Mohon tunggu...
Hany Ferdinando
Hany Ferdinando Mohon Tunggu... Ilmuwan - Penikmat buku dan musik yang suka tentang teknologi, psikologi, pendidikan, flora dan fauna, kebudayaan, dan hubungan antar manusia.

Belajar menulis dengan membaca, belajar kritis dengan menulis

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Akreditasi, Pendorong Peningkatan Kualitas Lembaga Pendidikan?

30 Mei 2018   20:45 Diperbarui: 30 Mei 2018   20:55 1177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Pixabay.com

Satu alasan yang dikemukakan adalah dosen juga seorang motivator untuk mahasiswanya. Saya setuju tetapi dalam arti yang terbatas! Masih diperlukan peran serta mahasiswa untuk bergerak sehingga memberikan kontribusinya. Sebaik apa pun seorang dosen memotivasi mahasiswa, tanpa ada keinginan untuk berubah dari mahasiswa, hasilnya NOL besar. Argumen yang mengatakan bahwa berarti dosen belum bisa memotivasi mahasiswa adalah argumen yang sangat melemahkan, apalagi tanpa didukung data yang kuat.

Dengan menafikan peran peserta belajar dalam pencapaian hasil belajar, dosen berada pada posisi yang serba sulit. Mempertahankan idealisme dosen yang bertanggung jawab untuk kualitas kelasnya bisa memakan sebagian besar energinya dan belum tentu hasilnya sesuai harapan karena ada mahasiswa yang sekedar 'jalan di tempat'. Padahal, dosen juga dinilai oleh pemerintah dari sisi penelitian dan pengabdian masyarakat. 

Masih adakah energi dan waktu yang tersisa untuk melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat jika masih harus memotivasi sampai mahasiswa sadar? Apakah memotivasi mahasiswa bukan termasuk pengabdian kepada masyarakat? 

Bagaimana dengan keluarganya? Selain itu saat semua usaha maksimal yang dilakukan gagak membuahkan hasil yang diinginkan, alih-alih mendapat dukungan dari rekan sekerja atau progam studi, banyak di antara mereka yang justru dicaci karena dianggap menurunkan poin akreditasi yang diidamkan. Hal ini masih ditambah dengan dijadikan bulan-bulan tim penilai BAN PT. Sebuah resiko yang sepertinya terlalu besar.

Buat mereka yang tidak kuat menghadapi tekanan yang begitu berat, pilihan termudah adalah banting stir menjadi mengajar seadanya, yang penting semua lulus. Program studi bersukacita karena point akrditasi yang diidamkan akan tercapai, mahasiswa diuntungkan karena tidak perlu bersusah payah untuk belajar, dan sang dosen terbebas dari tekanan yang bertubi-tubi. 

Sebuah pilhan yang 'bijak' bukan? Jadi lebih aman menjadi dosen yang mengajar ala kadarnya tetapi semua lulus daripada menjadi dosen yang mengajar dengan kualitas yang dijaga tetapi sedikit yang lulus.

Hal ini berdampak pada kualitas pengajaran yang diberikan dosen. Dalam pengalaman penulis, para penilai dari BAN PT lebih getol mencari dosen yang kelasnya memiliki tingkat kelulusan yang rendah. Asumsinya, kelulusan yang rendah berkorespondensi dengan kualitas pengajaran dosen. Bisa jadi! Namun asumsi ini memberikan dampak negatif yang lebih besar.

Penutup

Menjawab pertanyaan di awal tulisan ini, sepertinya proses akreditasi lebih besar kemungkinannya untuk menurunkan kualitas sebuah program studi. Situasi ini benar-benar sebuah sinyal SOS bagi dunia pendidikan di Indonesia. Berbagai tekanan yang dihadapi para dosen bisa mendorong mereka memilih jalan pintas yang mudah. Alih-alih mempertahankan dan meningkatkan kualitas pengajarannya, dosen berada dalam godaan yang sangat besar untuk memilih mengajar ala kadarnya, yang penting semua lulus.

Terkait dengan penggunaan tingkat kelulusan kelas untuk menilai kualitas seorang dosen, penulis mengusulkan cara yang lain. Seorang dosen dengan kualitas pengajaran yang baik, tentu didukung oleh mahasiswa yang bertanggung jawab. Kriteria yang selama ini dipakai terbukti mendatangkan banyak masalah. Oleh karena itu, kualitas pengajaran dosen dapat dinilai berdasarkan prosentase mahasiswa yang diluluskannya, yang mampu mengikuti kuliah dengan baik di mata kuliah berikutnya.

Contoh, jika seorang dosen mengajar 20 mahasiswa dan hanya 12 yang lulus, maka kualitas pengajarannya tidak ditentukan berdasarkan prosentase 12 dari 20, melainkan berapa prosen dari 12 mahasiswa yang lulus itu mampu mengikuti mata kuliah berikutnya. Memang kriteria ini tetap memiliki celah untuk disusupi pikiran yang kotor, tetapi setidaknya kriteria usulan jauh lebih tepat walaupun lebih rumit dalam implementasinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun