Mohon tunggu...
Hiacinta Resivenda Putri Aruni
Hiacinta Resivenda Putri Aruni Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Saya merupakan mahasiswa program studi Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Worklife

Media Arus Utama vs Jurnalisme Warga: Manakah yang Lebih Kredibel?

4 Desember 2023   10:57 Diperbarui: 4 Desember 2023   11:31 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Shuttershock.com

Apakah Anda merasakan bahwa pada era digital ini, teknologi informasi telah merubah plot atau alur penyampaian informasi? Tidak lagi mono-media tetapi telah beralih menjadi multimedia yang mengintegrasikan konten dalam bentuk tulisan, audio, dan video. 

Munculnya teknologi dalam bentuk media baru turut memudahkan dan memungkinkan kita sebagai masyarakat awam dapat secara leluasa membuat sebuah laporan jurnalistik walaupun tidak berstatus sebagai jurnalis profesional ataupun tidak memiliki latar belakang apapun dalam bidang jurnalistik. Bahkan kita tidak harus menjadi bagian dari suatu perusahaan media untuk dapat menulis atau memproduksi sebuah karya jurnalistik pada sebuah laman blog atau situs berita, seperti Kompasiana.com, Blogspot, dan Wordpress. Hal inilah yang disebut sebagai jurnalisme warga atau citizen journalism. 

Sebenarnya apabila dilihat dari permukaannya, jurnalisme warga ini membuka banyak peluang baru bagi masyarakat yang memiliki kesukaan atau hobi menulis namun tidak berprofesi sebagai jurnalis untuk berbagi informasi, meningkatkan transparansi dalam berpendapat, bahkan dapat memunculkan isu-isu yang terpinggirkan. 

Namun, apakah ini menjadi sebuah awal yang baik bahwa masyarakat dapat memperoleh informasi yang lebih banyak? Tentu saja tidak dapat dipastikan secara pasti. Sebab sampai dengan hari ini isu mengenai etika di dalam jurnalisme warga masih menjadi tanda tanya besar dan menjadi kontroversi di tengah hiruk pikuknya 'kehidupan' jurnalis. Lantas, bagaimana keberlangsungan jurnalisme warga di Indonesia?

Kemunculan Jurnalisme Warga di Indonesia

Jurnalisme warga lahir sebagai sebuah genre baru dalam kajian jurnalistik berkat adanya teknologi informasi dan komunikasi berupa internet yang dapat menghadirkan weblog yang berisi catatan, tulisan, video, audio, komentar, atau informasi-informasi dengan topik tertentu, diantaranya seperti politik, sosial budaya, olahraga, berita daerah, dan lain sebagainya (Wibawa, 2020). Namun, sejak kapan praktik jurnalisme warga muncul di Negara Indonesia? Apa saja sebenarnya hal yang melatari lahirnya genre baru dalam dunia jurnalistik ini?

Sebenarnya, keterlibatan masyarakat dalam menyampaikan informasi telah ada sejak masa penjajahan kolonial Belanda. Adam menyatakan bahwa pada waktu itu, siapa saja dari berbagai kalangan dapat menyampaikan opini atau informasi di berbagai penerbitan (Eddyono, dkk, 2019). Jurnalisme warga Indonesia semakin berkembang setelah masuknya internet. Menurut Wedhasary, meski genre jurnalisme ini sudah mulai diakomodasi oleh media-media televisi dan radio dalam skala yang terbatas pasca reformasi, semakin berkembang pesat saat media-media online mulai tumbuh dan menjamur (Eddyono, dkk, 2019). 

Website dan blog disinyalir mampu menawarkan pola komunikasi yang lebih interaktif sehingga terciptalah sebuah ruang bagi warga untuk dapat menyampaikan berbagai pendapat ataupun aspirasinya. Terdapat beberapa media yang disebut-sebut sebagai cikal bakal dari jurnalisme warga, yaitu Apakabar, Rumahkiri, Kilasan, Kabarindonesia, Sumbawanews, dan lain-lain (Ningtyas, 2014). Forum-forum tersebut menjadi sebuah wadah penyebarluasan informasi yang bebas sensor dan tak jarang menjadi rujukan bagi aktivis dan pers masa itu. 

Euforia praktik jurnalisme warga hanya sebatas penyebarluasan informasi yang dapat dilakukan di mana saja, kapan saja, dan oleh siapa saja tanpa harus takut ataupun bergantung pada media dominan ataupun kontrol negara. Tetapi, hal tersebut tidaklah luput dari persoalan etika yang perlu dilekatkan pada jurnalisme warga. Menurut Budi Hermanto seorang panitia dari Festival Jurnalisme Warga yang diadakan oleh Tempo Institute menyatakan bahwa sebuah karya jurnalistik apapun itu bentuknya tetap harus membawa etika jurnalistik di dalamnya sebagai rambu-rambu atau pedoman (Eddyono, dkk, 2019). 

Etika Dalam Media Arus Utama vs Jurnalisme Warga

Kehadiran jurnalisme media karena adanya kegelisahan pada pemberitaan yang diproduksi oleh media arus utama atau yang seringkali disebut sebagai media mainstream. Seringkali ditemukan di Indonesia bahwa media arus utama hanya menyajikan pemberitaan yang hanya mementingkan keuntungan bagi perusahaan media. Hal inilah yang kemudian memunculkan ketidakpuasan masyarakat pada berita-berita dari media arus utama karena mereka dibangun di atas sebuah struktur yang bermodal besar dengan berbagai kepentingan komersial serta politik dan hanya menempatkan warga sebagai konsumen atau sekedar 'objek berita' semata. 

Selain itu, seiring berkembangnya media mainstream terjadi konglomerasi yang menggurita, dimana media-media hanya dikuasai oleh segelintir orang sehingga kerap kali memunculkan berita yang juga tidak sesuai dengan kaidah jurnalisme. 

Jika kita berkaca dari latar belakang tersebut, jurnalisme warga juga lahir karena adanya produksi pemberitaan didasarkan pada kepentingan pasar atau kepentingan pemodal. Bentuk kapitalisme seperti ini yang menyebabkan publik berpikir bahwa informasi dari banyak media sudah tidak lagi mengedepankan dan mengutamakan kepentingan informasi dan publik, sehingga lambat laun kepercayaan segelintir masyarakat pada media arus utama semakin menurun. 

Bahkan sebenarnya, hal-hal tersebut tentu juga telah melanggar etika serta kode etik jurnalistik yang menyatakan bahwa "wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk" (Pasal 1) (Dewan Pers, 2013). Namun kenyataannya, masih banyak media-media berita swasta yang dimiliki oleh konglomerat masih berpihak pada oknum-oknum tertentu. Contohnya dapat ketika kita lihat pada pesta demokrasi Indonesia. Ada beberapa media berita yang terlihat lebih mendukung pejabat atau politisi yang memiliki hubungan erat dengan media tersebut dan hal ini dibandingkan pejabat B, begitu pula sebaliknya, sehingga terkadang berita-berita yang disampaikan dapat menjerumuskan masyarakat pada informasi yang keliru.   

Tentu kita sebagai memerlukan kebenaran dan keaktualan informasi. Hal-hal inilah yang kemudian mendorong dan membawa publik juga turut mengkonsumsi berita yang dibuat oleh seorang awam (tidak memiliki latar belakang jurnalis profesional) yang biasanya berisi berbagai aspirasi, argumentasi, keterbukaan terhadap informasi yang dianggap lebih demokratis. 

Namun bagaimana dengan jurnalisme warga? Apakah mereka telah mengikuti kode etik jurnalisme? Sebab tak dapat dipungkiri muncul berbagai sikap skeptisme, baik dari jurnalis-jurnalis profesional ataupun juga dari masyarakat awam yang memiliki tanda tanya besar terhadap profesionalisme dan etika jurnalisme warga dalam melaporkan berita. 

Tak sedikit orang-orang atau khususnya bagi jurnalis profesional yang menganggap bahwa jurnalisme warga tidak melakukan peliputan dengan sebagaimana mestinya. Sebab bagi mereka hanya jurnalis yang terlatih yang dapat mengetahui etika peliputan yang benar dan tepat serta aktualisasi beritanya dapat dipercaya. Bahkan tidak setuju bahwa praktik jurnalisme warga dianggap sebagai "jurnalisme" karena hanya sekadar menulis tanpa mengikuti kaidah dan etika-etika jurnalistik dan kemudian mengirimkannya ke blog tidak bisa disebut sebagai aktivitas jurnalistik. 

Awalnya jurnalisme warga dianggap sebagai sebuah inovasi positif karena memberikan sudut pandang tambahan bahkan baru dalam pemberitaan. Tetapi, masih banyak kontroversi mengenai etika jurnalistik dalam jurnalisme warga. Terlebih lagi dalam jurnalisme warga tidak ada etika, kaidah, atau kode etik yang mengaturnya, dan tidak memiliki kemampuan teknis yang mumpuni layaknya profesional media. 

Etika inilah yang sebenarnya menjaga jurnalis tetap terikat pada tujuan dan fungsi profesinya. Maka, akuntabilitas, objektivitas pemberitaan, serta kualitas jurnalisme warga selalu dipertanyakan. Sebab, tidak adanya etika dalam jurnalisme warga justru mengancam integritas serta kredibilitas dari informasi yang disampaikan sehingga sulit untuk dipertanggungjawabkan. 

Namun, sebenarnya jurnalisme warga tidak dapat disalahkan atas segala kekurangan yang dimiliki. Mereka memang tidak mengikuti atau memiliki kode etik jurnalisme, namun mereka melakukan kegiatan jurnalisme seperti mengumpulkan, melaporkan, menganalisis, serta menyebarkan berita dan informasi. Lantas, bagaimana cara menjaga agar jurnalisme warga tetap ada dalam koridor etika jurnalistik?

Tantangan Jurnalisme Warga 

Inilah yang menjadi tantangan jurnalisme warga. Memang seringkali masih dianggap berita atau informasi yang dihasilkan bersifat subjektif, namun kita tidak bisa menggeneralisasi bahwa semua produk jurnalistik dari jurnalisme warga tidak objektif. Tak sedikit juga warga yang menulis dengan memunculkan evidence yang kuat melalui wawancara yang dilakukan dengan pihak-pihak tertentu untuk mendukung argumen penulis, melalui data-data yang dimunculkan, dan lain sebagainya. 

Selain itu, tantangan lainnya yang masih menjadi label yang kuat pada jurnalisme warga adalah verifikasi yang minim. Dikarenakan tidak ada perusahaan media yang menaungi dan tidak adanya organisasi media yang berfungsi untuk melakukan verifikasi, maka berita-berita yang disebarluaskan tidak terverifikasi dan diakui oleh jurnalisme profesional. Terlebih lagi masyarakat awam yang menulis tidak memahami teknis yang sesuai dengan prinsip jurnalistik. Inilah mengapa jurnalisme warga juga tidak diakui oleh Dewan Pers. 

Jika jurnalisme warga ini muncul karena adanya ketidakpercayaan pada media arus utama yang tidak lagi mengedepankan kepentingan publik, apakah mungkin jurnalisme warga dapat menggantikan media arus utama? Hal tersebut akan cukup sulit, dikarenakan latar belakang jurnalisme warga yang tidak dinaungi lembaga professional, dengan kemampuan teknis yang terbatas, dan berita-berita yang disebarluaskan seringkali tidak update. Banyak berita atau informasi yang dihasilkan oleh jurnalisme warga adalah hal-hal yang ringan dan sepele, serta berita dan informasi yang bersifat lokal. 

Sumber: 

Dewan Pers. (2013). Pers berkualitas masyarakat cerdas. Jakarta: Perpustakaan Nasional RI

Eddyono, A. S., Faruk, & Irawanto, B. (2019). Menyoroti jurnalisme warga: Lintasan sejarah, konflik kepentingan, dan keterkaitannya dengan jurnalisme profesional. Kajian Jurnalisme, 3 (1), 1-15.

Ningtyas, I. (2014). Demokrasi media melalui jurnalisme warga. Remotivi.or.id. Diakes dari   http://www.remotivi.or.id/amatan/33/Demokratisasi-Media-Melalui-Jurnalisme-Warga 

Wibawa, D. (2020). Jurnalisme warga: Perlindungan dan pertanggungjawaban etika dan hukum. Bandung: Mimbar Pustaka.   https://etheses.uinsgd.ac.id/33206/1/Jurnalisme%20Warga-3.pdf

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun