Mohon tunggu...
Hany Ferdinando
Hany Ferdinando Mohon Tunggu... Ilmuwan - Penikmat buku dan musik yang suka tentang teknologi, psikologi, pendidikan, flora dan fauna, kebudayaan, dan hubungan antar manusia.

Belajar menulis dengan membaca, belajar kritis dengan menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Disentil Jokowi, Tantangan Inilah yang Harus Diselesaikan Mendikbud

4 Agustus 2017   14:14 Diperbarui: 4 Agustus 2017   22:10 1074
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pagi ini saya membaca pernyataan Presiden Joko Widodo di Rapimnas Partai Hanura. Beliau mengatakan bahwa "pendidikan di Indonesia masih cenderung monoton dan linier" (sumber: kompas.com). Paling tidak, dua Kementerian sedang diuji terkait dengan terobosan-terobosan baru yang menjawab tantangan sang Presiden. 

Dalam pernyataannya, Presiden juga memberikan contoh dari dua model institusi pendidikan. SMK dinilai cenderung monoton tanpa ada perubahan yang berani. Perguruan Tinggi juga dicermati hanya mengembangkan jurusan-jurusan yang sudah mapan tanpa mau berkembang ke arah yang lebih 'menjawab' kebutuhan pasar.

Sebagai seorang Presiden, memang beliau tidak harus tahu segala sesuatu. Oleh karena itu perlu ada Kementerian yang melaksanakan kebijakan pemerintah pada bidang yang lebih spesifik. Sebagai Kepala Negara, beliau harus punya pandangan yang jauh ke depan terkait dengan kemajuan bangsa. Ya... memang ada banyak hal yang harus dibereskan terkait dengan pernyataan singkat di Rapimnas yang diselenggarakan 4-6 Agustus 2017 itu.

Tantangan Perubahan Struktur

Perguruan Tinggi di negara-negara maju rata-rata sudah mulai menghilangkan jurusan tetapi masih mempertahankan keberadaan fakultas. Lalu, jika jurusan sudah ditiadakan, bagaimana mekanisme perkuliahan dilakukan? Research group adalah jawabannya. Proses belajar mengajar menjadi tanggung jawab research group, termasuk pengembangannya.

Research group menjadi ujung tombak universitas karena mereka yang mengembangkan materi pembelajarannya. Pada PT berlabel research university, lembaga ini bertugas mengembangkan dan menemukan metode baru yang sifatnya mengembangkan keilmuan. Pada PT berlabel vokasi, lembaga ini bertugas mengembangkan metode terapan yang bermanfaat untuk masyarakat. Hasil pengembangan tersebut dituangkan dalam bentuk materi kuliah yang diasuh langsung oleh research group tersebut.

Perubahan struktur ini pasti menelan biaya yang tidak sedikit. Bisa jadi, dalam satu jurusan akan dipecah menjadi beberapa research group. Kita tidak perlu merasa risih untuk bicara masalah gaji dan tunjangan. Dengan model seperti ini, kepala research group akan menjadi semacam 'raja kecil' di tingkat yang sama dengan jurusan karena mereka langsung bertanggung jawab kepada fakultas. Research group bukan sekedar kelompok orang dengan minat penelitian yang sama dan bernaung di sebuah laboratorium.

Masalahnya, perubahan struktur ini tidak semudah membalik telapak tangan. Ada banyak pihak yang terlibat dan memakan energi yang tidak sedikit juga. Kemauan untuk berubah juga menjadi kunci keberhasilan perubahan ini. Bukankah kita masih banyak menemukan orang yang sudah merasa nyaman dengan sesuatu enggan untuk berubah karena masalah keluar dari zona nyaman? 

Tantangan Perubahan Kurikulum

Kuliah dikembangkan berdasarkan research group yang bernaung di bawah fakultas. Mata kuliah diasuh dan dikembangkan oleh tiap research group sesuai dengan bidang yang ditekuninya.

Dengan demikian, keberadaan mata kuliah bersifat dinamis untuk mengikuti kebutuhan pasar. Mata kuliah yang sudah tidak populer lagi bisa diganti dengan cepat tanpa harus menunggu waktu perubahan kurikulum seperti yang sudah jamak di Indonesia. Lihat saja, di Indonesia, perubahan kurikulum terjadi kira-kira tiap 4 tahun dengan proses yang bisa dikatakan cukup panjang. 

Memang sekarang tidak ada istilah 'kurikulum nasional' lagi, yang menyeragamkan sekian persen kurikulum di seluruh Indonesia. Perguruan Tinggi diberi 'sedikit' kebebasa dalam mengembangkan kurikulumnya. Kini, ruang gerak untuk berinovasi sudah lebih besar lagi, hanya tetap saja masih terbatas.

Keterbatasan ini muncul dari sisi penilaian atau akreditasi. Aturan perubahan kurikulum yang dipakai sebagai salah satu kriteria poin akreditasi dirasa sedikit menghambat. Namun, kita perlu jujur untuk mengakui bahwa lembaga yang namanya BAN (Badan Akreditasi Nasional) ini mengeluarkan kriteria terkait dengan perubahan kurikulum bukan berdasarkan imajinasi. 

BAN ingin supaya perubahan dilakukan dengan bertanggung jawab karena taruhannya adalah mahasiswa. Munculnya PT abal-abal dengan berbagai macam 'rayuan' sistem pendidikan dan kurikulum yang menggiurkan sudah banyak makan korban. Ini adalah salah satu PR besar yang harus dituntaskan oleh pemerintah.

Dengan komitmen PT melakukan perubahan kurikulum yang bertanggung jawab, maka BAN tidak perlu lagi memasukkan kriteria perubahan kurikulum sebagai salah satu poin akreditasi. Hal ini membuat perubahan kurikulum bisa dilakukan dalam waktu singkat dan tidak harus menunggu periode perubahan kurikulum. Artinya, dinamika kurikulum akan mengikuti kebutuhan pasar tanpa harus menunggu deadline untuk melakukan perubahan.

Tantangan Studi Dosen

Studi lanjut seorang dosen 'dibatasi' dengan konsep linieritas. Apa maksudnya? Dosen harus menempuh jenjang pendidikan yang lebih tinggi pada bidang yang sama. Pelanggaran terhadap aturan ini membuat jenjang jabatan akademiknya harus dimulai lagi dari nol. 

Aturan ini sedikit banyak telah membuat banyak dosen akan belajar di bidang sama, padahal perkembangan dunia saat sudah 'memaksa' beberapa bidang pecah atau bergabung dengan bidang lain. Contoh, untuk belajar ilmu sistem kendali bisa dilakukan di group sistem kendali atau matematika. Belajar sistem kecerdasan buatan bisa dilakukan juga di group ilmu komputer atau matematika.

Kita sekarang tidak bisa mengabaikan merger-nya beberapa bidang menjadi satu bidang baru. Optimasi sistem energi listrik sudah menggabungkan ilmu-ilmu dari elektro tegangan tinggi, sistem kendali, kecerdasan buatan, instrumentasi sensor, sistem komponen semi konduktor, kecerdasan buatan, ilmu komputer, dll. Hal ini membuat seorang dosen dengan latar belakang kecerdasan buatan bisa belajar di bidang optimasi sistem energi, yang menurut aturan sekarang dinilai tidak linier tadi.

Regulasi kelinieran studi ini memang tidak muncul tiba-tiba, pasti ada penyebabnya. Salah satunya terkait dengan fokus. Bagaimana seseorang bisa menguasai bidangnya dengan baik jika pendidikan di jenjang yang lebih tinggi ternyata berbeda dengan bidang sebelumnya? Ini mungkin masih relevan untuk beberapa tahun yang lalu, tetapi saat ini hal tersebut sudah tidak relevan sama sekali. Aturan ini pun harus disesuaikan terkait dengan dinamika kebutuhan pasar yang terus bergerak.

Tantangan Beban Dosen

Dosen di Indonesia dinilai berdasarkan Tridarma Perguruan Tinggi yang mencakup tiga bidang: pengajaran, penelitian, dan pengabidan kepada masyarakat. Namun, dalam kenyataannya ada yang namanya Tridarma Perguruan Tinggi Plus. Koq bisa? Karena ada plus jadi panitia kegiatan tertentu, plus jadi marketing jurusannya, plus terlibat dalam manajerial di luar akademik (kepala biro, kepada dinas, dll). Dalam banyak hal, plus-plus inilah yang sering kali menyita banyak waktu. Beban administrasi menjadi tinggi dan dosen masih dituntut untuk melaksanakan Tridarma Perguruan Tinggi tersebut di atas.

Berapa banyak rekan dosen yang setelah menyelesaikan studi lanjut malahan diberi jabatan yang sifatnya administratif sehingga tidak punya waktu lagi untuk mengembangkan ilmunya? Bagi PTN, sepertinya tidak terlalu masalah karena jumlah SDM yang besar. Tetapi ini sebuah masalah besar bagi PTS. SDM yang terbatas masih harus berbagi dengan tugas administratif yang menyita waktu dan energi. Bagaimana mungkin mereka bisa mempelajari hal baru untuk menghasilkan sebuah kurikulum yang dinamis dan mengikuti kebutuhan pasar?

Tantangan Dukungan Fasilitas Penunjang

Kurikulum yang dinamis dan menjawab kebutuhan pasar harus didukung dengan fasilitas yang memadai. Keberadaan alat dengan dukungan perangkat keras dan perangkat lunak menjadi sebuah keharusan. Mengajarkan ilmu yang bisa dipakai diaplikasikan harus ditunjang dengan peralatan yang memadai. Bukankah mengikuti perkembangan dunia luar berarti menyediakan dana yang cukup besar? Sekali lagi, ini menjadi beban yang luar biasa besar bagi PTS yang harus mencari sendiri dananya.

Tantangan Perubahan Sistem Pendidikan

Sistem pendidikan kita bisa dibilang sudah kacau balau. SMK dan SMA dibuat untuk menjawab tantangan lulusan dengan jalur kerja yang bisa dikatakan berbeda. Masuk di tingkat perguruan tinggi, ada program S1 (fokus pada akademik) dan D4 (fokus pada vokasi) yang langsung memisahkan jenis pekerjaan keduanya. Kurikulum berbasis kompetensi yang digadang-gadang akan menjawab kebutuhan pasar ternyata disikapi dan dijalankan dengan tidak seimbang. 

Bisa dibilang, program S1 merambah ke area D4 karena kompetensi yang dimasukkan sedikit sekali yang berhubungan dengan dunia akademik, misalnya penelitian. Beberapa PT yang ingin bermain aman memasukkan kompetensi yang sufatnya umum (bisa di akademik dan vokasi), misalnya, tanggung jawab, komitmen, tidak mudah menyerah, dll. Bukankah ini sebuah kompetensi yang terlalu umum? Apakah seorang mahasiswa bisa lulus dengan kompetensi ini tanpa menguasai ilmunya?

PR besar yang perlu dilakukan pemerintah adalah mengubah pola pikir masyarakat dan ini bisa memakan biaya yang sangat besar. Masyarakat perlu disadarkan bahwa gelar akademik bukan segalanya. Dambaan mendapatkan gelar akademik tetapi tidak ingin bekerja di dunia akademik sudah mengubah dunia pendidikan kita. 

Program S1 yang diarahkan ke program akademik, lulusannya dinilai tidak mampu untuk terjun di industri atau pekerjaan di luar akademik, akibatnya program S1 berlomba-lomba mengubah kurikulumnya untuk menjawab tantangan yang salah ini. Dengan demikian, lulusan program S1 tidak lagi dipandang sebelah mata.

Penutup

Tidak bisa dipungkiri bahwa komentar singkat Presiden Joko Widodo ini (seharusnya) akan memicu munculnya terobosan di dunia pendidikan kita. Selain itu, biaya yang diserap juga tidak sedikit. Bisa jadi, alokasi 20% APBN untuk pendidikan mengalami defisit dan perlu diperbesar, tetapi integritas pengelolaan dana yang besar ini masih dipertanyakan. Banyak kasus korupsi yang masih merajalela dan ini menjadi PR besar bukan saja bagi pemerintah tetapi juga masyarakat.  

Selain itu, menuntaskan semua perubahan ini pasti memerlukan waktu yang panjang. Apakah pergantian presiden tidak akan mengganti program yang masif ini?

Salam kompasiana!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun