Dua puluh dua tahun bukan hal yang singkat untuk sebuah pernikahan, bukan juga waktu yang cukup panjang untuk saling mengenal dan berusaha jatuh cinta setiap harinya kepada pasangan kita, orang yang sama. Bohong besar, kalau dibilang dalam rumah tangga tidak pernah ribut, berbeda pendapat, bahkan marahan.
Kami adalah sepasang suami isteri bekerja di kantor yang sama, dilengkapi dengan 4 anak ABG, di mana biasa bertemu hanya di sarapan pagi dan makan di malam hari. Kami bicara secukupnya karena hidup seolah berjalan sangat cepat. Ditambah lagi, semenjak HP begitu akrabnya dalam genggaman dan menjadi perangkat primer, yang tak terpisahkan, seingat saya, semua permasalahan di antara kami (berdua) diselesaikan lewat HP. Ribut soal uang, penanganan masalah anak, salah membeli barang, bahkan ketidakcocokan sama keluarga besar dan orang lain pun semua dibahas lewat barang mati itu. Aneh, tapi seolah selesai dan hidup jalan terus lagi. Kami jadi terbiasa menyelesaikan masalah tanpa bertemu langsung.
Sampai suatu ketika kami kembali diterpa masalah, tentang rasa cemburu. Rasa yang tidak sering kami alami karena hampir semua teman kami, kelompok dan group kantor, hang out kami semua adalah orang yang sama. Sebuah nama asing muncul dalam kehidupan suamiku, yang tidak sengaja aku temui saat ada telpon masuk, sementara suamiku sedang di kamar mandi.
“Mas,”desahnya dan perempuan itu melanjutkan, “minggu depan jadi jemputkah?”
Aku yang tidak siap dengan situasi itu terkejut dan segera menutup telpon. Hanya sempat kubaca namanya, Laras. Perasaan marah, kesal, penasaran, cemburu menjadi satu. Malam itu aku lebih banyak diam dan dengan alasan menemani belajar, aku memilih tidur di kamar si Ragil, sambil berusaha menenangkan diri.
Esoknya, perempuan energik ini, beraktivitas seperti biasa, “sok tegar”, istilahnya. Tetap menyiapkan sarapan, berangkat ke kantor bersama, tanpa menatap matanya. Dalam pikiranku, ada seseorang di kehidupan suamiku, dan aku seolah tidak mau tahu.
Waktu berjalan, aku pikir akan tenang dan melupakan nama dan suara perempuan asing itu, ternyata semakin kumencoba melupakan semakin terngiang suara lembut manjanya. Seperti biasa, kukirim pesan ke HP suamiku dengan jemari ergebtar.
“Mas, mas sudah tidak setia, aku tau sudah ada orang lain,” lanjutku sambal menahan nafas dan tak terasa mataku basah, “aku memang tidak sempurna, banyak kekurangan.”
Tanpa menunggu respon suamiku, aku mengetik lagi, “Mas maunya apa sekarang?” Dan pecahlah tangisku di ruangan sepi ini. Kutunggu tapi ayah 4 anakku itu tidak membalas, walau pesan sudah terbaca. Hatiku hancur dan tangisku tambah keras. Belum pernah aku mengalami sakit seperti ini.
Tiba-tiba pintuku diketuk dan masuklah mantan pacarku, dengan senyum khasnya dia langsung duduk di kursi tamu ruangan kantorku.
“Ib,”, begitu biasa dia memanggilku, “ternyata kita jarang sekali untuk duduk berdua, berpandangan, ngobrol tentang apapun ya?”
“Mengapa Ibu berpikir aku tidak setia dan ada orang lain? Ib harusnya tau kalau aku sangat mencintai, termasuk kekuranganmu”, lanjutnya.
“Mas, Laras itu siapa?”, desakku.
“Oalah, itu to yang bikin Ib berubah? Diakan Ati, Larasati, keponakanku yang tinggal di Canada. Kamu taunya Ati, tapi keluarga tetap memanggil dia Laras.”
Malu, cuma itu yang kurasakan, “maaf ya Mas.” Suamiku memelukku dan berbisik, “kita harus lebih sering bertatapan, Ib.. karena matamu indah sekali.”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H