Hah, pada akhirnya ia benar-benar berakhir di depan gerbang hitam ini, yang seakan menatapnya dengan pandangan remeh. Katanya, apa yang kau cari disini?
Apa tujuannya sebenarnya datang ke tempat ini? Melarikan diri? Karena paksaan orangtua? Yang jelas di pikirannya sebelum ini adalah ia ingin pergi jauh dari kota tempat dia dibesarkan. Seumur-umur, baru kali ini dia menyebrangi lautan, jauh dari keluarganya. Ia sudah 18 tahun, perempuan, anak yang biasa-biasa saja. Tak satupun yang ia kenal disini, kecuali seorang kawan masa smp dulu, datang dari kota yang sama namun berangkat terpisah. Ia menatap plang nama di depan gerbang tersebut. STIBA Ar Raayah, Sukabumi.
Udara dingin menusuk membuatnya menggigil, menyesal tak memakai jaket yang sudah ibunya siapkan. Kota tempatnya tinggal terkenal dengan cuaca panas terik, di dekat pulau Riau nun jauh disana. Baginya ini adalah dingin yang cukup ekstrim, apalagi ini wilayah dekat pegunungan. Ia bisa melihat uap udara mengepul dari mulut seseorang saat sedang berbicara. Ia menolehkan pandangan, mereka tengah menanti agar bisa masuk gerbang hitam tersebut, asrama sekaligus tempat dimana ia akan menghabiskan masa kuliahnya selama lima tahun mendatang.
Ia tak pernah merasa begitu religius, walaupun baik ibu maupun ayahnya benar-benar kebalikannya. Walaupun bersekolah di swasta islam dulunya, tetap saja ia seperti anak remaja kebanyakan. Sholat sering telat, malas mengaji, tak tertarik pada pelajaran agama, apalagi mendengarkan kajian, seperti mendendangkan lagu selamat tidur untuknya. Jadi ia hanya bisa mengernyit tak suka saat ibunya menyenggolnya, dengan cadar hitam yang menghiasi wajahnya.
"Lihat tuh, ibu itu nggak bercadar, tapi anaknya bercadar, kebalik sama kita" bisik ibunya. Ia hanya mendengus keras. Ibunya ini benar-benar semangat dengan ide menyekolahkannya ke sekolah syari'ah, sekolah pendidikan bahasa arab, agar bisa melihatnya menjadi da'iyah suatu saat.
"Bu, itu namanya hidayah. Buat apa saya pake cadar hanya karena suruhan Ibu, bukan dari kemauan saya sendiri, saya bahkan gatau hukumnya gimana," balasnya. Ia tak bisa melihat raut wajah ibunya namun ia pun enggan sebenarnya. Ia tak suka dipaksa-paksa, dan pilihan ini jelas bukan kemauannya, bahkan dalam urutan ke berapa pun tak pernah terlintas dalam benaknya, jadi ia mengibarkan bendera perang sejak keputusan ini diambil. Ia kurang baik dalam mengontrol emosinya, maka ia hanya mengangguk saat keluarganya pamit pulang, menatap dari kejauhan
Akhirnya ia berjalan masuk melewati gerbang hitam tersebut, sebelumnya beberapa mahasiswi yang bertugas di bagian penerimaan tamu menghampirinya, bersikeras membantu membawa berbagai macam bawaan khas santri baru ; koper, tas, bahkan ia melihat beberapa membawa satu set bantal guling, ember, dan bermacam-macam lainnya. Ia hanya tersenyum dan menjawab seadanya ketika beberapa mahasiswi menyapanya dengan penuh senyuman dan keramahtamahan, mengikuti mereka yang menunjukkan kamarnya. Ia terheran-heran saat sampai di kamar barunya, ia disambut seolah-seolah mereka teman lama. Teman sekamarnya yang tergabung dari berbagai tingkatan semester kuliah membantunya menyiapkan segalanya, memakaikan seprei, mengatur barang bawaan, menawarkannya mandi dan berwudhu, kemudian meminjamkan mukena untuk sholat dhuha, sampai berniat merapikan baju bawaannya, dan yang ini ia menolak sopan.
Ia adalah pribadi pendiam, lebih suka menyendiri, dan satu yang paling ia benci : adaptasi. Selama hari-harinya disana, ia lebih sering menepi. Tapi yang benar-benar ia apresiasi adalah kakak-kakak tingkatnya selalu mengikutsertakannya dalam berbagai obrolan, berbagi cerita dan pengalaman, nasihat, juga motivasi. Sebagai santri baru, ia tidak akan langsung masuk kuliah, tapi menjalani tahun pertama sebagai santri persiapan bahasa arab. 3 bulan setelah itu maka tidak ada apapun yang berbau bahasa Indonesia. Buku-buku, tulisan, obrolan, semua harus memakai bahasa arab. Ia hanya bisa takjub saat melihat kakak kelas satu tingkat diatasnya, semester satu, menyerocos bebas dengan bahasa arab yang fasih dan cepat. Ia tertawa saat kakak lainnya menyenggolnya, "nanti kamu juga seperti itu ya," ucapnya.
Hari-hari disana, ia belajar pelan-pelan. Ia tak terbiasa bangun jam 02.30 pagi, kemudian mandi di tengah dinginnya udara, demi menghindari padatnya antrian jika mandi setelah subuh. Lalu sholat malam, lanjut dengan belajar atau menghafal Al Qur'an. Nah, ia bukan tipe yang seperti itu. Ia bangun saat adzan subuh, setelah sarapan jam 6 pagi baru sibuk mengantri mandi, membersihkan kamar, dan menyiapkan buku. Sebenarnya, ia tidak terlalu antusias. Ia sibuk menganalisis, merenung, memperdebatkan hati nuraninya lagi dan lagi, apakah ia bisa menerima semua, apakah ia bisa bertahan selama dua tahun dulu sebelum akhirnya bisa pulang ke kota kelahirannya, kemudian lanjut kuliah disini. Ia tahu ia bersikap apatis, cita-citanya hanyalah masuk kuliah sesuai jurusan pilihannya, bekerja, kemudian hidup sederhana. Tapi datang kesini baginya seolah jatuh ke dalam jurang saat ia tengah melompat ke pulau di depannya, asing dan samar.
Ada sesuatu yang membekas saat ia belajar pertama kali, adalah sebuah hadist masyhur yang membuat ia selalu bertanya-tanya bimbang dalam hatinya. Hadist riwayat Umar ibn Khattab yang artinya : "semua perbuatan tergantung niatnya, dan balasan bagi tiap-tiap orang tergantung apa yang diniatkan". Ia merenung tentang hari-harinya yang seakan penuh kesia-siaan, sekali lagi apa tujuannya datang kesini? Terpaksa belajar, yang penting lulus, lalu apa? Apa manfaat yang bisa ia petik? Rugi sekali hari-hari yang ia habiskan disini tanpa ada apapun yang membekas, juga uang orangtuanya, masa mudanya. Hari-harinya jadi monoton ; bangun, sekolah, makan, tidur, bangun lagi. Menyedihkan. Beberapa kakak tingkatnya berbagi nasehat tentang ini, ia suka mendengarkan mereka bercerita. Latar belakang yang berbeda-beda, datang dari penghujung Aceh sampai Papua, dengan logat yang beragam, namun tujuan yang sama. Untuk apa ia hidup sebenarnya? Selain cita-citanya yang sederhana itu. . Ia jadi tersadar. Manalah pula ia dekat dengan sang Pencipta selama ini, terlalu sibuk dengan fenomena dunia. Dulu manalah ia peduli. Jadi ia pelan-pelan kembali ke Rabbnya, terpekur setelah selesai sholat. Mulai menyelami makna ayat-ayat suci-Nya. Mulai melapangkan dada dan mencoba ikhlas, berusaha fokus.
Ia seringkali hanya melihat saja ketika yang lain rajin sholat sunnah, membawa mushaf ke manapun untuk menghafal, giat berpuasa sunnah, senin-kamis maupun puasa Daud. Lama-lama timbul perasaan iri, ia juga ingin merasakannya, raut-raut wajah teduh dan tenang mereka, saat mereka menengadahkan tangan mengadu pada Ar Rahman. Jadi ia perlahan mulai mencoba. Orang bilang lingkungan membentuk pribadi manusia. Perlahan namun pasti. Semua butuh waktu, dan ia menikmati prosesnya. Sesuatu yang dulu tak pernah ia bayangkan.
Dulu ia merasa sangat terbebani dengan namanya, nama yang bagus, namun ia merasa tak sanggup. Banyak sekali perkataan ustadzahnya yang menyentuh hatinya, sekarang bukan lagi sekedar masuk telinga kiri, keluar telinga kanan. Jadi ia mulai bertekad, ini tantangan yang besar.
Satu waktu, beberapa curhat padanya tentang masalah cadar, dan ia balik bertanya. Ada yang ditentang habis-habisan walaupun ia ingin, ada yang terpaksa lepas saat pulang ke rumah, ada yang diam-diam memakai tanpa izin, ada yang biasa saja. Terbitlah rasa penasaran. Kemudian mereka menjelaskan apa hakikatnya. Sekedar menutupi saja namun pahalanya luar biasa. Lewat mereka, datang hidayah dari Rabbnya, ia memutuskan untuk memakainya. Pertama kalinya, ia ingat betul hari itu ia pergi ke pasar dengan beberapa teman untuk membeli kacamata, namun karena ia orang yang kaku dan ceroboh, ia tergelincir di jalan, seolah tak cukup, cadarnya melorosot dari wajahnya. Malu datang bertalu-talu kemudian, dan ia hanya tertawa. Pasalnya ia tak cukup mengencangkan tali cadarnya dan kain jilbabnya licin. Pelajaran baginya, tak ada kata mundur pokoknya.
Ia adalah seorang introvert, lebih senang meringkuk di sudut kamar dengan suasana yang tenang, minim insan. Tapi dimanalah ia akan menemukan tempat seperti itu disini? Jadi ia sering duduk di pojok kasurnya, menulis buku harian sebagai wadah berpikir, juga menuliskan hari-harinya dan renungannya karena ingatannya tak begitu bagus. Ia kerap canggung dengan yang lain, tapi diam-diam belajar dari mereka. Saat-saat mereka merawat saudara yang sakit, membawakan makanan, menyediakan air minum, menemani, bahkan saat dirawat di rumah sakit. Atau saat ia terdiam di kelompok belajar, mereka yang dikaruniai kemampuan lebih akan menjelaskan dengan sabar, menuntun belajar, menjawab setiap soal. Atau saat mereka giat menggalang sedekah bagi saudara yang sakit, mengundang anak yatim untuk ikut merayakan idul adha. Atau saat mereka begitu rajin bahu-membahu mengerjakan piket dan gotong royong ; menyapu dan mengepel seluruh sudut asrama dan kelas, membersihkan kamar mandi, membakar sampah, mencuci piring, dan lainnya. Atau saat mereka berusaha menahan kantuk saat kebagian jadwal piket malam, mengisinya dengan bercerita, belajar, berbagi makanan. Atau saat beberapa kesusahan, mendapat masalah dan musibah, tak perlu gundah, bantuan akan datang dari arah mana saja. Jadi disini ia belajar persaudaraan dan ukhuwah, kebersamaan. Sesuatu yang jarang ia temui.
Manakala musim ujian datang, ia melihat frekuensi belajar lebih banyak dari sebelumnya. Dimana-mana buku, lembaran kertas, saat makan, saat mengantri, bahkan dalam tidur pun. Ketika ia untuk pertama kalinya duduk di aula sekolah, kanan kiri penuh dengan kursi untuk mahasiswi berlainan angkatan. Ketika diam-diam ia tersenyum dalam suasana hening saat lembaran kertas telah dibagikan, beberapa ustadzah bergantian hiruk pikuk berjalan dan mengedarkan pandangan.
Setiap pertemuan, ada perpisahan. Klasik sekali. Saat ia hanya terpaku melihat deretan nama dan angka hasil ujian, ada beberapa isak tangis yang terselip. Ketika mereka harus merelakan beberapa saudari yang mungkin belum menjadi rezekinya untuk melanjutkan pendidikan disana, sendu dan pilu mengiring. Tak bisa ia menggambarkan rasanya saat temannya harus mengepak barangnya pulang, memeluk erat, memberikan ucapan selamat tinggal. Kenangan yang telah berlalu tetap tinggal, pemilik kenangan itu tidak. Namun tali silaturrahmi insya allah masih dipegang erat, begitulah janji yang terucap.
 Itu, beberapa kilasan yang terlintas dari sekian banyaknya memori yang bisa ia bagikan. Masih banyak hal yang tidak bisa dituliskan, hanya sedikit goresan pena di tempat ini yang belum kering tintanya. Langkah-langkah kecilnya di STIBA Ar Raayah, bumi sucinya. Darinya, ia memetik pelajaran yang tak terhingga harganya. Kini, hampir 3 tahun terlewati. Sampai saat ini, ia masih belum bisa menebak seperti apa akhir goresan yang akan ia torehkan di penghujung nanti. Tapi, apapun yang terjadi, hal yang sangat ia syukuri ; datang ke tempat ini, dan bertemu para penghuninya, adalah karunia terbesar yang pernah ia dapatkan dari sang Pencipta. Hidayah terindah baginya. Di bumi ini, di tanah Ar Raayah.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H