Sebaliknya, dosen yang mengajar dengan baik tetapi mahasiswa tidak mau belajar sehingga tingkat kelulusan rendah akan menjadi bulan-bulanan rekan sekerjanya (karena bisa menurukan poin akreditasi) dan penilai dari BAN PT.Â
Mengapa? Karena tingkat kelulusan kelas tidak secara otomatis mencerminkan kualitas pengajaran dosen. Akibatnya, banyak dosen lebih memilih posisi aman sambil mengorbankan kualitas pengajaran. Toh, di masyarakat berkembang pemikiran bahwa ilmu yang diperoleh dari kuliah hanya sebagian kecil yang dapat diaplikasikan dalam dunia kerja. Â
Tingkat Kelulusan Kelas dan Prosentase Lulusan Tepat Waktu
Terkait dengan tingkat kelulusan kelas, jika rata-rata kelulusan adalah 85%, maka pada akhir 8 semester masa studi normal program S1, hanya terdapat sekitar 27% mahasiswa yang lulus tepat waktu. Berdasarkan standar 3, skor yang diperoleh hanya 2,6 dari maksimum 4. Dibutuhkan tingkat kelulusan rata-rata 92% untuk mendapatkan poin penuh pada kriteria ini. Sebenarnya ini bukan MISSION IMPOSSIBLE, tetapi dibutuhkan kerja sama dengan mahasiswa dalam hal kemauan untuk belajar.Â
Dampaknya tidak berhenti sampai disini. Dosen tidak akan bersedia mengajar kelas dengan jumlah mahasiswa yang sedikit karena akan muncul sebuah kewajiban untuk meluluskan semuanya agar berdampak positif untuk akreditasi.Â
Dari sisi mahasiswa, hal ini bisa 'menguntungkan' karena kelulusan sudah ada di depan mata tanpa harus bersusah payah. Dampaknya terkait dengan mentalitas generasi muda yang tidak mau repot dan tidak mau susah. Jadi, asumsi bahwa kualitas kelas ditentukan oleh tingkat kelulusan juga merupakan win-win solution bagi PT dan mahasiswa.Â
Sebagaimana telah ditulis di atas, rancangan kurikulum yang tepat berkorespondensi dengan prosentase lulusan tepat waktu. Apakah kebalikannya juga berlaku? Penulis meragukannya! Bukankah dunia pendidikan berhubungan dengan manusia? Manusia bukanlah benda mati yang rela diapakan saja tanpa protes. Manusia punya kehendak bebas untuk menentukan nasibnya.Â
Selain itu, ada banyak faktor yang membuat mahasiswa tidak bisa lulus tepat waktu, misalnya, sakit yang tidak sempat diatasi dengan cuti studi, aktivitas mahasiswa di luar akademik yang dianggap penting karena terkait dengan soft skill. Sehingga prosentase lulusan tepat waktu tidak berkorespondensi langsung dengan ketepatan rancangan kurikulum.
Proses Pembelajaran
Prosese pembelajaran melibatkan dua pihak yang sama-sama independen. Dosen (atau guru) sebagai fasilitator belajar dan mahaiswa (atau siswa) sebagai peserta belajar. Dibutuhkan kerja sama dan kolaborasi yang positif untuk mendapatkan hasil belajar yang optimal. Namun sayang, instrumen dan asumsi yang digunakan oleh BAN PT mengarah pada peran dosen saja.Â
Bagaimana mungkin mendapatkan hasil belajar yang optimal jika dosen mengajar dengan sangat baik dan bertanggung jawab tetapi mahasiswa 'jalan di tempat' alias tidak berusaha melakukan apa pun?