Dulu ia merasa sangat terbebani dengan namanya, nama yang bagus, namun ia merasa tak sanggup. Banyak sekali perkataan ustadzahnya yang menyentuh hatinya, sekarang bukan lagi sekedar masuk telinga kiri, keluar telinga kanan. Jadi ia mulai bertekad, ini tantangan yang besar.
Satu waktu, beberapa curhat padanya tentang masalah cadar, dan ia balik bertanya. Ada yang ditentang habis-habisan walaupun ia ingin, ada yang terpaksa lepas saat pulang ke rumah, ada yang diam-diam memakai tanpa izin, ada yang biasa saja. Terbitlah rasa penasaran. Kemudian mereka menjelaskan apa hakikatnya. Sekedar menutupi saja namun pahalanya luar biasa. Lewat mereka, datang hidayah dari Rabbnya, ia memutuskan untuk memakainya. Pertama kalinya, ia ingat betul hari itu ia pergi ke pasar dengan beberapa teman untuk membeli kacamata, namun karena ia orang yang kaku dan ceroboh, ia tergelincir di jalan, seolah tak cukup, cadarnya melorosot dari wajahnya. Malu datang bertalu-talu kemudian, dan ia hanya tertawa. Pasalnya ia tak cukup mengencangkan tali cadarnya dan kain jilbabnya licin. Pelajaran baginya, tak ada kata mundur pokoknya.
Ia adalah seorang introvert, lebih senang meringkuk di sudut kamar dengan suasana yang tenang, minim insan. Tapi dimanalah ia akan menemukan tempat seperti itu disini? Jadi ia sering duduk di pojok kasurnya, menulis buku harian sebagai wadah berpikir, juga menuliskan hari-harinya dan renungannya karena ingatannya tak begitu bagus. Ia kerap canggung dengan yang lain, tapi diam-diam belajar dari mereka. Saat-saat mereka merawat saudara yang sakit, membawakan makanan, menyediakan air minum, menemani, bahkan saat dirawat di rumah sakit. Atau saat ia terdiam di kelompok belajar, mereka yang dikaruniai kemampuan lebih akan menjelaskan dengan sabar, menuntun belajar, menjawab setiap soal. Atau saat mereka giat menggalang sedekah bagi saudara yang sakit, mengundang anak yatim untuk ikut merayakan idul adha. Atau saat mereka begitu rajin bahu-membahu mengerjakan piket dan gotong royong ; menyapu dan mengepel seluruh sudut asrama dan kelas, membersihkan kamar mandi, membakar sampah, mencuci piring, dan lainnya. Atau saat mereka berusaha menahan kantuk saat kebagian jadwal piket malam, mengisinya dengan bercerita, belajar, berbagi makanan. Atau saat beberapa kesusahan, mendapat masalah dan musibah, tak perlu gundah, bantuan akan datang dari arah mana saja. Jadi disini ia belajar persaudaraan dan ukhuwah, kebersamaan. Sesuatu yang jarang ia temui.
Manakala musim ujian datang, ia melihat frekuensi belajar lebih banyak dari sebelumnya. Dimana-mana buku, lembaran kertas, saat makan, saat mengantri, bahkan dalam tidur pun. Ketika ia untuk pertama kalinya duduk di aula sekolah, kanan kiri penuh dengan kursi untuk mahasiswi berlainan angkatan. Ketika diam-diam ia tersenyum dalam suasana hening saat lembaran kertas telah dibagikan, beberapa ustadzah bergantian hiruk pikuk berjalan dan mengedarkan pandangan.
Setiap pertemuan, ada perpisahan. Klasik sekali. Saat ia hanya terpaku melihat deretan nama dan angka hasil ujian, ada beberapa isak tangis yang terselip. Ketika mereka harus merelakan beberapa saudari yang mungkin belum menjadi rezekinya untuk melanjutkan pendidikan disana, sendu dan pilu mengiring. Tak bisa ia menggambarkan rasanya saat temannya harus mengepak barangnya pulang, memeluk erat, memberikan ucapan selamat tinggal. Kenangan yang telah berlalu tetap tinggal, pemilik kenangan itu tidak. Namun tali silaturrahmi insya allah masih dipegang erat, begitulah janji yang terucap.
 Itu, beberapa kilasan yang terlintas dari sekian banyaknya memori yang bisa ia bagikan. Masih banyak hal yang tidak bisa dituliskan, hanya sedikit goresan pena di tempat ini yang belum kering tintanya. Langkah-langkah kecilnya di STIBA Ar Raayah, bumi sucinya. Darinya, ia memetik pelajaran yang tak terhingga harganya. Kini, hampir 3 tahun terlewati. Sampai saat ini, ia masih belum bisa menebak seperti apa akhir goresan yang akan ia torehkan di penghujung nanti. Tapi, apapun yang terjadi, hal yang sangat ia syukuri ; datang ke tempat ini, dan bertemu para penghuninya, adalah karunia terbesar yang pernah ia dapatkan dari sang Pencipta. Hidayah terindah baginya. Di bumi ini, di tanah Ar Raayah.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H