Mohon tunggu...
Hany Ferdinando
Hany Ferdinando Mohon Tunggu... Ilmuwan - Penikmat buku dan musik yang suka tentang teknologi, psikologi, pendidikan, flora dan fauna, kebudayaan, dan hubungan antar manusia.

Belajar menulis dengan membaca, belajar kritis dengan menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Disentil Jokowi, Tantangan Inilah yang Harus Diselesaikan Mendikbud

4 Agustus 2017   14:14 Diperbarui: 4 Agustus 2017   22:10 1074
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Memang sekarang tidak ada istilah 'kurikulum nasional' lagi, yang menyeragamkan sekian persen kurikulum di seluruh Indonesia. Perguruan Tinggi diberi 'sedikit' kebebasa dalam mengembangkan kurikulumnya. Kini, ruang gerak untuk berinovasi sudah lebih besar lagi, hanya tetap saja masih terbatas.

Keterbatasan ini muncul dari sisi penilaian atau akreditasi. Aturan perubahan kurikulum yang dipakai sebagai salah satu kriteria poin akreditasi dirasa sedikit menghambat. Namun, kita perlu jujur untuk mengakui bahwa lembaga yang namanya BAN (Badan Akreditasi Nasional) ini mengeluarkan kriteria terkait dengan perubahan kurikulum bukan berdasarkan imajinasi. 

BAN ingin supaya perubahan dilakukan dengan bertanggung jawab karena taruhannya adalah mahasiswa. Munculnya PT abal-abal dengan berbagai macam 'rayuan' sistem pendidikan dan kurikulum yang menggiurkan sudah banyak makan korban. Ini adalah salah satu PR besar yang harus dituntaskan oleh pemerintah.

Dengan komitmen PT melakukan perubahan kurikulum yang bertanggung jawab, maka BAN tidak perlu lagi memasukkan kriteria perubahan kurikulum sebagai salah satu poin akreditasi. Hal ini membuat perubahan kurikulum bisa dilakukan dalam waktu singkat dan tidak harus menunggu periode perubahan kurikulum. Artinya, dinamika kurikulum akan mengikuti kebutuhan pasar tanpa harus menunggu deadline untuk melakukan perubahan.

Tantangan Studi Dosen

Studi lanjut seorang dosen 'dibatasi' dengan konsep linieritas. Apa maksudnya? Dosen harus menempuh jenjang pendidikan yang lebih tinggi pada bidang yang sama. Pelanggaran terhadap aturan ini membuat jenjang jabatan akademiknya harus dimulai lagi dari nol. 

Aturan ini sedikit banyak telah membuat banyak dosen akan belajar di bidang sama, padahal perkembangan dunia saat sudah 'memaksa' beberapa bidang pecah atau bergabung dengan bidang lain. Contoh, untuk belajar ilmu sistem kendali bisa dilakukan di group sistem kendali atau matematika. Belajar sistem kecerdasan buatan bisa dilakukan juga di group ilmu komputer atau matematika.

Kita sekarang tidak bisa mengabaikan merger-nya beberapa bidang menjadi satu bidang baru. Optimasi sistem energi listrik sudah menggabungkan ilmu-ilmu dari elektro tegangan tinggi, sistem kendali, kecerdasan buatan, instrumentasi sensor, sistem komponen semi konduktor, kecerdasan buatan, ilmu komputer, dll. Hal ini membuat seorang dosen dengan latar belakang kecerdasan buatan bisa belajar di bidang optimasi sistem energi, yang menurut aturan sekarang dinilai tidak linier tadi.

Regulasi kelinieran studi ini memang tidak muncul tiba-tiba, pasti ada penyebabnya. Salah satunya terkait dengan fokus. Bagaimana seseorang bisa menguasai bidangnya dengan baik jika pendidikan di jenjang yang lebih tinggi ternyata berbeda dengan bidang sebelumnya? Ini mungkin masih relevan untuk beberapa tahun yang lalu, tetapi saat ini hal tersebut sudah tidak relevan sama sekali. Aturan ini pun harus disesuaikan terkait dengan dinamika kebutuhan pasar yang terus bergerak.

Tantangan Beban Dosen

Dosen di Indonesia dinilai berdasarkan Tridarma Perguruan Tinggi yang mencakup tiga bidang: pengajaran, penelitian, dan pengabidan kepada masyarakat. Namun, dalam kenyataannya ada yang namanya Tridarma Perguruan Tinggi Plus. Koq bisa? Karena ada plus jadi panitia kegiatan tertentu, plus jadi marketing jurusannya, plus terlibat dalam manajerial di luar akademik (kepala biro, kepada dinas, dll). Dalam banyak hal, plus-plus inilah yang sering kali menyita banyak waktu. Beban administrasi menjadi tinggi dan dosen masih dituntut untuk melaksanakan Tridarma Perguruan Tinggi tersebut di atas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun