat lebih pagi ke sekolah. Mereka keren, maksudku jam berapa mereka akan berangkat kalo juga lupa mengerjakan pekerjaan rumahnya seperti aku saat ini.

Kelasku berada di paling pojok dekat toilet dan taman kecil yang, bukan taman sebenarnya. Kami menyebutnya ladang, karena memang banyak tanaman liar dan rumput yang tumbuh semakin tinggi. Ah, semoga saja Tasya bisa bangun pagi dan membagikan jawaban pekerjaannya padaku. Tapi sepertinya bukan Tasya yang bangun pagi kali ini.

"Kukira aku tadi ngga lihat motormu, Rak. Tumben kau datang pag.."

"Kau yang kenapa.. Ah.. menyusahkan sekali. Apa kau menggambar lagi semalam? Sampai nggak buat PRmu." Serobot Raka.

"Bagaimana kau..?"

"Nih, tadi pagi aku ditelpon Tasya buat ngambil ini di rumahnya. Katanya kau belum buat sama sekali. Benar-benar." Jawab ketus Raka memberiku buku tugas Tasya.

"Ahh.., ya maaf. Terus Tasya??" Kataku melihat tas Tasya dibangkunya.

"Dia belum apa-apa tadi, makanya menyuruhku bawa tasnya sekalian"

"Ah...." Jawabku berdiri dengan mulut menganga.

"Udah cepat kerjakan, aku mau beli air dulu di kantin"

..........

Kira-kira sudah tiga puluh menit aku mengerjakan tugasku, kelas sudah mulai terisi oleh teman-teman yang lumayan berisik. Mereka saling tanya dan minta contekan jawaban tugas yang masih belum ditulis. Seperti biasa, murid-murid pintar yang duduk di depan selalu rame dengan mereka yang ingin ngintip lalu menulisnya dengan cuma-cuma di kertas kosongnya. Kukira aku tidak pernah bergabung dengan mereka yang pintar. Selain itu, ada yang sarapan nasi bungkus dengan kertas minyak yang dibeli di depan sekolah, Ah.. wangi lauknya membuatku lapar, dan bahkan ada yang duduk tertidur di bangkunya. Kurasa dia berusaha terlalu larut mengerjakan tugas, atau paling tidak hanya membuang waktu malamnya dengan menunggu balasan chat dari.. kalian tau lah. Dan aku hampir saja selesai.

"Duh, mana ini banyak banget lagi yang harus ditulis" Kataku melempar bolpoin di atas buku.

"Hei, jangan asal nulis aja kau, baca soalnya juga biar paham." Raka menggelengkan kepala.

"Udah gak ketolong ini, Rak. Tapi bagaimana bisa orang itu memberi tiga lembar PR hanya dalam satu pertemuan. Rasanya seperti dijajah."

"Makanya kalo ada tugas itu langsung dibuat, bocah!" Raka menimpali

"Lalu bagaimana denganmu? Ah..Seolah-olah"

"Nah, ini kenapa juga masih kau kosongi." Sambil menunjuk buku tulisku.

"Nggak ah, terlalu panjang jawabannya. Tapi ini mereka berdua dimana sih jam segini belum datang?" Kataku sambil bersandar di kursi melihat bangku Tasya dan Salsa yang masih kosong.

.....

"Hei, apa ini? Tumben kalian datang duluan? Ah, aku tau, sudah pasti belum buat tugas, kan?" Salsa datang dengan hoodie berwarna kuning.

"Bukan aku ya, tapi dia" Balas Raka menunjukku

"Udah diam, sini aku liat jawaban essaimu nomer empat, Sal. Punya Tasya seperti mengarang saja jawabannya." Kututup buku Tasya

"Tapi dimana Tasya? Dandan di tolilet lagi?" Salsa sambil membuka tasnya.

"Toilet apanya, masih dandan di rumah iya." Wajah Raka terlihat sebal.

"Nih, Daf."  Kata Salsa sambil memberikan bukunya padaku "Jadi dia mau datang telat lagi? Wah, benar-benar sesuatu dia"

"Gajadi deh, Sal. Nih." Kataku kemudian terdiam.

"Ha?"

"Lebih baik nyalin punya Tasya daripada punyamu. Kau mau menulis buku dengan tulisan sebanyak itu?" Kataku kembali menyalin jawaban Tasya

"Aish..Sialan." Salsa mengangkat tangan hendak memukulku  "Padahal ntar lagi kan udah bel masuk kan.."

"Kan." Jawab Raka pendek mendengar suara bel sekolah

.....

Hampir lima menit tepat Bu Supi duduk dan memulai kelas bahasa indonesia. Ah, bahasa indonesia benar-benar sulit bukan. Kebalikan dari matematika, di matematika kita disuruh mikir eh malah ngarang jawaban, giliran bahasa disuruh ngarang cerita malah dibuat mikir. Selain itu, jawaban pilihan gandanya sama semua. Aku tidak tau apa bedanya, mereka disusun sama tapi dengan gaya bahasa yang beda. Tapi tetap saja, belajar bahasa sendiri lebih sulit dari bahasa inggris, kan. Bu Supi berjalan ke depan papan tulis sambil membawa buku dan setelah itu terdengar ketokan dari pintu kelas. Kita tau siapa yang ngintip dari belakang pintu kayu itu, siapa lagi, Tasya. Tidak ada masalah yang serius ketika dia datang tanpa membawa tas dan bilang "Maaf, Bu saya habis dari toilet". Kurasa dia akan jadi aktris yang hebat dengan kemampuannya itu.

.....

Semuanya masih berdiri ngantri nunggu giliran dilayani ibu kantin. Antriannya berjalan lambat karna memang cuma satu orang saja yang menjaga di depan etalase makanan. Mengambilkan pesanan, menerima uang sekaligus menghitung kembalian, begitu seterusnya. Berulang-ulang. Selagi mereka masih menahan lapar, makanan di depan kami sudah habis tanpa tulang sedikitpun. Piring keramik kami tumpuk bersih seperti habis dicuci dan juga minuman dingin tinggal sisa es yang mulai mencair. Sepertinya hari ini lebih panas dari hari biasanya, lihat bagaimana Raka mengisi ulang gelas minumannya dengan air galon di dekat lemari pendingin kantin.

"Ah, benar-benar, kenapa juga tadi aku harus berangkat lebih pagi kalo tugasnya aja nggak dikumpul, malah..dia bahas materi yang kemarin." Aku memulai percakapan

"Hei, bagaimana denganku? Aku bahkan datang datang lebih pagi darimu." Raka menatapku tajam.

"Lagian bukannya semalem dikerjain, malah..." Salsa menyambar ucapan kami.

"Aku ada les tau?!" Kataku bersungut-sungut memotong omongan Salsa.

"Ah, benar" Salsa tersenyum lebar.

"Tapi.. apa kau sudah tau kalo ini tugas nggak bakal dikumpul, Sya? Makanya kau sengaja datang telat tadi." Kataku sambil menatap Tasya dengan curiga.

"Siapa yang tau coba. Aku tadi telat karna harus mencuci rambut,tau?! Lagipula kau tau kan gimana Pak Beng kalo ngajar?" Protes Tasya setelah menyeruput es tehnya.

"Oh ya, nilai biologimu semester lalu berapa coba?" Giliran Raka yang bertanya pada Tasya.

"Nilai A lah, kau bercanda?" Jawab Tasya mantap.

"Ah, rumornya benar. Dia hanya memberi nilai yang baik untuk murid cewek. Lihat saja , bagaimana bisa anak sepintar Farhan di kelas dapet nilai B. Sedangkan Tasya yang payah menghafal saja.." Kata Raka berhenti sejenak.

"Bedebah, aku juga belajar keras tau!" Tasya mendesis keras.

"Tapi kudengar sebentar lagi Pak Beng akan segera pensiun loh" Kata Salsa sambil tertawa kecil.

"Bukankah memang sudah waktunya?" Jawabku .

"Dan kalian ingat, bagaimana orang setua itu masih bisa menghisap rokok bahkan saat mengajar kita di kelas sepuluh dulu." Tasya menyambar

"Belum lagi bau mulutnya yang seperti..." Tak sampai berlanjut omongan Salsa.

"Wahahaha~" Tasya dan Salsa tertawa bersamaan.

"Hei, udah-udah. Kualat kalian ngomongin orang tua. Ayo buruan ke kelas, ntar lagi udah mau bel" Kata raka memotong pembicaraan.

"Ah aku lupa!" Aku berseru lupa sesuatu.

"Apa??" Raka bingung bertanya.

"Hei, Rak ayo ikut ke ruang BK"

"BK? Ngapain? Ah aku tau, sketchbookmu yang berharga itu bukan?" Tasya bertanya.

"Iya" sambil melirik ke Salsa.

"Kenapa nggak dari tadi kau.." Raka protes.

"Udah sana cepet, kami tunggu di kelas" Kata Tasya sambil menyuruh kami pergi dengan tangannya.

.....

Hah, aku harus kembali lagi ke ruang itu, maksudku apa kita benar-benar dianggap seorang kriminal atau penjahat jika masuk tempat itu? Ah, aku tidak begitu menykai ruang BK, ruang kecil di sebelah kantor guru. Rasanya sempit dan suasananya aneh. Bahkan terasa sesak saat bernafas di dalam ruangan dengan tumpukan berkas dan tumpukan rapor siswa itu. Aku tidak yakin apa kalian betah berada di sana, tapi ini bukan pertama kalinya sejak aku terus masuk ke ruang ini. Raka menunggu di bangku luar ruangan sementara aku masuk dan menghampiri Pak Abdul, guru kesiswaan sekaligus wakil kepala sekolah disini. Aku menghampirinya seperti biasa, tapi..

"Hilang??!!"   "Sketchbook saya hilang??"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun